Penyebutan manusia sebagai binatang adalah hal yang umum di antara banyak deskripsi yang merendahkan martabat lainnya.
Sejarah telah mengajarkan kita berkali-kali bahwa manusia mampu melakukan kekejaman yang mengerikan dan oleh karena itu peradaban telah mengembangkan cara dan mekanisme untuk menghambat atau bahkan menghilangkan agresi.
Menjelek-jelekkan dan melakukan dehumanisasi bertentangan dengan norma-norma perilaku sosial yang dapat diterima seperti norma-norma yang dikodifikasikan dalam dokumen-dokumen seperti Piagam PBB, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan empat konvensi Jenewa.
Perjanjian-perjanjian ini dimaksudkan untuk menciptakan konsensus global tentang bagaimana manusia harus memperlakukan manusia lain bahkan di saat perang dan konflik.
Namun, jika kita tidak menganggap orang-orang yang berkonflik dengan kita sebagai manusia, maka kita sama saja meyakinkan diri sendiri bahwa perjanjian-perjanjian ini tidak berlaku bagi musuh-musuh kita. Â
Pembunuhan massal warga sipil tak berdosa, termasuk bayi, perempuan dan orang tua dalam perang tidak akan mungkin terjadi jika masing-masing pihak memandang musuhnya sebagai manusia biasa seperti mereka yang memiliki hak-hak dasar.
Pembenaran Israel yang tidak pernah menganggap orang-orang Palestina sebagai manusia yang setara, maka kehidupan warga Palestina pada umumnya tidak lebih dari sekedar catatan kaki dalam proyek pendirian negara Israel yang bebas dan aman.
Salah satu anggota Knesset, Ariel Kallner, menanggapi pembunuhan Hamas dengan menyerukan Nakba kedua dan bahkan lebih ekstrim lagi. "Saat ini," katanya, "satu tujuan: Nakba. Nakba yang akan membayangi Nakba tahun 1948."
Kemarahan atas penyerangan yang dilakukan Hamas dapat dimengerti. Namun seruan untuk melakukan kekejaman yang bahkan lebih buruk daripada seruan tahun 1948 di mana negara tersebut memainkan peran sentral dan penting, merupakan sebuah hasutan untuk melakukan pembunuhan massal dan pengungsian.
Mereka sama saja dengan tidak pernah mengakui penderitaan manusia yang dialami orang-orang Palestina, tidak pernah menahan diri untuk tidak memberikan penderitaan kepada mereka dan tidak pernah mengakui hak-hak kolektif mereka.
Agar perdamaian dapat terwujud di belahan dunia ini, pendulumnya harus beralih dari dehumanisasi ke rehumanisasi.