Lulus kuliah bukan berarti selesai belajar. Untuk menjadi tangkas, mudah beradaptasi, selalu relevan dan diminati, kita perlu beradaptasi dengan siklus pembelajar seumur hidup. Belajar, melakukan, istirahat, belajar, melakukan, istirahat dan seterusnya. Tidak ada titik akhir dalam belajar. Anggaplah diri kita sedang berada di ban berjalan. Kita harus terus bergerak dan belajar.
Teknologi AI yang sedang berjalan akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja di berbagai sektor seperti yang diperkirakan para ahli. Pertanyaannya bukanlah apakah AI akan membuat kita ketinggalan jaman, namun apakah kita akan mampu menghadapi tantangan untuk mempelajari apa yang diperlukan agar tetap relevan dan menjadi yang terdepan.
Ketika kita memutuskan untuk terus mempelajari pengetahuan baru, meningkatkan keterampilan, kita membuka jalan bagi peluang dan kemungkinan baru yang memberdayakan untuk menghadapi masa depan dengan percaya diri dan sukses.
Dalam proses belajar, kita tidak hanya akan menemukan hasrat sejati tetapi juga bagaimana menerapkannya ke dalam pekerjaan yang paling biasa sekalipun. Gairah pada gilirannya semakin mendorong kecintaan kita untuk belajar. Saya pernah memiliki seorang murid yang hasratnya mendorongnya untuk melampaui sekadar menjadi pekerja utilitas, hingga belajar menggunakan kamera video dan mendapatkan pekerjaan sebagai juru kamera berketerampilan tinggi di jaringan berita TV Jepang dan menjalankan tugas di seluruh dunia.
Mengapa tidak menanamkan kecintaan belajar ini ke setiap orang dan perlahan-lahan mengubah masyarakat kita menjadi budaya belajar? Sebagian besar masalah kita berakar pada kegagalan kita memimpin dengan belajar. Hal ini harus dimulai dengan pembelajar utama seperti orang tua dan guru. Mereka harus memicu cinta dan kesenangan serta sensasi pembelajaran seumur hidup sejak masa kanak-kanak. Hanya ketika kita mempunyai budaya belajar, kita akan berhenti menyalahkan pihak lain atas stagnasi dan perjuangan pribadi dan nasional kita.
Kita perlu memahami bahwa belajar bukan sekedar menerima pengetahuan dari masa lalu secara pasif. Ini tentang mempertanyakan dan menantang paradigma dominan dan ortodoksi yang ada serta menghancurkan ilusi. Ini adalah satu-satunya cara agar ide-ide segar dan wawasan baru muncul, yang diperlukan untuk kemajuan kita.
Sayangnya, menumbuhkan budaya belajar mungkin merupakan upaya yang sia-sia. Sikap Tahu Segalanya menjadi kendala terbesar kita. Tampaknya masyarakat kita pada umumnya menderita fobia belajar yang diperparah dengan buruknya kemampuan membaca komprehensif anak-anak Indonesia berdasarkan penilaian terbaru yang dilakukan oleh Program Penilaian Siswa Internasional (PISA) OECD.
Teman-teman seniorku hanya menghabiskan hari-harinya mencari kebahagiaan sendiri. Mereka hanya mengangkat bahu tak tertarik saat saya minta mereka berbagi dan meneruskan sedikit wawasan yang mereka peroleh dari perjalanan hidup masing-masing. Saya mempunyai banyak sekali buku yang telah saya kumpulkan selama bertahun-tahun tetapi anak dan murid saya tidak pernah mau membukanya.
Jadi mungkin diperlukan beberapa generasi untuk mengubah masyarakat Indonesia memiliki budaya pembelajar. Namun marilah kita mulai sekarang mulai memupuk kebiasaan belajar. Mari kita semua menjadi pemimpin pembelajar. Mari kita memiliki hasrat untuk menyebarkan dan bertukar pembelajaran di mana pun kita berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H