Mohon tunggu...
Andi Hakim
Andi Hakim Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Fat Collector. Menerima pembuatan pidato kenegaraan, pidato kawinan, pemakaman, pidato kelurahan, business plan, political plan, action plan, retirement plan, dead plan dll. Peneliti di Bonn, Jerman, Singapore dan Boston

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Capres dan Hutang Berkelanjutan

29 Januari 2014   13:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Capres dan Hutang Berkelanjutan
Tahun 2014 ini adalah akhir dari progam hutang bagi pengentasan kemiskinan atas nama Millenium Development Goals.

Sebagai hasilnya kita tahu bahwa dana-dana tadi mayoritas habis untuk bayar konsultan, organizer, dan sedikit bagi konsumsi masyarakat miskin.

Barangkali Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia ini yang melakukan institusionalisasi secara masive dari pusat sampai daerah "dipaksa menjalankan program" yg diasistensi konsultan luar negeri dan menggunakan program hutang yang didesain organisasi internasional semacam PBB, Ausaid, USAid, WB, IMF dan diadopsi sebagai GBHN-nya.

Sementara dimana kemampuan kita melihat jenis kebijakan pembangunan apa yang dibutuhkan dan bagaimana pengentasan kemiskinan yang betul-betul mengena dan menjadi prioritas kita sama sekali diabaikan dan semua harus tunduk pada program2 luar biasa dari luar nagari ini.

Proses institusionalisasi menjalankan program hutang ini betul-betul menakjubkan, sampai kolega saya dari Hamburg Jerman, nona Chaterine heran bagaimana mungkin mulai dari presiden sampai ketua RT betul-betul siap mengadah tangan dengan semua desain tanpa ada revisi dan evaluasi apakah desain tadi betul-betul masuk akal.

Saya jawab bahwa ada penyesuaian, yaitu dari istilah bahasa asing ke bahasa Indonesia, seperti keluarga miskin (poor family, dan beneficiaries households) diganti menjadi keluarga sasaran dan rumah tangga penerima manfaat bantuan. Atas ketertundukan dan patuh nunut ini tidak heran mengapa kemudian PBB memuji-muji cara Indonesia dan mengangkat presidennya sebagai tokoh kehormatan program hutang pasca 2015.

Jika membandingkan dengan di Cina dan India pemerintahnya sadar jika dana ini harus dikembang biakkan daripada diturunkan sebagai program sinterklas bagi-bagi sembako dan alat tulis bagi masyarakat miskin sesuai buku panduan MDGs.

Maka kedua negara ini lebih memilih memutar dana MDGs yang mereka terima sebagai modal investasi di Afrika. Dengan membuka proyek di benua tadi, mereka secara nyata membuka lapangan kerja bagi buruh2 dan teknisi asal India ke luar negeri dan dengan begitu mengurangi kemiskinan dalam pengertian memberikan lapangan kerja yang layak. Lewat cara ini India dan Cina betul-betul realistis dengan program kemiskinan yang mereka desain dan sesuaikan dengan keperluan mereka sendiri.

Ini tentu saja membuat Inggris dan AS sebagai donor utama menjadi berang dan memotong bantuan bersyarat lain untuk India sambil mengancam menyetopnya total. Sebab dalam kurun 10 tahun setelah MDGs dimulai India dari penerima bantuan sudah menjadi salah satu donor di PBB. Sementara Cina melampaui semua target-target MDGs bukan karena mereka menaatinya tetapi justru karena mereka tidak mau menuruti desain yang dibuat perancangnya. Alasannya jelas kedua negara ini faham sekali jika para pemberi hutang tidak pernah ingin penerima melunasi dengan harapan mereka terus menerima interests dan menjebak negara penerima dengan bunga berbunga.

Ini kenapa sebelum MDGs kadarluarsa pada 2014, para donor2 tadi sudah siap dengan progam hutang baru post 2015 yang diberi nama Sustainable Development Goals (SDGs) dengan tema pengentasan kesenjangan (fight again inequality) sebagai tema pengganti perang melawan kemiskinan (fight again poverty).

Apapun istilahnya, dasar dari pinjaman dan hutang luar negeri itu berlaku berdasarkan asas mencari untung dengan hukum supply dan demand. Negara-negara kaya selalu ingin mengirimkan uang mereka ke negara-negara miskin atas nama pemerataan kesejahteraan. Padahal mereka terus ingin menjadi suppliers of loanable funds, pemberi dana bantuan hutang ke negara-negara berkembang dan miskin macam Indonesia. Itu karena sekali lagi ingin mendapatkan nilai interest-rate yang tinggi tetapi sambil terus memaksa negara-negara peminjam mengambil tawaran hutang-hutang tadi.

Dengan begitu elastisitas permintaan terus stabil naik dalam kurun 10-30. Ini adalah alasan kenapa desain bantuan selalu dibuat dalam kurun 5, 10, 15 tahun dengan kelipatan-kelipatannya karena mengacu kepada Treasury Bond Rate pemerintah AS.

Jika kita perhatikan, maka orang-orang yang menyetujui program GBHN hutang pada 2000 ini sama dengan orang yang menyetujui kelanjutan hutang post 2015. Mereka benar-benar by design mengadopsi bantuan tadi dan mencetaknya sebagai blue print dari desain pembangunan nasional kita untuk kemudian kita jalankan sampai masa berlakunya habis.

Sehingga tidak heran, setelah hampir 15 tahun program ini dijalankan, hampir tidak ada perubahan dan capaian dari program pengentasan kemiskinan di Indonesia. Di tambah dengan laporan BPS, dan inflasi yang dengan mudah melemparkan kembali orang ke jurang kemiskinan.

Sekarang orang-orang ini pula yang secara gempita menerima program pasca 2015. Kita lihat saja kira-kira kemana orang ini akan mengalirkan dananya bagi capres mendatang, maka baru kita pasang taruhan siapa presiden 2015.[ ]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun