Sejak diberlakukan UU No 6 tahun 2014, desa telah diberikan kewenangan mengelola keuangan secara mandiri. Ini baru terjadi sejak 72 tahun Indonesia merdeka.
Di sisi yang lain, kewenangan ini tentu tidak mudah, apalagi baru tiga tahun desa belajar mengelola keuangan dan pembangunan secara mandiri dan swakelola.
Seiring dengan itu pula, sejak tahun 2015, 2016 dan tahun 2017, berbagai potensi masalah terjadi. Konflik antar kelompok masyarakat terbangun. Di sisi yang lain, hubungan sosial menjadi renggang.
Potensi konflik bukan hanya saja dipicu oleh kurangnya sumber daya aparatur dalam pengelolaan keuangan desa, tapi juga akibat moralitas yang minim serta kecurigaan masyarakat meningkat akibat kurangnya transparansi.
Efek tersebut bukan hanya berefek pada konflik sosial, tetapi juga berimbas pada terbukanya ruang korupsi di desa dengan berbagai bentuk dan pola. Di samping kontrol dan pengawasan masyarakat yang lemah.
Bahkan secara nasional menurut lembaga Indonesian Corruption Watch (ICW), hingga tahun 2018 tercatat sedikitnya sudah ada 181 kasus korupsi dana desa dengan 184 tersangka korupsi dan nilai kerugian sebesar Rp 40,6 miliar,
Selebihnya tercatat 900 kepala desa bermasalah dengan hukum. Angka ini tentu menjadi keprihatinan bersama.
Sebagian lainnya terpaksa masuk dalam jeruji besi akibat terbukti menyalahkan pengelolaan keuangan desa yang tidak sesuai dengan aturan. Kasus ini terjadi di hampir kabupaten/kota yang ada di Indonesia.
Bila dilihat dari banyaknya pola korupsi dana desa, memang sulit dihindari dengan berbagai faktor. Terutama minimnya pengawasan dan kemampuan mengawasi dengan 74 ribu lebih desa di Indonesia.Â
Selain pengawasan, minimnya pengetahuan dan kapasitas aparatur dalam melakukan pelaporan keuangan desa sesuai dengan aturan yang berlaku menjadi penyebab, termasuk lemahnya penggunaan aplikasi Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) yang sudah diluncurkan oleh Kementerian Desa.