Washington telah memegang posisi hegemoni dunia selama lebih dari 80 tahun. Mereka juga telah mengeluarkan banyak kebijakan global. Beberapa diantaranya menghasilkan keputusan yang menggembirakan banyak pihak namun ada juga sejarah panjang dalam menggunakan kekuasaannya AS salah dalam mengambil keputusan. Meningkatnya penggunaan sanksi ekonomi adalah salah satu contoh kesalahan itu. Â
Bagi kebanyakan orang Amerika, upaya seperti itu terlihat seperti penggunaan kekuatan yang baik. Daripada harus mengirim militer ke negeri yang jauh, AS memilih untuk menghukum suatu negara (orang-orang tertentu di suatu negara) agar negara tersebut sejalan dengan tujuan Washington. Â
Sayangnya, politisi Amerika tidak mau mengakui bahwa kebijakan sanksi jarang ada yang berhasil. Kebijakan tersebut kadang bahkan tidak pernah merugikan pemimpin negara yang melanggar itu. Namun sebaliknya, malah membuat kehidupan warga negara itu yang sudah sulit menjadi lebih sulit. Â
 Irak  contohnya. AS akhirnya memilih untuk menyatakan perang terhadap negara ini dan hasilnya telah sama-sama kita ketahui. Â
Sepanjang tahun 1990-an, Washington meyakinkan dirinya sendiri bahwa sanksi akan menjamin bahwa Presiden Irak Saddam Hussein akan berhenti menjadi musuh Amerika. Majalah liberal The Nation membahas apa yang sebenarnya terjadi di Irak. Pada tahun 1999 dilaporkan, "Voices in the Wilderness, sebuah kelompok aktivis antisanksi yang berbasis di Chicago mengumumkan angka 1 juta anak yang tewas akibat sanksi. Pemerintah Irak mengklaim 4.000-5.000 kematian anak balita per bulan. Sementara Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright tidak mempersoalkan seberapa besar kerusakan manusia yang telah terjadi..."
 Bukankah pembantaian manusia dalam skala itu tidak akan pernah sejalan dengan gagasan Amerika sebagai negara yang mendukung hak asasi manusia?
 Namun demikian, rentetan sanksi ekonomi terus bergulir dan satu demi satu presiden AS selalu menyatakan bahwa sanksi akan berhasil. Â
Akibatnya, satu demi satu negara seperti Afghanistan, Iran, Rusia, Venezuela dan Tiongkok menjadi korbannya. Terakhir, pada tahun 2018 menteri luar negeri Prancis bertanya mengapa AS pantas untuk tetap menjadi "polisi ekonomi planet ini". Hadeuh...
Istvan Dobozi, mantan ekonom utama di Bank Dunia, baru-baru ini mengirim surat kepada editor Washington Post tentang sanksi ekonomi. Di dalamnya, dia menyatakan, "Kemauan Washington terhadap sanksi tidak ada hubungannya dengan kemanjurannya dan Amerika bukan lagi negara adikuasa yang tidak tertandingi. AS tidak dapat memaksakan diri seperti dulu lagi."
Sejak akhir Perang Dunia II, perang di Asia, Timur Tengah dan Asia Selatan telah menodai mitos Amerika sebagai kekuatan kebaikan. Â
Selain itu, campur tangan CIA dalam pemilu di seluruh dunia (ada 81 contoh yang diketahui terjadi antara tahun 1946 dan 2000 saja) mementahkan argumen Amerika yang mendukung pemilu yang bebas dan adil di mana pun itu terjadi. Â
Terakhir, penggunaan organisasi seperti Bank Dunia untuk kepentingannya sendiri telah mengikis kepercayaan pada AS sebagai perantara yang jujur dalam mendukung pembangunan internasional.
Untuk saat ini, AS tetap yakin bahwa mereka dapat menggunakan sanksi ekonomi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Elit politik dan media mereka tetap mempertahankan bahwa negara mana pun yang berani menentang AS harus menghadapi sanksi. Â Â
Berpegang teguh pada gagasan bahwa Amerika adalah mercusuar kebebasan di dunia ini para elit Amerika percaya bahwa dunia sangat membutuhkan kebajikan mereka (sementara kebebasan itu sendiri malah ditolak oleh para minoritasnya).
Terakhir, Â AS mempertahankan sanksi terhadap Kuba selama lebih dari 60 tahun tujuannya untuk meyakinkan dunia bahwa Kuba pasti bangkit dan bersih dari Komunisme. Padahal anak muda Kuba sendiri malah sama liberalnya dengan anak muda mereka. Â
Menolak untuk mengakhiri kebijakan yang gagal adalah keangkuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H