Mohon tunggu...
ANDI FIRMANSYAH
ANDI FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Guru - Guru yang Belum Tentu Digugu dan Ditiru

Hanya Seorang Marhaen yang menyenangi bidang Geopolitik, Sejarah dan Ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Banalitas Kejahatan

17 Mei 2024   19:22 Diperbarui: 17 Mei 2024   20:29 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hannah Arendt, seorang ahli teori politik, menciptakan ungkapan "banalitas kejahatan" ketika dia menyusun bukunya setelah menyaksikan persidangan perwira Nazi SS Adolf Eichmann pada tahun 1961. Bagi Eichmann, pembunuhan massal terhadap narapidana hanyalah tindakan biasa karena dia hanya mengikuti perintah.

Kata "banalitas kejahatan" muncul di benak saya saat saya sedang mencari istilah yang paling tepat untuk digunakan dalam kaitannya dengan adegan berdarah dan kekerasan yang kini biasa kita lihat dalam film ataupun serial aksi/thriller di platform streaming yang pernah saya tonton di rumah.

Izinkan saya mengutip tiga judul yang sangat populer yang dilihat oleh jutaan orang di seluruh dunia yaitu Squid Game, Alice in Borderland dan John Wick . Saya sudah menonton semuanya. Keluarga saya seorangpun tidak saya ijinkan menonton adegan kekerasan dan berdarah-darah yang terus-menerus disajikan dalam filem tersebut.

Mungkin saya adalah mikrokosmos dari dunia pemirsa saat ini yang mendapatkan sensasi dan kesenangan dari pembantaian, rangkaian aksi berdarah yang dikoreografikan tanpa henti. Kadang, beberapa dari kita begitu terbawa suasana hingga melontarkan kata-kata umpatan, mendesak tokoh protagonis untuk terus menghajar penjahat hingga babak belur atau menembakkan lebih banyak peluru sesuai kasusnya.

Ada suatu saat ketika adegan yang sangat kejam diberi peringkat X, sama seperti film dengan adegan seksual. Ingatlah saat Exorcist ditayangkan dan penonton bioskop dikatakan pingsan atau keluar dari bioskop karena tidak tahan dengan adegan yang dikatakan terlalu mengerikan.

Di tengah kemajuan pesat dalam bidang prostetik dan teknologi CGI, adegan kekerasan dan hal mengerikan kini ditampilkan dengan sangat realistis dalam definisi tinggi tapi masyarakat tidak lagi berpaling ketika ada wajah yang dipukul berkali-kali atau ada pisau yang ditancapkan di kepala, mata, selangkangan atau telinga tokoh dalam filem. Adegan kadang berlangsung lama, namun orang-orang terus menonton.

Saya menyebutnya kekerasan frontal.  Setiap sutradara berusaha untuk melampaui batasan kekerasan dan adegan berdarah agar penonton memuji semua itu.

Saat ini semakin banyak tokoh utama perempuan yang membawa senjata pembunuh dan tanpa ragu-ragu atau menyesal dalam melukai, menembak atau menggorok semua tokoh antagonis yang menghalangi mereka.

Bahkan bahasa film sengaja dibuat kasar dan penuh makian. Mungkin semakin kasar dialognya, semakin banyak orang yang menyukainya. Begitu banyak bahasa kebencian, begitu banyak omelan kekerasan, begitu banyak kata-kata kotor yang dilontarkan bagaikan peluru yang ditujukan untuk melubangi kepala musuh. Seolah-olah bahasa kekerasan kini menjadi lingua franca yang tepat dalam berhubungan dengan sesama manusia.

Masyarakat kita sedang dipengaruhi atau lebih buruk lagi dirusak dengan menjadikan kekerasan berlebihan sebagai rutinitas.

Cara kekerasan adalah solusi perbaikan cepat dengan bahasa standar," bunuh bajingan itu dan masalahnya terpecahkan".

Saat ini, siapapun bahkan perempuan, dibunuh di siang hari bolong. Sudah biasa, tidak ada yang aneh lagi. Orang-orang hanya mengangkat bahu ketika mereka mendengar informasi yang disampaikan di buletin berita. Begitulah kekerasan yang biasa terjadi dalam kehidupan nyata.

Tidak ada penyesalan dari para pelaku dengan impunitas total dan tidak ada akuntabilitas. Sama seperti di film-film ketika musuh tokoh utama membunuh di segala arah dan dengan santainya meninggalkan pembantaian.

Pernahkah terlintas di benak para pembuat film bahwa para pembunuh dan penjahat di kehidupan nyata bisa saja mengambil banyak tips tentang cara membunuh dan melarikan diri hanya dengan menonton film?

Saya kira bahkan tokoh agama sudah menyerah untuk membicarakan hal ini. Saat ini, tokoh perdamaian, penganjur masyarakat tanpa senjata dan tokoh non-kekerasan kini sudah tidak pada tempatnya lagi, sebuah anakronisme dalam masyarakat masa kini.

Apakah hanya saya yang membayangkan perkembangan yang mengkhawatirkan ini? Peringatan saya mungkin tidak akan diindahkan, karena Squid Game telah menjadi serial streaming paling populer di seluruh dunia.

Coba pikirkan sejenak apa yang ditemukan oleh penelitian baru-baru ini, seperti yang dipublikasikan secara online di Journal Social Cognitive and Affective Neuroscience yaitu menonton film, acara TV atau video game yang berisi kekerasan akan menurunkan kepekaan remaja, menumpulkan respons emosional mereka terhadap agresi dan berpotensi mendorong sikap dan perilaku agresif...

Kesimpulan makalah tersebut adalah " bahwa paparan terhadap video yang berisi kekerasan menghambat reaksi emosional terhadap video agresif serupa dari waktu ke waktu dan menyiratkan bahwa remaja normal akan merasakan lebih sedikit emosi seiring berjalannya waktu ketika mereka melihat video serupa... terus-menerus terpapar pada video kekerasan akan membuat remaja kurang sensitif terhadap kekerasan, lebih menerima kekerasan dan lebih cenderung melakukan tindakan agresif..."

Ini tentu saja merupakan tanda bahaya bagi kita. Namun siapa yang peduli? Bukannya kita terus terlibat dalam menormalisasi kekerasan di layar? Padahal hal itu secara diam-diam menginfeksi rasa kemanusiaan kita.

Bayangkan sebuah skenario dimana di suatu tempat, seseorang ditembak mati di trotoar dan orang-orang awalnya berkerumun untuk melihat, kemudian mengangkat bahu lalu pergi. Sebab mereka telah terbiasa dengan kejadian seperti itu karena sudah menjadi bagian normal dari kehidupan sehari-hari. Mereka kemudian dengan santai melanjutkan hidup mereka, minum kopi, ngobrol, bertukar lelucon.

Seperti di film, begitu pula di kehidupan nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun