Menjaga bahasa itu penting. Apalagi pada saat perang dan konflik.
Konfrontasi dengan kekerasan selalu disertai dengan meluasnya penggunaan retorika yang sebagian besar berfokus pada tindakan menjelek-jelekkan dan tidak memanusiakan pihak lain.
Mereka yang secara sinis menggunakan bahasa ini biasanya untuk menggalang dukungan di dalam dan luar negeri. Mereka menganggap ini adalah satu-satunya cara komunikasi yang mereka kenal.
Mereka yang mengklaim bahwa  kata-kata adalah kata-kata. Tidak mungkin lebih mematikan daripada senjata seakan mengabaikan fakta bahwa kata-kata tersebut mungkin tidak membunuh secara langsung. Namun kata-kata tersebut menciptakan kondisi dan lingkungan yang memungkinkan terjadinya kekejaman yang paling buruk, termasuk genosida.
Nazi menyebut orang-orang Yahudi sebagai makhluk yang tidak manusiawi, seperti binatang.
Khmer Merah di Kamboja menggambarkan musuh-musuh mereka sebagai "cacing". Menyatakan bahwa hilangnya mereka "tidak menimbulkan kerugian".
Di Rwanda, propaganda Hutu berulang kali menggambarkan minoritas Tutsi sebagai "kecoak" atau "ular" dengan seruan untuk "membasmi kecoa." Dan kita semua tahu bagaimana kasus ini berakhir.
Praktik dehumanisasi ini tidak hanya sekedar mempermalukan dan merendahkan sekelompok orang, namun juga merupakan bagian dari proses yang berupaya melegitimasi kekerasan terhadap mereka.
Konflik Israel-Palestina telah menyaksikan praktik ini selama bertahun-tahun dengan intensitas bahasa yang semakin meningkat seiring dengan pecahnya permusuhan baru.
Sudah terlalu lama orang Israel dan Palestina tidak lagi menganggap satu sama lain sebagai manusia. Apalagi sebagai orang yang mempunyai hak yang sama termasuk hak untuk hidup.
Dehumanisasi dan demonisasi didefinisikan sebagai "penyangkalan terhadap kemanusiaan sepenuhnya terhadap orang lain". Menyangkal kemanusiaan seseorang, sebagian atau seluruhnya, menolak karakteristik yang sama yang menjadikan kita unik sebagai manusia dan berbeda dari segala bentuk keberadaan lainnya di alam, termasuk menerapkan moralitas atau penilaian dan bahkan mengasosiasikan manusia dengan hewan.