Suatu kali, ketika saya sedang makan siang di sebuah warung, seorang pria diam-diam duduk dan berlama-lama di di samping saya. Saya melirik ke arahnya dan saya lihat dia sedang memperhatikan dengan penuh perhatian apa yang sedang saya makan. Dia tampil rapi. Tidak berantakan untuk menunjukkan mungkin dia seorang gelandangan.
Saya tahu apa yang dia inginkan. Jadi saya bergegas menyelesaikan makanan saya. Lalu begitu saya berdiri untuk pergi, saya bisa merasakan dia tegang, siap menerkam mangsanya. Potongan empal sapi dan nasi campur yang sengaja saya tinggalkan untuknya.
Setelah saya membayar makanan, saya menoleh ke belakang saat dia sedang meluncur ke posisi dimana saya duduk awalnya. Lantas dia makan dengan penuh semangat. Memegang sendok yang baru saja saya gunakan dan dengan santai menaburkan sambal di atas makanannya. Saya memperhatikannya sebentar, senang dia menyukai apa yang saya pilih dari menu hari itu.
Pernahkah Anda melihat serigala atau hyena, hewan pemakan bangkai di hutan belantara Afrika yang melahap bangkai hewan sisa predator lainnya? Itulah gambarannya saat itu.
Lalu ada cerita yang diceritakan teman saya kepada saya beberapa waktu lalu. Dia biasanya mengumpulkan sisa makanan dan meninggalkannya di luar gerbang rumahnya untuk kucing-kucing liar yang ada di kompleks mereka.
Kemudian pada suatu malam, seperti biasa, saat dia hendak meletakkan wadah plastik yang berisi sisa makanan, tiba-tiba entah dari mana, seorang lelaki tak terawat bergegas merampas sisa makanan tersebut, mendahului kucing-kucing itu. Dia tersenyum tipis pada teman saya seolah mengucapkan terima kasih lalu menyelinap kembali ke istri dan anaknya yang menunggu di gubuk mereka.
Saat itulah ia mengetahui bahwa ada pemulung tunawisma yang berhasil bertahan hidup di kompleks tersebut.
Di Tiongkok kuno dan bahkan di kalangan Tionghoa masa kini, ketika mereka bertemu dengan seorang kenalan atau tetangga di gang, mereka tidak mengucapkan "apa kabar?" Sebaliknya sapaan standar mereka adalah ni chi le ma yang diterjemahkan sebagai "apa kamu sudah makan?" Hal ini tidak serta merta dianggap sebagai ajakan untuk makan bersama.
Jadi apa sebenarnya maksud dari sapaan sehari-hari ini? Dari manakah ungkapan itu berasal?
Cheuk Kwan, seorang pembuat film dokumenter, menulis buku berjudul "Apakah kamu sudah makan?" Menurutnya "karena perang, kelaparan dan kemiskinan, orang-orang di Tiongkok kuno tidak selalu mempunyai cukup makanan. Mungkin itulah sebabnya kata-kata ini menjadi ungkapan kepedulian terhadap kesejahteraan seseorang." Tidak heran dalam budaya tradisional Tiongkok, makanan sangat dianggap sebagai hal yang paling penting. Sebuah pepatah Tiongkok kuno mengatakan, "Orang biasa menganggap makanan sebagai surga."
Ingatkah orang tua kita yang biasa memaksa kita memakan sisa makanan terakhir di piring kita? Jika tidak, Anda tidak akan diizinkan meninggalkan meja sampai Anda menghabiskan semua yang ada di piring Anda. Ambil hanya apa yang sanggup Anda selesaikan. Pernyataan orang tua kita yang biasa mereka sampaikan adalah bahwa orang-orang di Afrika bahkan tidak mempunyai makanan untuk dimakan, jadi bersyukurlah ada makanan di atas meja.
Tapi dari apa yang saya lihat saat ini, mungkin akan tiba saatnya kita akan menghadapi masa depan dimana makanan akan menjadi sangat langka sehingga makan akan menjadi perhatian utama kita.
Akhir-akhir ini, semakin banyak anak-anak dari komunitas terpinggirkan yang tinggal di gubuk-gubuk di sepanjang aliran sungai turun ke jalan dan mengetuk pintu gerbang, meminta sedikit uang untuk membeli beras atau sisa makanan. Â
Inflasi terus berdampak besar pada harga pangan, khususnya daging dan ikan beku serta sayuran segar.
Di Amerika, yang terkenal sebagai negara dengan segala kelimpahan, saya mengetahui bahwa sebanyak 40 persen persediaan makanan mereka buang setiap hari. Menurut perkiraan, jumlah ini dapat memberi makan hampir satu miliar orang yang menderita kekurangan gizi di belahan dunia lain.
Lewat media sosial kita dibujuk untuk makan dan makan, terkadang melebihi kapasitas kita. Makanlah sepuasnya! Makanan berlimpah! Beras tanpa batas! Barbekyu tanpa batas! Hari demi hari, saya mengamati orang-orang mengantri di restoran makan sepuasnya.
Yang menurut saya paling menjijikkan adalah video mukbang produksi Korea yang menampilkan seseorang yang melahap makanan dalam jumlah banyak sambil berbicara kepada penonton betapa nikmatnya makanan tersebut.
Seringkali saya bertanya-tanya apa yang terjadi dengan kelebihan makanan dan bahan-bahan yang mudah rusak lainnya yang tidak dikonsumsi pada akhir hari? Saya tidak tahu apakah ini benar, namun banyak supermarket mempunyai kebijakan untuk membuang makanan yang sudah melewati tanggal kadaluwarsanya daripada memberikannya untuk para gelandangan dan fakir miskin.
Kita semua bersalah karena menjadi "lapar mata". Kita bisa mengubah keadaan dengan hanya membeli makanan yang akan kita makan. Mari kita menjadi orang yang teliti dan makan dalam jumlah sedang dan hanya makan apa yang bisa kita habiskan. Mari kita normalkan daur ulang sisa makanan serta memanaskan kembali makanan kita dan secara kreatif menggabungkan sisa makanan untuk membuat makanan baru dan unik.
Bahkan jika Anda tidak tahan untuk memakan sisa makanan, Anda masih dapat menemukan cara untuk menawarkan makanan tersebut kepada orang lain, termasuk kucing dan anjing yang ada di jalan.
Mungkin kita perlu mendirikan bank makanan dimana makanan berlebih atau tidak terjual dapat disimpan untuk didistribusikan kepada masyarakat miskin dan kelaparan.
Yang terpenting, kita perlu mengubah sikap kita. Jangan pernah menganggap remeh makanan, karena makanan sangat berharga. Mari kita hargai makanan itu sendiri karena nutrisinya akan menambah kehidupan kita selama bertahun-tahun. Miliki hati yang menghargai saat setiap hidangan membuka harta karunnya untuk Anda.
"Setiap kali kelebihan makanan dibuang, itu seperti dicuri dari meja orang miskin, dari meja orang lapar!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H