Bangsa-bangsa bukan hanya sekedar tubuh politik, namun juga jiwa-politik. Maka celakalah orang-orang yang hanya mencari materi, namun lupa bahwa ia mempunyai jiwa. Â
Kemudian kita menghadapi sebuah ras, yang membatu dalam dogma, yang mengandaikan tidak adanya jiwa dan hanya hadirnya ingatan dan naluri atau terdemoralisasi oleh keberuntungan. Â
Sifat seperti itu tidak akan pernah bisa memimpin peradaban. Â
Genufleksi di hadapan berhala atau uang membuat otot yang berjalan dan kemauan yang bergerak berhenti berkembang. Â
Penyerapan yang hirarkis atau merkantil mengurangi pancaran suatu bangsa, merendahkan cakrawalanya dengan menurunkan derajatnya dan menghilangkan pemahamannya akan tujuan universal, sekaligus manusiawi dan ilahi, yang menjadikan bangsa-bangsa misioner. Â
Orang-orang yang merdeka, lupa bahwa mereka mempunyai jiwa yang harus diperhatikan, mencurahkan seluruh energinya untuk kemajuan materi. Â
Jika mereka berperang, maka hal itu dilakukan demi kepentingan komersial mereka. Â
Warga negara meniru Negara dan menganggap kekayaan, kemegahan dan kemewahan sebagai kekayaan hidup. Â Â
Negara seperti ini menciptakan kekayaan dengan cepat namun mendistribusikannya dengan buruk. Â
Dari situlah terdapat dua perbedaan yang sangat mencolok, kemewahan yang luar biasa dan kesengsaraan yang luar biasa. Semua kenikmatan bagi segelintir orang, sementara kemelaratan bagi orang lain, yakni bagi rakyat.
Hak Istimewa, Pengecualian, Monopoli, Feodalitas yang muncul dari Buruh itu sendiri, menjadikan Buruh bagaikan Cyclops yang buta dan dirantai
Baik itu di tambang
Di bengkel- bengkel,
Di atas asap beracun
Di pabrik-pabrik yang tidak memiliki ventilasi
Menempatkan kekuasaan publik di atas kesengsaraan pribadi dan menanamkan kebesaran Negara dalam penderitaan individu. Â