Saat remaja, saya biasa memanjat pohon mangga ketika saya ingin menikmati waktu tenang sendirian. Bertengger di salah satu dahan besar, lebih tinggi dari atap rumah, saya bisa menikmati pemandangan indah hamparan tebu yang luas dan cakrawala di kejauhan. Pohon itu dan saya menghabiskan banyak waktu bersama, memberi saya tempat terpencil dan penghiburan dan kadang-kadang buahnya yang matang mudah dijangkau. Saya berharap saya bisa kembali dan berterima kasih, jika masih ada.
Telah lama terjadi perdebatan mengenai apakah tumbuhan dan pohon memiliki perasaan, emosi dan kesadaran. Apakah mereka sadar atau memiliki perasaan masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan, pemuka agama, pecinta tanaman dan "spiritista".
Diterbitkan pada tahun 1973, "The Secret Life of Plants" adalah sebuah buku yang mengemukakan gagasan bahwa tumbuhan merespons emosi manusia di sekitarnya. Namun, perlu dicatat bahwa penelitian selanjutnya sebagian besar telah membantah banyak klaim yang dibuat dalam buku tersebut. Namun bahkan tanpa buku tersebut, banyak "plantitos" dan "plantitas" yang saya temui mengaku berbicara dengan tanaman mereka. Bagi mereka, tumbuhan adalah "makhluk hijau". Ingatlah, para plantitas itu adalah orang dewasa yang cerdas, sadar dan matang. Mereka melakukannya bukan hanya karena kepercayaan kepada takhayul tapi mereka merujuk pada temuan ilmiah terkini.
Sekarang ada bidang studi baru yang disebut "neurobiologi tanaman." Beberapa ilmuwan yakin bahwa tumbuhan dan pohon memiliki proses sinyal listrik dan kimia yang rumit yang memungkinkan mereka mengoordinasikan tanggapan mereka terhadap perubahan lingkungan di sekitar mereka. Para ilmuwan itu berpendapat bahwa mereka menemukan neurotransmitter di samping sel-sel mirip saraf.
Ahli ekologi Suzanne Simard memiliki teori menarik tentang "pohon induk". Menurutnya, pohon tertua dan terbesar dalam suatu ekosistem, seperti induk mamalia lainnya, secara aktif membantu pohon-pohon muda untuk bertahan hidup. Dia mengatakan bahwa "pohon induk" ini mengirimkan nutrisi, karbon, air, dan sinyal peringatan ke pohon-pohon muda dari spesies yang sama untuk memacu pertumbuhan dan melindunginya melalui jaringan jamur bawah tanah yang disebut "mikoriza".
Namun, tidak semua ilmuwan setuju dengan temuan baru yang menarik tentang pohon ini. Itu semua hanyalah mitos, kata mereka. Para peneliti menyarankan untuk tidak terlalu percaya diri dalam upaya menarik persamaan antara tumbuhan dan manusia, karena bukti ilmiah saat ini masih belum cukup untuk mendukung klaim tersebut.
Meski belum ada kepastian mengenai hak-hak pohon, setidaknya kita harus sepakat mengenai hak-hak pohon. Kita harus mengelola hutan kita secara lestari dan penuh hormat dan membiarkan beberapa pohon menjadi tua dengan bermartabat dan mati secara alamiah. Bagaimanapun, mereka memberi kita makanan, kayu dan obat-obatan yang berharga. Sebagai paru-paru bumi, mereka membantu menjaga dan mempertahankan keseimbangan karbon dioksida dan oksigen yang memungkinkan kehidupan di bumi.
Namun meskipun kita tidak mengetahui secara pasti bahwa mereka memiliki suatu bentuk kesadaran, saya berani mengatakan bahwa pohon adalah sumber pengetahuan yang tiada habisnya. Pepohonan dapat memberi kita banyak pelajaran berharga tentang kehidupan dan kemanusiaan.
Pohon memberi tahu kita pentingnya akar bagi stabilitas. Sama seperti pohon yang membutuhkan akar yang dalam agar tetap tegak, kita juga memerlukan landasan emosional dan spiritual yang kuat untuk menghadapi badai kehidupan.
Bahkan ketika pepohonan menggugurkan daun dan kulitnya, pepohonan tetap berakar pada identitas inti mereka. Kita bisa belajar dari pohon untuk menerima perubahan dan melepaskan hal-hal yang tidak lagi bermanfaat bagi kita.
Sebuah pohon tidak tumbuh dalam semalam. Dibutuhkan kesabaran dan ketekunan selama bertahun-tahun agar pohon muda bisa menjadi raksasa yang menjulang tinggi. Demikian pula, pertumbuhan kita membutuhkan waktu dan usaha. Tidak ada lift menuju kesuksesan, seperti kata mereka.