Ketika dunia sedang bergulat dengan berbagai tantangan, sangatlah penting untuk memperhatikan wilayah-wilayah yang terus menanggung beban konflik dan penderitaan manusia. Darfur, sebuah wilayah di Sudan barat, menjadi pengingat akan kegagalan komunitas internasional mencegah genosida. Meskipun ada upaya untuk mewujudkan perdamaian, terdapat tanda-tanda  bahwa bencana lain mungkin akan segera terjadi yang memerlukan perhatian dan tindakan segera.
Bekas luka genosida Darfur, yang terjadi antara tahun 2003 dan 2008 masih segar dalam ingatan kita bersama. Konflik tersebut, yang dipicu oleh ketegangan etnis dan suku, mengakibatkan kematian ratusan ribu orang dan jutaan orang mengungsi. Kecaman internasional dan janji "tidak akan pernah lagi" digaungkan melalui koridor diplomatik. Namun situasi di Darfur masih dalam kondisi genting.
Upaya pemerintah Sudan untuk menguasai wilayah tersebut melalui kampanye brutal terhadap pemberontak dan mereka yang dianggap pembangkang telah meninggalkan kekosongan kekuasaan sehingga memperburuk perpecahan etnis dan suku yang ada.
Meskipun mantan Presiden Omar Bashir telah digulingkan, yang didakwa oleh Pengadilan Kriminal Internasional atas perannya dalam genosida Darfur, permasalahan mendasar masih tetap ada, membara di bawah permukaan dan mengancam akan terjadi lagi.
Komunitas internasional harus mengenali tanda-tanda yang menunjukkan potensi terulangnya genosida di Darfur. Sinyal buruk pertama adalah kurangnya kemajuan yang berarti dalam mencapai perdamaian dan stabilitas. Meskipun terdapat banyak perjanjian dan perundingan perdamaian, kawasan ini masih terperosok dalam kekerasan dan bentrokan antara pasukan pemerintah, pemberontak dan berbagai kelompok bersenjata masih terus terjadi. Ketidakstabilan yang terus berlanjut ini menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kekejaman massal.
Kedua, situasi kemanusiaan di Darfur sangat buruk dengan jutaan orang yang membutuhkan bantuan. Perpindahan penduduk, ditambah dengan kurangnya akses terhadap sumber daya dasar seperti makanan, air dan layanan kesehatan, menciptakan lingkungan yang siap untuk dieksploitasi dan disalahgunakan. Sejarah telah menunjukkan bahwa keadaan yang menyedihkan dapat meningkatkan kerentanan dan meningkatkan ketegangan sehingga menjadi tempat berkembang biak yang sempurna bagi benih-benih genosida untuk berakar.
Terlebih lagi, dunia tidak bisa menutup mata terhadap meningkatnya ujaran kebencian dan hasutan kekerasan di Darfur. Retorika yang menghasut, yang dipicu oleh permusuhan etnis dan suku yang mengakar, menyebar seperti api, menabur benih perselisihan dan memperdalam perpecahan dalam masyarakat.
Komunitas internasional harus menyadari kekuatan kata-kata dalam membentuk persepsi publik dan bertindak cepat untuk melawan narasi berbahaya yang dapat meningkat menjadi kekerasan yang meluas.
Faktor penting yang berkontribusi terhadap potensi genosida di Darfur adalah kurangnya tanggapan internasional. PBB dan negara-negara penting lainnya lamban bereaksi. Terhambat oleh hambatan diplomatik dan kurangnya konsensus mengenai cara mengatasi permasalahan rumit yang ada. Komunitas global harus mengatasi tantangan-tantangan ini dan bertindak tegas untuk mencegah bencana kemanusiaan lainnya.
Untuk menghindari krisis yang akan datang, diperlukan pendekatan multifaset. Pertama dan terpenting, harus ada upaya bersama untuk mengatasi akar permasalahan konflik di Darfur. Hal ini termasuk mengatasi permasalahan marginalisasi, diskriminasi dan distribusi sumber daya yang tidak merata. Komunitas internasional yang bekerja melalui saluran diplomatik harus menekan pemerintah Sudan untuk mengatasi masalah struktural ini dan berupaya menuju pemerintahan yang inklusif.
Bantuan kemanusiaan harus ditingkatkan untuk meringankan penderitaan masyarakat di Darfur.
Komunitas internasional harus menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk memastikan bahwa mereka yang terkena dampak konflik mempunyai akses terhadap makanan, air bersih dan perawatan medis. Hal ini tidak hanya memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat namun juga berperan sebagai langkah penting dalam mencegah eskalasi kekerasan.
Selain itu, PBB dan badan-badan terkait lainnya harus memperkuat upaya pemeliharaan perdamaian mereka di Darfur. Hal ini termasuk mengerahkan lebih banyak pasukan dan memastikan bahwa mereka memiliki sumber daya dan mandat untuk melindungi warga sipil secara efektif.
Komunitas internasional harus tegas dalam meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia dengan memberikan pesan yang jelas bahwa impunitas tidak akan ditoleransi.
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mempunyai peran unik karena mempunyai pengaruh signifikan di Sudan. Negara ini harus segera terlibat dalam upaya diplomasi untuk mendorong dialog dan rekonsiliasi di antara pihak-pihak yang berkonflik dengan menekankan prinsip-prinsip perdamaian dan toleransi.
Kedua, OKI dapat memobilisasi bantuan kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat yang terkena dampak sehingga dapat meningkatkan stabilitas.
Ketiga, dengan memanfaatkan jaringan diplomatiknya, OKI dapat mendorong kerja sama regional dan dukungan terhadap inisiatif pembangunan perdamaian di Darfur.
Melalui upaya bersama ini, OKI dapat memainkan peran penting dalam mencegah terulangnya genosida di wilayah yang bermasalah ini.
Dunia tidak boleh mengulangi kesalahan masa lalu dengan membiarkan terjadinya genosida lagi di Darfur. Tanda-tandanya sangat buruk dan komunitas internasional harus bertindak dengan segera, penuh tekad dan rasa tanggung jawab kolektif.
Dengan mengatasi akar permasalahan, memberikan bantuan kemanusiaan, memperkuat upaya pemeliharaan perdamaian dan menerapkan tekanan diplomatik, kita dapat berupaya menuju masa depan yang lebih stabil dan aman bagi masyarakat Darfur.
Pernyataan "tidak akan pernah lagi" harus benar adanya dan kita harus bersatu untuk mencegah terjadinya tragedi serupa seperti genosida di Darfur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H