Ada suatu saat ketika saya mengajar di kelas, pada jam pertama, saya memperhatikan bahwa para peserta didik terlihat gelisah dan bosan ketika saya terus mengoceh, memberikan informasi yang sebenarnya bisa mereka peroleh dengan membaca buku. Saya kemudian mencoba memeriahkannya dengan slide dukungan untuk mengilustrasikan pembicaraan saya.
Kemudian tibalah jam berikutnya, saya mengubah pendekatan saya. Saya membuat sesinya lebih interaktif. Saya membalikkan keadaan dan membuat mereka berpikir dan berbicara. Saya membagi mereka secara acak menjadi pasangan-pasangan dan meminta mereka untuk mewawancarai satu sama lain. Setelah beberapa saat, saya menyuruh mereka untuk memperkenalkan satu sama lain menggunakan informasi yang diambil dari wawancara langsung. Sesi ini memecahkan kebekuan. Hal ini juga memberi saya masukan tentang keterampilan masing-masing peserta dalam bercerita dan karakterisasi.
Setiap hari saya melakukan aktivitas kejutan. Untuk latihan visualisasi, saya mengajak mereka keluar ruangan dan menyuruh mereka berjalan berpasangan. Salah satu dari mereka ditutup matanya sementara yang lain akan membimbing pasangannya secara verbal saat mereka berjalan, menjelaskan kepadanya seperti apa tempat itu. Kembali ke kelas, saya membuat mereka merenungkan pengalaman tersebut.
Selama dua minggu, saya menyuruh mereka melakukan aktivitas singkat dan sederhana seperti menulis, bertukar pikiran berpasangan dan bermain peran. Suatu saat mereka membuat gambar pohon, saat berikutnya mereka bertindak, mencoba menghidupkan apa yang baru saja mereka tulis. Di lain waktu, saya membawa beberapa koleksi video saya dan kami menontonnya, lalu saya mendesak mereka untuk mengkritik apa yang baru saja kami lihat.
Saya lebih berperan sebagai fasilitator dan moderator. Saya hanya memicu proses pembelajaran dengan melempar bola dan membiarkan mereka membawanya dari sana. Kelas saya selalu dimulai dengan mantra dua pertanyaan: "Bagaimana jika? Mengapa tidak?" Pada akhirnya, mereka akan mempresentasikan apa yang telah mereka capai dan merefleksikannya dengan komentar dari saya dan seluruh kelas. Yang terbaik dari semuanya, mereka merasa bahwa mereka "memiliki" pembelajaran tersebut, karena sebenarnya merekalah yang mengeluarkannya dari diri mereka sendiri.
Baru-baru ini saya menonton serial drama sekolah menengah Jepang dengan judul: "Bisnis Sekolah Menengah."
Berkisah tentang kerja keras seorang eksekutif perusahaan yang ditugaskan untuk membalikkan keadaan sebuah sekolah menengah swasta yang mengalami kesulitan keuangan dan menjadikannya menguntungkan.
Untuk membalikkan keadaan, sang eksekutif ini memangkas biaya dan mengambil keputusan berani dengan menanamkan kehidupan baru ke dalam sistem tradisional sekolah tersebut dengan menerapkan apa yang disebut mode pengajaran "Pembelajaran Aktif".
Saat menontonnya, saya mulai menyadari bahwa ternyata "pembelajaran aktif" sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru karena kini sudah banyak dilakukan di sekolah-sekolah di luar negeri. Apa yang lebih penting bagi saya adalah tidak terlalu menekankan pada pembelajaran tetapi lebih pada melibatkan siswa dalam bertindak dan berpikir. Hal ini mendorong siswa untuk berpikir aktif dibandingkan hanya pasif menerima informasi dari guru.
Berbeda dengan pembelajaran pasif konvensional, pembelajaran ini melibatkan siswa, menggunakan aktivitas seperti membaca, menulis, berdiskusi atau memecahkan masalah yang pada gilirannya mendorong analisis dan sintesis. Hal ini juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan umpan balik mengenai seberapa baik mereka memahami materi.
Kita perlu menata ulang pembelajaran bukan lagi sekadar cara menyampaikan informasi namun juga memicu pemikiran. Peran guru adalah mengaktifkan pikiran siswa. Sama seperti mengajari seseorang cara mengendarai sepeda, Anda membiarkan pemula mengayuh sendiri setelah dorongan awal.