Mohon tunggu...
ANDI FIRMANSYAH
ANDI FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Guru - Guru yang Belum Tentu Digugu dan Ditiru

Hanya Seorang Marhaen yang menyenangi bidang Geopolitik, Sejarah dan Ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sanggupkah Rubel Melawan Dolar Amerika?

5 Agustus 2023   21:42 Diperbarui: 5 Agustus 2023   21:45 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rubel itu sudah ada sejak abad ke-13. Bahkan jauh sebelum Tsar Rusia. Waktu itu Rusia adalah kumpulan etnis yang bersatu dalam Knyazhestvo. Tapi untuk disebut sebagai kerajaan ga bisa juga.

Nah untuk berdagang diantara mereka, ada alat ukur yang namanya Rubel yaitu satuan berat yang sama dengan 204 gram perak. Jadi misalnya mereka ingin membeli sapi seharga 5 Rubel maka bukan berarti pembeli sapi itu mengeluarkan 5 keping Rubel. Bukan. Tetapi si pembeli harus menyediakan 5x204 gram perak atau sama dengan 1.020 gram perak.

Jadi kalau harga perak naik, maka naiklah harga Rubel. Sehingga Rubel tergantung sekali dengan sumber daya alam.

Tahun 1704 Peter The Great ingin mereformasi penggunaan Rubel. Satu Rubel sama dengan 28.1 gram perak.

Seratus tahun kemudian Catherine The Great menyerang kerajaan Usmani karena ingin menguasai Laut Hitam dan Laut Azov. Tahun 1783 mereka berhasil merampas Krimea dari tangan kerajaan Usmani.

Sejak saat itu rentetan peperangan demi peperangan selalu dilakoni Rusia dan setiap kali melakukan peperangan mereka terpaksa melakukan devaluasi mata uangnya. Asumsinya jika mau Rubel kuat maka berhenti berperang. Tapi waktu itu penguasa Rusia pada gila perang semua.

Masalah utama yang dialami oleh Rusia sebenarnya adalah saat Rusia dipimpin oleh para Tsar. Para Tsar ini berpikir bahwa mereka mampu melakukan kontak dagang dengan barat. Dasar pemikiran mereka karena mereka melihat para bangsawan dan hartawan Rusia pada mengilai barang-barang dari barat. Akibatnya impor lebih besar dari ekspor.

Apalagi Rusia pada waktu itu seperti ketergantungan sekali dengan Eropah. Sampai-sampai harus meminjam. Jadi ekonomi Rusia waktu itu seperti gali lubang tutup lubang.

Bahkan sampai sekarang pun Rusia masih tergantung dengan Eropah. Rusia tergantung pada sumber daya alamnya. Pada saat ekspor siapa konsumennya? Tetap aja Eropah.

Sebenarnya Rusia tidak menyangka NATO bakal sehabis-habisan ini dalam mempertahankan Ukraina. Mengapa demikian? Jika melirik pada sejarah tahun 2014 sampai 2021 NATO sebenarnya tidak peduli pada Ukraina. Jadi saat NATO bertempur habis-habisan begitu, sebenarnya Rusia kaget juga. Kok bisa?

Akibatnya mata uang Rubel jatuh. Sangsi pun telah membuat investor pada kabur. Akibatnya Putin harus bergerak cepat. Maka mereka naikkan Interest Rate sampai 20 persen. Setelah itu mereka melakukan capital control agar dana ga bisa keluar.

Kemudian mereka mendesak perusahaan-perusahaan di Uni Eropah bayar minyak mereka dengan Rubel. Maka hasilnya mereka gunakan untuk menanggulangi dampak dari capital control ini. Mereka berhasil. Bahkan pendapatan mereka meningkat tiga kali lipat. Apalagi sejak di embargo praktis Rusia tidak ada impor.  Jadi tidak perlu membayar dengan mata uang asing. Inilah akhirnya yang membuat Rubel perkasa. Hingga dipuji Reuters.

Padahal sebenarnya Rubel kuat itu bukan karena faktor diatas. Rubel kuat karena harga minyak yang dibayar dengan Rubel itu tinggi. Makanya kelihatan kokoh.

Sementara harga Rubel sekarang dibanding harga Rubel pada 1 April 2022 saat Reuters memujinya sangat jauh terperosok.

Jadi embargo itu hanya bisa dihadapi Rusia saat harga minyak tinggi. Jika harga minyak rendah maka mereka akan sangat merasakan akibatnya.

Mau beralih ke industri yang lain pun sulit karena investor pada hengkang semua. Apalagi pada takut dibenci barat karena berteman dengan Putin.

Sekarang Rusia hanya bergantung pada sumber daya alam saja. Uni Eropa tidak bisa diharapkan lagi. Berharap pada BRICS? Hanya Tiongkok yang membeli gas dan minyak dari Rusia. Makanya Tiongkok suka perang Rusia-Ukraina ini berkepanjangan. Supaya bisa tawar-menawar dengan Rusia.

Eh, bukannya Arab Saudi pengen masuk BRICS? Sebenarnya sih Saudi itu hanya ingin minta perhatian Amerika saja. Soalnya dulu kan Amerika pernah janji akan menjaga Jazirah Arab jika negara-negara Arab masih menjunjung tinggi PetroDolar. Jadi jangan sampai perhatian Amerika terpecah gara-gara perang Rusia-Ukraina ini.

Sebenarnya jika Arab Saudi masuk BRICS, Rusia malah jadi tambah repot. Karena Tiongkok jadinya bisa menekan harga minyak Rusia.

Mana inflasi masih 11 persen. GDP stagnan. Angkatan kerja banyak yang meninggal di medan perang. Malah ada yang lari ke luar negeri juga. Ini jelas berdampak pada jumlah populasi. Rusia sekarang jauh berbeda dari Rusia 10 tahun yang lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun