Di TV dan layar digital, kita menyaksikan warga sipil Palestina yang secara sukarela melakukan perlawanan. Setelah berpamitan dengan keluarga mereka di perbatasan, para pria kembali mempertahankan wilayahnya. Perempuan juga mengangkat senjata dan berlatih berperang. Rakyat Palestina dari seluruh dunia kembali ke tanah airnya dan bersumpah untuk menyerahkan hidup mereka untuk mempertahankan tanah air mereka.
Setiap hari, saya hanya bisa menyaksikan dengan kesedihan dan kekaguman terhadap penderitaan rakyat Palestina yang kini memberi kita pelajaran langsung tentang apa sebenarnya arti patriotisme.
Di sekolah dasar, setiap anak sekolah diberikan pelajaran tentang cinta tanah air. Tapi semua diktum dan ajaran yang kita hafal tentang cinta tanah air tidak akan berarti apa-apa sampai kita mengalami masa percobaan yang serupa dengan apa yang dialami rakyat Palestina saat ini. Mereka menjalani pelajaran bela negara dengan bertaruh nyawa.
Ketika suatu negara diserang oleh penjajah, adalah kewajiban rakyatnya untuk memperjuangkannya.
Netanyahu mungkin bisa menaklukkan tanah Palestina, tapi dia tidak akan bisa menguasainya selamanya. Ketika orang telah berinvestasi begitu banyak pada suatu tanah, Anda tidak mungkin dapat mengambilnya dari mereka. Mengapa? Sebab hati mereka berakar pada tanah tersebut. Nenek moyang mereka dimakamkan di sana.
Ada suatu masa ketika kita membangkitkan kemarahan kolektif kita untuk melawan penjajah dan menunjukkan cinta sejati pada negara dengan melakukan pengorbanan tertinggi. Itu terjadi pada Perang Kemerdekaan ketika tanah air kita basah kuyup oleh darah warga negara kita yang gagah berani.
Tapi saya khawatir, rasa patriotisme kita sudah tipis ditanamkan dalam diri kita. Rasa bangga kita sebagai orang Indonesia nampaknya sangat dangkal dan berubah-ubah. Kita baru merasakannya ketika salah satu atlet kita menjadi juara.
Sedangkan pihak asing tidak perlu menyerang kita secara militer. Kita telah mengizinkan investor asing untuk memiliki tanah kita, melakukan bisnis tanpa membayar pajak yang layak, menggali gunung untuk mendapatkan emas, membangun pulau-pulau di tengah laut, mencemari sungai dan menghancurkan hutan untuk mendapatkan mineral. Mineral kita.
Apakah kita benar-benar mencintai tanah kita ini? Akankah para imigran dan anak-anak mereka yang lahir di luar negeri berkemas dan pulang untuk berjuang di sini demi tanah air kita?
Saya sedih melihat orang-orang Indonesia menyatakan "Bangga menjadi orang Amerika" di media sosial, sambil menunjukkan sertifikat kewarganegaraan Amerika yang baru mereka peroleh.
Saya merasa terhina menyaksikan orang tua muda berbicara keras kepada putranya yang masih balita dalam bahasa Inggris pada suatu saat dan kemudian pada saat berikutnya memberikan pesanannya dalam bahasa Indonesia kepada gadis di konter makanan cepat saji.