Mohon tunggu...
Andi Fathir Muzakki Diningrat
Andi Fathir Muzakki Diningrat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

NIM: 202210370311278 Asal: Kalimantar Timur Informatika Semester 5 Kelas Etika Profesi D

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Generasi Cerdas atau Generatif? Tantangan Etika dan Profesionalisme di Industri TIK

10 November 2024   20:28 Diperbarui: 10 November 2024   20:42 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini udah berkembang jauh banget. Sekarang kita nggak cuma ngomongin soal internet atau media sosial aja, tapi kita udah sampai di era kecerdasan buatan (AI) yang terus berevolusi, termasuk Generative AI yang bisa bikin konten seperti gambar dan teks layaknya karya manusia. Kemajuan kayak gini tentu bikin hidup kita lebih gampang tapi juga menimbulkan beberapa pertanyaan penting kayak gimana kita bisa tetap profesional dan menjaga etika di tengah teknologi yang makin maju ini?

Disini penting banget buat kita sebagai orang yang berperan di industri TIK untuk punya standar profesionalisme dan kode etik yang kuat. Kenapa? Karena teknologi kayak Generative AI ini gak cuma canggih, tapi juga bisa berdampak besar baik positif maupun negatif. Misalnya, dengan AI yang bisa bikin tulisan atau gambar yang kadang bikin bingung karyanya dibuat oleh AI atau manusia, kita jadi perlu mikir, gimana cara kita ngehargai karya asli orang lain? Terus, gimana cara kita menghindari penggunaan AI untuk hal-hal yang bisa merugikan orang lain atau menyesatkan informasi? tantangan inilah yang bikin profesionalisme dan kode etik semakin penting.

Etika di sini nggak cuma aturan tertulis, tapi juga kesadaran dalam memanfaatkan teknologi. Misalnya, tau kapan AI bisa digunakan untuk hal yang baik atau positif dan kapan sebaiknya kita mundur. Jangan sampai hanya karena AI bisa bikin sesuatu yang langsung jadi, kita malah mengabaikan aspek-aspek penting seperti privasi, hak cipta, dan kebenaran informasi.

Dalam dunia TIK, profesionalisme adalah kunci. Tapi, apa sih sebenarnya profesionalisme itu di TIK? Profesionalisme di sini gak cuma tentang skill atau teknis aja, tapi juga sikap kita dalam bekerja. Seorang profesional TIK yang baik bukan cuma jago ngoding atau paham teknologi yang terbaru, tapi juga punya tanggung jawab moral dan etika dalam setiap hal yang dikerjakannya. Jadi, profesionalisme itu adalah bagaimana kita bertanggung jawab atas dampak dari pekerjaan kita, nggak sekedar nyelesain tugas, tapi benar-benar peduli sama orang yang bakal ngelihat atau pakai hasil kerja kita.

Nah, bicara soal etika, di industri TIK ada yang namanya kode etik yang bisa kita jadikan pegangan. Salah satu yang paling terkenal adalah kode etik dari Association for Computing Machinery (ACM. Prinsip dasar di dalamnya mencakup penghormatan privasi, integritas informasi, dan pencegahan risiko teknologi. Kalau kita ikut kode etik ini, kita jadi punya panduan yang jelas soal hal-hal yang boleh dan nggak boleh dilakukan, terutama dalam menghadapi situasi yang penuh dilema, kayak data privasi atau keamanan informasi.

Lalu, buat mahasiswa informatika atau siapa aja yang ingin terjun ke dunia profesional TIK, ada beberapa hal yang perlu disiapkan dari sekarang. Pertama, jelas, Punya skill teknis yang solid, ini adalah modal awal yang penting banget. Selain itu, pahami dasar-dasar etika profesional dan tanggung jawab sosial. Belajar cara menjaga keamanan data, memahami privasi, dan tahu batas penggunaan teknologi adalah hal penting.

Selain itu, mahasiswa juga perlu mempersiapkan sikap yang terbuka untuk belajar dan adaptif, karena dunia TIK selalu berubah. Jangan cuma fokus di satu teknologi atau bahasa pemrograman, tapi juga belajar untuk selalu update dengan perkembangan terbaru.

Dengan keterampilan teknis, pemahaman etika, dan sikap mau terus belajar, mahasiswa informatika bisa jadi profesional TIK yang nggak cuma jago secara teknis, tapi juga bertanggung jawab.

Kalau kita lihat industri TIK sekarang, profesionalisme punya dampak yang sangat besar. Di satu sisi, profesionalisme ini bisa jadi pondasi buat menjaga kualitas dan integritas industri, tapi di sisi lain, kurangnya profesionalisme malah bisa bikin citra industri TIK jadi buruk. Contoh yang sering kita lihat adalah kasus kebocoran data pribadi, penyebaran informasi palsu lewat algoritma, atau penggunaan AI yang malah menimbulkan masalah sosial. Fenomena kayak gini menunjukkan bahwa profesionalisme bukan cuma soal "gaya" atau formalitas belaka, tapi hal penting yang bisa menjaga kepercayaan publik terhadap industri TIK.

Pendapat ini didukung oleh Sollie (2007) dalam artikelnya “The Separation of Technology and Ethics in Business Ethics” yang menyatakan bahwa perkembangan teknologi itu penuh ketidakpastian dan sulit diprediksi dampaknya. Artinya, pendekatan etika yang cuma formal atau hanya jadi dokumen tertulis aja nggak cukup buat menjaga kepercayaan. Sollie menekankan perlunya pendekatan etika yang proaktif dan siap menghadapi hal-hal tak terduga. Dalam industri teknologi yang terus berkembang, pendekatan ini penting banget untuk menjaga integritas dan profesionalisme, terutama biar teknologi yang kita kembangkan benar-benar aman dan bisa dipertanggungjawabkan.

Selain itu, Johnson (2007) dalam artikelnya “Ethics and Technology ‘in the Making’: An Essay on the Challenge of Nanoethics” juga menekankan pentingnya nilai sosial dalam teknologi, seperti privasi dan keadilan, yang harus tertanam sejak awal pengembangan. Teknologi bukan cuma alat teknis, tapi juga refleksi nilai sosial, jadi pengembangannya harus berlandaskan etika.

Jadi, menurut saya, untuk bisa membangun profesionalisme di industri TIK ke depannya, kita butuh kebijakan yang lebih kuat dan jelas dari para stakeholder. Pemerintah, perusahaan, akademisi, sampai profesional di bidang TIK perlu saling mendukung untuk menetapkan standar etika yang lebih jelas dan mendorong penerapan kode etik di lapangan. Misalnya, pemerintah bisa menetapkan regulasi yang lebih ketat soal keamanan data dan privasi, yang nggak cuma jadi tanggung jawab perusahaan besar, tapi juga semua pelaku di bidang TIK, termasuk startup atau pengembang individu. Ini sejalan dengan saran Johnson, agar ada kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat supaya nilai-nilai sosial dan moral ini benar-benar jadi landasan dalam setiap tahap pengembangan teknologi.

Selain itu, saya juga menyarankan agar perusahaan TIK lebih aktif dalam memberikan pelatihan etika dan profesionalisme untuk karyawannya. Jadi, bukan cuma hard skill yang diasah, tapi juga soft skill dan pemahaman soal etika profesi. Buat mahasiswa atau calon profesional, penting juga ada kurikulum yang lebih fokus pada pemahaman etika digital dan tanggung jawab sosial, supaya sejak awal mereka udah terbiasa untuk bekerja secara profesional dan bertanggung jawab.

Intinya, kalau kita mau industri TIK berkembang dengan baik dan bisa terus dipercaya masyarakat, maka profesionalisme dan kode etik harus jadi prioritas. Kita butuh kebijakan yang jelas, pelatihan yang memadai, dan komitmen dari semua pihak untuk menjaga standar tinggi di bidang ini. Dengan begini, kita nggak cuma menghasilkan teknologi yang canggih, tapi juga teknologi yang bermanfaat dan bisa dipercaya, seperti yang disarankan oleh Sollie dan Johnson dalam kajian mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun