Meskipun jika pidato narasinya selalu berapi-api, sebenarnya Erdogan ini tidak punya ideologi tunggal. Beliau orangnya "cair". Mengikuti arah politik atau istilahnya Erdoganisme.
Beliau ini orangnya pragmatis meskipun kelihatan lantang terhadap barat. Padahal kalau kita mau flashback tahun 2003 saat beliau pertama sekali menjadi Perdana Menteri, beliaulah yang meloloskan memorandum agar pemerintah mengirim militer untuk menyerang Irak.
Erdogan lah yang mendukung Amerika agar melibatkan Turki dalam Perang Irak. Hanya semua itu tidak terlaksana karena ditolak oleh parlemen.
Beliau ini termasuk tokoh politik yang bisa melakukan apapun asal tujuannya untuk kepentingan Turki.
Tapi pada pemilu kemarin yang meskipun mengantarkan dirinya kembali di pucuk pimpinan tertinggi Turki, ada satu ganjalan yang mau tidak mau harus diperhatikan oleh beliau jika masih ingin terus berkuasa di Turki.
Berikut adalah data suara yang diperoleh Erdogan pada pemilu dari tahun ke tahun:
Tahun 2014 - 5,4 juta
Tahun 2018 - 10,9 juta
Tahun 2023 - 2,3 juta
Jelas ini adalah sebuah peringatan buat beliau.
Kilicdaroglu yang memaksa beliau untuk bertanding di putaran kedua ternyata bukan politikus kaleng-kaleng. Meskipun pada akhirnya Sinan Ogan yang awalnya di putaran pertama kalah kemudian berpihak pada Erdogan. Inilah salah satu langkah yang sebenarnya ikut membuat beliau berkuasa kembali.
Sekarang Erdogan berkuasa kembali. Lima tahun yang akan datang dan dimulai dari saat ini adalah waktu yang sangat menentukan bagi Erdogan. Apalagi beliau telah berjanji akan membentuk tim keuangan yang bertaraf internasional ditengah ekonomi Turki yang sulit saat sekarang ini. Biaya hidup tinggi. Inflasi mencapai 105 persen bahkan saat pertama sekali diumumkan kemenangan Erdogan, Lira jatuh. Pertanda investor belum yakin.
Di pentas internasional pun Erdogan mulai mendekat ke Amerika melalui pernyataannya ingin membeli pesawat tempur F-16 buatan Amerika meski Amerika mengajukan syarat bahwa Turki harus bersedia menerima Swedia menjadi bagian dari NATO.
Mengapa posisi Swedia ini penting?
Meskipun masuknya Swedia kedalam NATO tidak mengubah apapun. NATO tetaplah kuat bahkan tanpa Swedia sekalipun. Namun paling tidak secara politik bisa mengikis pengaruh Rusia terhadap negara tetangganya. Keberhasilan Biden yang berhasil membujuk Finlandia sebagai negara yang paling dekat bertetangga dengan Rusia seakan menyekat pintu masuk Rusia menuju Swedia dan Norwegia. Apalagi dengan masuknya Swedia menjadi anggota NATO tentu akan mengepung posisi Rusia di Eropah sekaligus mengamankan posisi Norwegia.
Nah untuk mewujudkan semua itu Biden butuh dukungan Erdogan. Apalagi Biden tahu bahwa Erdogan orangnya "cair". Ditambah lagi posisi Erdogan di arena politik Turki tidak begitu kuat sebab beliau harus melalui dua putaran untuk dapat memenangkan pertarungan. Jangan sampai 2023 ini menjadi ajang terakhir buat beliau mengarungi arena politik Turki. Tentunya di tahun-tahun berikutnya beliau pasti masih ingin menang juga kan.
Dulu Lira sangat kuat bersaing dengan dolar Amerika. Sekarang Lira sudah menghujam. Krisis Ekonomi pun semakin membara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H