Mohon tunggu...
Andien Gusnianti Putri
Andien Gusnianti Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Sriwijaya

Language Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

25 Tahun setelah Kerusuhan Mei 1998: Kemeriahan Cap Go Meh 2023 di Indonesia

2 Maret 2023   23:17 Diperbarui: 2 Maret 2023   23:52 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kilas Balik Kerusuhan Mei 1998

Sudah lebih dari dua dekade, peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang merupakan peristiwa kekerasan rasial terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia itu berlalu. Telah lama berlalu pun tidak membuat peristiwa tersebut luput dari ingatan orang-orang, terlebih lagi orang-orang etnis Tionghoa yang menetap di Indonesia. Besarnya kehancuran dan banyaknya korban yang berjatuhan akibat Kerusuhan Mei 1998, membuat peristiwa tersebut ditempatkan pada titik sejarah hitam bagi perjalanan bangsa Indonesia. Kerugian berupa materi, fisik, dan psikis tidak dapat terhindarkan dalam peristiwa kelam tersebut.

Penyebab pertama yang memicu terjadinya Kerusuhan Mei 1998 adalah krisis finansial Asia yang terjadi sejak tahun 1997.  Saat itu, banyak perusahaan yang bangkrut, jutaan orang dipecat, 16 bank dilikuidasi, dan berbagai proyek besar juga dihentikan.  Krisis ekonomi yang tengah terjadi kemudian memicu rangkaian aksi unjuk rasa di sejumlah wilayah di Indonesia.  Dalam unjuk rasa tersebut, ada empat korban jiwa yang tewas tertembak. Mereka adalah mahasiswa Universitas Trisakti.  Tewasnya keempat mahasiswa tersebut pun menambah kemarahan masyarakat yang saat itu sudah terbebani dengan krisis ekonomi. (Verelladevanka Adryamarthanino, 2021)

Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 dianggap membawa bangsa Indonesia jatuh ke dalam keterpurukan. Menurut pemerhati masalah sosial dan politik Alumnus Queensland University, Brisbane Australia, dampak dari peristiwa ini bukan hanya mengalami  berbagai krisis di segala bidang ideologi, politik, ekonomi , sosial, budaya dan militer (ipoleksosbudmil),  akan tetapi juga telah menghancurkan tatanan kehidupan bangsa dan negara yang sudah mapan. Hancurnya kemapanan itu ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998. 

Dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru, akhirnya bangsa ini harus menerima kenyataan, kondisi yang tadinya telah mapan kini berubah menjadi semrawut dan serba ketidak pastian yang tekesan tanpa aturan dan arah yang jelas kemana bangsa ini akan dibawa. 

Lalu, bagaimana kehidupan masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia sekarang? 

 Pada era Reformasi atau Pasca Orde Baru, beberapa kebijakan terkait asimilasi Tionghoa-Indonesia telah diterbitkan 

yaitu:

 a. Presiden Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden RI No. 26 tahun 1998 untuk membatalkan peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif; 

b. Presiden Abdurachman Wahid menerbitkan Keppres No. 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa. Dengan terbitnya Keppres ini, maka perayaan Konghuchu ataupun aktivitas kebudayaan warga Tionghoa lainnya tidak perlu lagi ijin khusus;

 c. Selanjutnya pemerintah RI mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 13 tahun 2001 yang menetapkan Hari Raya Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Fakultatif, mengijinkan libur bagi pelajar dan pegawai etnis Tionghoa yang sedang merayakan Imlek; 

d. Presiden Megawati melalui Keppres RI No. 19 tahun 2002 menetapkan Tahun Baru Imlek menjadi Hari Libur Nasional. 


Berdasarkan beberapa kebijakan tersebut, dapat disimpulkan bahwasannya perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia telah dihapuskan. Tentu, kebijakan-kebijakan tersebut membawa banyak sekali dampak positif, baik bagi masyarakat etnis Tionghoa maupun non-Tionghoa di Indonesia. Kebijakan tersebut mendorong terjadinya implementasi dari Bhineka Tunggal Ika dan juga nilai-nilai Pancasila, terutama sila ke 3; Persatuan Indonesia. 

Di masa sekarang, etnis Tionghoa dan etnis-etnis lainnya di Indonesia seperti menyatu menjadi satu kesatuan, tanpa ada hal yang membedakan, saling menghormati, bahkan turut serta memeriahkan budaya satu sama lain. 

Cap Go Meh, atau perayaan pada malam hari ke 15 dalam penanggalan Cina, adalah salah satu perayaan Tionghoa yang dirayakan dengan meriah setiap tahunnya di Indonesia. Masyarakat Tionghoa biasanya akan berdoa dan menjalankan  tradisi yang telah ada secara turun temurun, yang diyakini akan membawa berkah sepanjang tahun. Setelah padam lantaran Covid 19, perayaan Cap Go Meh tahun 2023 kembali diadakan di banyak kota di Indonesia. 

Salah satu kota yang turut serta merayakan perayaan Cap Go Meh adalah kota Palembang, Sumatera Selatan. Semua kalangan masyarakat, baik yang ber-etnis Tionghoa maupun bukan, beramai-ramai datang mengunjungi Pulau Kemaro untuk berdoa, menjalankan ritual, berqurban, maupun berwisata. Panitia bahkan menyiapkan sebanyak 7 tongkang yang dipakai untuk menyebrangkan masyarakat yang ingin merayakan Cap Go Meh di Pulau Kemaro. 

Kapolrestabes Palembang Kombes Pol Mokhamad Ngajib menyatakan, untuk melihat sejauh mana persiapan di Pulau Kemaro, dia langsung turun memantau seperti apa situasi kondisi di lapangan.

"Mulai dari akses masuk dari dermaga, ada beberapa kekurangan yang perlu ditambahkan seperti petunjuk arah," ujar dia, kepada wartawan disela sela meninjau Pulau Kemaro Rabu (1/2/2023).

Ngajib mengungkapkan, kekurangan lainnya yakni pembatas atau pagar tongkang yang akses masuk menuju ke Pulau Kemaro. Karena, masih ada celah yang dikhawatirkan ada pengunjung yang terjatuh atau yang melompat ke sungai.

"Untuk draf pengamanan, kami menerjunkan 775 personel gabungan TNI, Polri, Satpol PP, Dishub yang dilibatkan dalam pengamanan sampai puncak perayaan Cap Go Meh 2023," ungkap dia.

Kemudian, jelas Ngajib, pada pengamanan akses dari jalur Sungai Musi menuju ke Pulau Kemaro, pihaknya juga menerjunkan personel Satpolairud bersama TNI AL Lanal Palembang turut mengerahkan kapal kapal patroli. (Sidratul Muntaha, 2023)

Ketegangan antara etnis Tionghoa dan masyarakat lokal di Indonesia telah mencapai perdamaian.

Meskipun peristiwa Kerusuhan Mei 1998 membawa trauma dan luka yang mendalam bagi banyak masyarakat Indonesia, terutama masyarakat etnis Tionghoa, bukan berarti luka tersebut tidak bisa pudar. Melihat kedekatan dan keakraban antara masyarakat etnis Tionghoa dan masyarakat lokal Indonesia di masa sekarang, perdamaian dianggap telah dicapai. Tentunya, kita semua berharap perdamaian tersebut akan terus berlangsung dan membawa hal-hal baik serta pengaruh positif bagi persatuan dan kesatuan negara Indonesia.

Daftar Pustaka

Perpustakaan Komnas Perempuan (2007), Kerusuhan Mei 1998 Fakta, Data & Analisa : Mengungkap Kerusuhan Mei 1998 Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.
Verelladevanka Adryamarthanino (2021), Penyebab Kerusuhan Mei 1998.

Puspen (2006), DAMPAK LANJUTAN TRAGEDI MEI 1998 TERHADAP TATANAN KEHIDUPAN NEGARA DAN BANGSA.

Thaus Sugihilmi Arya Putra (2022), Hilangkan Rasisme dan Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa dengan Asimilasi Integrasi Tionghoa-Indonesia Tanpa Paksaan.

Sidra (2023), https://palembang.inews.id/read/249239/ini-jumlah-personel-untuk-pengamanan-cap-go-meh-2023-di-pulau-kemaro-palembang

Nama : Andien Gusnianti Putri 

NIM : 07041382227239

Dosen Pengampuh : Nur Aslamiah Supli, BIAM., M.Sc

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun