Pantaskah Indonesia berjuluk Negara Agraris?
Ternyata Indonesia kekurangan garam sampai harus impor dari Jerman dan beberapa negara lainnya. Garam yang didapatkan hanya dengan menampung air laut kemudian mengeringkannya ternyata harus diimpor 1,85 milyar kg dari Australia, India, Selandia Baru, Denmark, Jerman dan lainnya yang tentu air lautnya lebih sedikit dari kita. Jerman juga mengekspor cabe kering dan kentang untuk negeri agraris Indonesia. Anda heran? Saya juga!.
Tempe yang dijual oleh pedagang sayur gandengan, bahan bakunya juga terdapat impor. Semoga kita tidak berbangga memakan tempe hasil impor karena luas lahan pertanian Indonesia tentu lebih dari sejauh mata memandang. Ternyata nilai impor kedelai dari Amerika Serikat (AS), Argentina, Malaysia, Paraguay, Uruguay, dan negara lainnya mencapai 1 milyar dollar AS. Negara Industri Amerika serikat yang entah luasan kebun kedelainya seperti apa telah memasok 73% kedelai dari total nilai impor kedelai Indonesia tahun 2013.
BPS mencatat, nilai impor produk pertanian pada satu dekade lalu masih sebesar US$ 3,34 miliar. Di 2013, nilainya melonjak US$ 14,90 miliar. Sementara jumlah petani tetap tinggi. “Sepuluh tahun, naik empat kali lipat lebih dari nilai dan kuantitas, padahal sudah ada kenaikan harga,” kata Adi Lumaksono, Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, saat sosialisasi hasil sensus pertanian di Jakarta, pada Selasa (12/8/2014), sebagaimana Sindonews memberitakannya.
Mungkinkah meningkatnya nilai impor ini karena peningkatan jumlah penduduk yang tidak pernah berhenti mengunyah ataukah memang impor barang dari luar negeri lebih menguntungkan pengusaha? Semua analisis dapat terjadi, kita serahkan saja kepada para mengamat yang lebih paham untuk menganalisanya, saya hanya mempertanyakan, pantaskan republik ini menyandang gelar negara agraris.
Dampak naik turunnya BBM tanpa diikuti oleh stabilitas harga yang diperparah dengan merosotnya nilai rupiah dapat dimanfaatkan pengusaha untuk mengambil celah keuntungan karena bisa jadi nilai barang impor lebih murah daripada garam dan kedelai hasil jerih payah petani kita. Jangan tanya kualitas, karena tentu kualitas barang impor lebih baik, paling tidak gengsinya. Karena gengsi, banyak dari kita memilih membeli kangkung di supermaket. Supermaket yang menyebar bak jerawat diperkotaan ini dapat mengacam pasar tradisional yang telah menjadi tempat blusukan favorit para pejabat.
Sekarang mari kita prihatin dengan hasil peternakan kita. Ternyata Malaysia telah menjadi pemasok utama untuk daging ayam dengan nilai impor sebesar US$ 30.259. Australia dan Singapura juga menjadi pemasok daging sapi. Kalau Australia memang sudah terkenal dengan peternakan sapinya, tetapi Singapura yang luasnya hanya selembar daun telinga sapi di peta dunia itu ternyata mumpuni dalam bidang ekspor daging. Saya mengingat kasus korupsi daging sapi beberapa tahun lalu yang menjerat pejabat dan petinggi partai. Mungkinkah tingginya nilai impor dijadikan celah untuk korup?
Sepuluh tahun nilai impor meningkat empat kali lipat dengan nilai Rp. 104,9 trilyun menurut BPS, itu dimasa pemerintahan Bapak SBY yang mungkin belum mampu menangkal serbuan bahan pangan impor ini. Saya tidak menyalahkan beliau, tetapi berharap pemerintahan Jokowi bisa memanfaatkan pengalihan subsidi BBM untuk melindungi para petani kita yang jumlahnya 38,7 juta orang.
Tentu pemerintahan Jokowi punya strategi menangkal serbuan barang-barang Impor ini. Setidaknya terdapat Lima strategi kedaulatan pangan masuk dalam visi presiden Jokowi antara lain, pengembangan usaha tani berbasis agrobisnis dan agroindustri, peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani, revitalisasi dan penguatan kelembagaan petani, pengembangan teknologi tepat guna berbasis kearifan lokal melalui revitalisasi dan penguatan lembaga riset serta pembangunan infrastruktur pertanian dan pedesaan.
Kalau Anda membaca lima strategi ini, mungkin Anda bingung dengan kosa katanya, seperti halnya dengan otak jongkok saya yang baru melihat sekadar normatif belaka. Petani dalam pemahaman awam saya butuh harga yang lebih menguntungkan dan ongkos produksi lebih efesien agar mereka tetap meningkatkan produktifitas untuk kesejahteraan mereka. Pemerintah juga jikalau perlu selalu mengumumkan Harga Eceran Tertinggi (HET) seperti dimasa Orba untuk bahan pangan agar stabilitas harga dapat lebih dikontrol sebagaimana naik turunnya BBM yang telah cukup membuat saya bingung.
Sangat aneh rasanya jikalau kentang harus di impor dari negeri padang pasir Mesir dan cabe kering didatangkan dari negara sepak bola, Spanyol. Jikalau pemerintah beralibi bahwa beras, cabe, bawang merah, ubi kayu dan kentang dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan 237 jiwa rakyat Indonensia, rasa-rasanya aneh gitu lho!? Tidakkah tongkat kayu dan batu di negeri kita bisa jadi tanaman......Indonesia bukan lautan hanya kolam susu, demikian nyanyian Koes Plus.
Daftar 29 bahan pangan Impor Indonesia 2013 dapat di lihat di SINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H