Mohon tunggu...
ANDI FIRMANSYAH
ANDI FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Guru - Guru yang Belum Tentu Digugu dan Ditiru

Hanya Seorang Marhaen yang menyenangi bidang Geopolitik, Sejarah dan Ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Globalisasi dalam Pertumbuhan Dunia yang Semakin Inklusif

10 November 2023   10:36 Diperbarui: 17 November 2023   08:46 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi globalisasi di berbagai bidang. (Sumber: freepik.com/rawpixel.com/busbus via kompas.com)

Konsep globalisasi mulai mendominasi dunia sejak tahun sembilan puluhan dan telah menambah dimensi baru sebagai prasyarat keberhasilan demokrasi di negara mana pun.  

Hal ini menantang pentingnya otoritas dan fungsi kesejahteraan negara yang implikasi kompleksnya dapat menjangkau negara-negara berkembang.

Globalisasi adalah fenomena multidimensi yang terdiri dari berbagai proses yang kompleks dan saling terkait yang memiliki dinamismenya tersendiri. 

Hal ini mencakup pendalaman dan perluasan pertukaran lintas batas yang cepat karena perkembangan teknologi, komunikasi, dan media.

Pertukaran dan interaksi seperti ini terjadi di semua tingkat pemerintahan dan antar aktor non-negara sehingga menciptakan dunia yang saling bergantung.

Globalisasi juga memengaruhi politik dalam negeri dan juga mempengaruhi kapasitas pemerintah dalam mengelola kekuatan-kekuatan baru.  

Liberalisasi dan integrasi ekonomi telah menyebabkan kesenjangan pendapatan yang lebih besar di negara-negara yang tidak memiliki kesejahteraan yang kuat karena pendapatan pekerja terampil yang semakin meningkat sementara pendapatan pekerja tidak terampil menurun.  

Perubahan sifat dan peran negara menimbulkan kekhawatiran masyarakat luas. Otonomi negara melemah dan kelas dominan memperoleh supremasi atas negara tersebut.  

Persepsi masyarakat mengenai Negara sebagai instrumen modernisasi dan pemberdayaan juga mengalami perubahan.  

Pada tahun 1990an ketika reformasi pasar menyusutkan peran negara, harapan terhadap hal tersebut tidak terwujud. 

Negara merasa sulit untuk mengakomodasi semua tuntutan mereka. Kelompok-kelompok sosial yang tidak puas akan menggunakan identitas mereka untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dari sumber daya negara.  

Filosofi dasar yang mendasari reformasi ekonomi adalah bahwa negara tidak lagi menjadi agen aktif pembangunan namun menjadi fasilitator bisnis korporasi.

Pada penghujung tahun delapan puluhan, fase globalisasi yang intensif dimulai terutama karena adanya kebutuhan mendesak dari negara-negara maju untuk menyalurkan peningkatan volume surplus modal ke negara-negara kurang berkembang atau terbelakang dalam bidang manufaktur, real estate, ekstraksi bahan mentah, sektor keuangan, dan lain-lain.

Antara tahun 1980 dan 1990, jumlah modal yang ditanamkan secara langsung di luar negeri meningkat hampir tiga kali lipat. Kapitalisme global telah menghasilkan teknologi komunikasi baru yang memungkinkan terjadinya lompatan nyata dalam tingkat komunikasi dan pertukaran data.  

Informasi kini dapat ditransfer lebih cepat dalam jumlah besar dan arus informasi, uang, dan manusia secara global meningkat dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.  

Revolusi ilmu pengetahuan yang terjadi baru-baru ini khususnya di bidang teknologi informasi dan liberalisasi ekonomi telah berkontribusi dalam mempercepat proses globalisasi ke depan.  

Dalam hal ekonomi, pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merupakan pencapaian penting menuju integrasi ekonomi dunia yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan meningkatkan standar hidup di seluruh belahan dunia.  

Selain itu, teknologi informasi elektronik merupakan bagian tak terpisahkan dari instrumen keuangan baru yang banyak di antaranya memiliki kekuatan teknis yang jelas melampaui protokol regulasinya.

Sebagai akibat dari perkembangan teknologi tersebut khususnya di sektor elektronik, transportasi dan komunikasi, telah terjadi proliferasi inovasi ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya yang sangat mempengaruhi semua bidang kehidupan manusia dan khususnya proses pembangunan di negara-negara dunia ketiga.

Di kawasan ini proses globalisasi telah meningkatkan kerentanan negara-negara Dunia Ketiga yang sedang dalam proses integrasi ke dalam perekonomian dunia. 

Seperti yang diilustrasikan oleh krisis keuangan baru-baru ini, liberalisasi keuangan termasuk aliran keuangan yang bersifat spekulatif dan tidak stabil.

Negara-negara berkembang hanya memiliki sedikit kendali dan tidak adanya pengaturan kelembagaan yang memadai untuk mengelola proses tersebut telah menimbulkan ketidakstabilan yang signifikan dalam perekonomian internasional dengan akibat yang sangat buruk bagi negara-negara berkembang.

Hal ini telah menjadi sumber ketidakstabilan baru baik di pasar produk maupun keuangan. Hal ini sudah terlihat jelas pada krisis ekonomi yang terjadi di negara-negara Asia Timur beberapa tahun yang lalu.  

Faktor baru ini telah memperparah masalah dan kini menjadi lebih kompleks karena keterhubungan perekonomian global semakin hari semakin luas.    

Sebanyak 350 korporasi yang penjualan gabungannya mencapai sepertiga dari total Produk Nasional Bruto (GNP) dunia industri merupakan tiang raksasa dalam struktur kapitalisme dunia dan dengan demikian mereka memasuki sumber baru ketidakstabilan perekonomian nasional di masing-masing negara.  

Bahkan saat ini belum ada cara yang efektif untuk melindungi produksi dalam suatu negara jika perusahaan transnasionalnya mulai terguncang.  Akibatnya, 80 negara yang mencakup sepertiga penduduk dunia semakin terpinggirkan dan selama 20 tahun terakhir pangsa perdagangan global negara-negara berkembang turun dari 0,8 menjadi 0,4 persen.  

Akhirnya 3 miliar orang hidup dengan kurang dari $2 per hari dan 1,2 miliar orang hidup dengan kurang dari $1 per hari.  

Tingkat kemiskinan yang mengerikan ini terus berlanjut meskipun terjadi peningkatan kekayaan global yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam satu abad terakhir.

Aliran modal baru yang masuk telah mengubah total karakter kelas masyarakat. Saat ini yang dipasarkan hanyalah barang-barang yang memenuhi kebutuhan mereka yang memiliki daya beli tinggi.

Keuntungan yang diperoleh di bidang-bidang tersebut cenderung lebih tinggi hingga menciptakan kesan pertumbuhan dan kemakmuran sementara kebutuhan sebagian besar penduduk diabaikan atau terabaikan.  

Akibatnya, globalisasi hanya menguntungkan orang-orang yang mampu melakukan hal tersebut namun peluangnya sangat kecil bagi mereka yang tidak memiliki sumber daya, tidak berpendidikan dan mereka yang mencari nafkah melalui kegiatan produksi tradisional.  

Jadi di satu sisi, globalisasi telah membawa inovasi teknologi luar biasa seperti email dan penerbangan yang mengubah bumi dan penduduknya menjadi sebuah 'desa global' namun pada saat yang sama, praktik permodalan dan polarisasi ideologi dunia sebagian besar telah hilang.  

Singkatnya, aspek negatif dari globalisasi mencakup campur tangan yang tidak perlu dari negara-negara maju untuk mengikuti kebijakan dan program tertentu yang tidak sesuai dengan masyarakat dan menyebabkan pembangunan dan pertumbuhan tidak seimbang.

Sebagai akibat dari globalisasi dan segala dampak buruknya yang menyebar luas, telah mengakibatkan meningkatnya ketidakpuasan dan kekecewaan di kalangan masyarakat dan dengan demikian menjadi terisolasi dari pusat-pusat kekuasaan.  

Kelas menengah baru yang muncul di era kebijakan pemerintah neo-liberal mengadopsi pendekatan eksklusif dan parokial yang berdampak negatif terhadap kondisi kehidupan kelas dan kelompok lain.  

Di sisi lain, eksklusifitas tersebut terlihat dengan munculnya politik identitas berdasarkan kasta ekonomi, terutama di kalangan masyarakat lapisan bawah yang menuntut pembagian kekuasaan yang lebih luas dalam sistem politik.

Dalam konteks ini, tata pemerintahan yang baik dipandang perlu sebagai pelaksanaan otoritas ekonomi, politik, dan administratif untuk mengelola urusan suatu negara di semua tingkatan dan sebagai sarana yang digunakan negara untuk meningkatkan kohesi dan integrasi sosial serta menjamin kesejahteraan penduduknya.  

Gejolak baru di kalangan massa dan bentuk-bentuk protes dan perjuangan baru yang dilancarkan oleh sekelompok aktor baru sebagai bagian dari komitmen berkelanjutan terhadap demokrasi menuntut pendalaman dan perluasan komitmen tersebut.  

Hal-hal tersebut perlu ditempatkan dalam konteks dunia transformasi yang lebih luas. Dalam konteks ini, demokrasi menyaksikan dua perubahan:

Pertama, kebangkitan masyarakat itu sendiri, baik secara kesadaran maupun perilaku. Mereka menegaskan hak-hak demokratis mereka dan menentang tatanan yang ada pada awalnya di tingkat lokal namun berdampak pada keseluruhan tatanan sosial dan politik.  Kedua, munculnya kelas sosial baru yang terdiri dari mediator proses politik dan aktivis. 

Mereka berasal dari kelas atas dan menengah namun mengidentifikasi diri mereka dengan tatanan masyarakat yang lebih rendah yaitu masyarakat miskin, tertindas dan tersegregasi, strata sosial mulai dari mereka yang tidak tersentuh dan miskin di kalangan suku dan etnis minoritas, hingga korban diskriminasi seksual, ekologi dan generasi, kekejaman dan kekerasan.  

Globalisasi perlu dilawan tidak hanya dengan desentralisasi dan alternatif regional atau inisiatif baru terkait sumber daya alam dan ekologi, namun juga dengan inisiatif politik dan ideologi di tingkat nasional, regional dan global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun