Mohon tunggu...
Andie Hazairin S
Andie Hazairin S Mohon Tunggu... -

Seorang yang ingin menambah kawan dan saling bertukar cerita.

Selanjutnya

Tutup

Money

Strategi Membentuk Perusahaan Joint Venture yang Menguntungkan (2)

27 Oktober 2015   07:50 Diperbarui: 28 Oktober 2015   18:14 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang teman mengajak saya buat minum teh di Tea Addict di bilangan Senopati Jakarta Selatan. Sambil ngobrol santai dia bercerita bahwa saat ini dia diminta oleh ayahnya untuk membuat perusahaan joint venture dengan perusahaan Jepang. Calon partner joint venture-nya ini adalah satu perusahaan besar di Jepang, bahkan masuk sepuluh besar dunia di industrinya. Terbayang betapa raksasanya perusahaan Jepang itu dibandingkan dengan perusahaannya.

Teman saya bilang, bahwa dia harus berhasil dalam joint venture ini. Sebab proyek ini dijadikan ujian tongkat suksesi kepemimpinan dari ayahnya ke dia. Tanpa itu, dia masih akan tetap dianggap sebagai anak bawang. Sebut saja namanya Doni.

“Masalahnya gini, Andie,” Doni mulai membuka diskusi sambil mengaduk gula di cangkir tehnya.”Buat perusahaan gue, joint venture ini adalah yang pertama dengan asing. Sementara sebelumnya, JV perusahaan gue dengan dua perusahaan lokal kandas dan pecah kongsi. Sekarang keluarga gue masih trauma, tapi Babe push gue buat bikin jadi ini JV dengan Jepang. Lu bisa bantu gue enggak?”

“Kenapa gue? Gue bukan konsultan lho,” jawab saya jujur.

“Iya gue tahu lu bukan konsultan, tapi lu kan praktisi,” balas Doni.”Sebagai praktisi kan lu terlibat dari awal banget sebuah JV dibentuk, ikut mikirin mau seperti apa perusahaan JV-nya, bagaimana pendanaannya, memulai operasi, sampai problematikanya setelah implementasi. Itu yang gue pengin dengar dari lu.”

“OK deh. Yuk kita coba bahas bareng aja. Sekarang sudah sampai mana?” tanya saya.

Doni mengeluarkan sebendel kertas yang isinya draft joint venture agreement dan memberikannya pada saya. Dia menjelaskan bahwa draft itu berasal dari calon partner Jepangnya, cukup tebal sekitar 50-an halaman.

“Ini tujuan lu bikin perusahaan JV untuk apa ya? Terus investasinya berapa? Business model-nya seperti apa? Ada feasibility study-nya, Don?” tanya saya sambil membuka-buka bendelan draft yang Doni berikan.

“Tujuannya sih gue mau tangkap peluang buat bikin bisnis di bidang itu sama Jepang. Mumpung pemerintahan Jokowi-JK lagi fokus ke arah industri itu. Potensinya gede banget dan prospektif,”kata Doni bersemangat.

“Skala investasinya sekitar US$ 200 juta. Itu hitungan kasar saja sementara ini versi Jepang. Business model dan FS belum ada. Iya nih, gue juga belum tahu gimana ngitung untung atau ruginya,”kata Doni terus terang.”Si Jepang banyak maunya lagi.”

 “Lu mau bikin perusahaan penangkapan ikan, sekaligus pengolahan, dan penjualan domestik dan ekspor ya?  Beda banget sama core business perusahaan lu sekarang. Omong-omong lu mau pegang berapa persen sahamnya?” tanya saya.

“Babe gue maunya kita pegang mayoritas,”kata Doni.”Kan kita yang jadi tuan rumah di Indonesia.”

“Kalau jual ikannya gue sepakat sama Babe lu buat jadi mayoritas,”komentar saya.”Core business lu saat ini kan perusahaan dagang. Kalau buat menangkap dan mengolahnya, baiknya kita lihat bareng-bareng dulu. Kan lu belum punya pengalaman menangkap dan mengolah ikan.”

“Emang bisa dipilah-pilah gitu?”Doni balik bertanya.

“Bisa banget, Don,”kata saya.”Kita bisa pegang kendali di bisnis yang kita punya core competence di situ, dan kita bisa berbagi di core competence orang lain.”

Core Competence

Gary Hamel dan C.K Prahalad dalam bukunya Competing for the Future, 1994, mendefinisikan core competence sebagai kumpulan dari keahlian dan teknologi yang terintegrasi. Kompetensi ini terbentuk setelah melalui sejumlah pembelajaran di antara para individu di dalam perusahaan, sehingga mereka menjadi ahli di bidangnya tersebut.

Contoh sederhananya PT. Indofood Sukses Makmur yang tidak akan dengan mudahnya berjualan mobil Honda, pun dengan PT. Honda Prospect Motor yang tidak mungkin berbisnis mi instan dalam sekejap. Secara teori, mereka memiliki basic core competence yang berbeda. Bukan tidak mungkin mereka membentuk perusahaan JV. Namun sangat tipis kemungkinan bagi mereka mendirikan PT. Indofood Honda yang memproduksi dan menjual audio mobil.

Core competence ini menjadi salah satu kunci sukses utama bagi sebuah perusahaan untuk terus tumbuh berkembang maupun melakukan ekspansi, termasuk dalam melakukan parenting terhadap anak perusahaan maupun strategic business unit.

Menetapkan Strategic Objective

The East India Company (EIC) adalah salah satu cikal bakal perusahaan joint venture yang didirikan pada tahun 1599. The Economics Book terbitan Dorling Kindersley Limited (2012) menceritakan bahwa EIC didirikan untuk mengembangkan perdagangan antara Inggris dengan India Timur, yang didirikan oleh Josiah Child, seorang pedagang dari London, bersama para koleganya. Pada saat Josiah Child meninggal, EIC dimiliki oleh sekitar 3.000 pemegang saham dengan total saham disetor sebanyak  3 juta Pound Sterling.

Pada saat itu orang beramai-ramai menginvestasikan uangnya untuk membiayai pembuatan dan ekspedisi pelayaran kapal dagang, yang kemudian mengangkut sejumlah komoditas dari India Timur ke Inggris, dan sebaliknya. Motif ekonominya adalah mendapatkan keuntungan dari perdagangan yang dilakukan. Sebaliknya mereka mau berbagi karena besarnya modal yang dibutuhkan dan tingginya risiko yang harus ditanggung bila mereka melakukannya sendiri.

Vaughan Evans dalam bukunya 25 Need to Know Strategy Tools menerjemahkan motif ekonomi sebagai strategic objective. Ketika seseorang atau suatu perusahaan memutuskan untuk membentuk joint venture dengan pihak lain, maka berikut ini biasanya menjadi motifnya :

  1. Mendapatkan akses atas pasar baru / produk baru.
  2. Transfer keahlian / teknologi.
  3. Skala ekonomi.
  4. Berbagi risiko.
  5. Mengurangi tingkat kompetisi.

Produsen ban Pirelli asal Italia menggandeng PT Astra Otoparts, Tbk untuk membentuk perusahaan JV PT Evoluzione Tyre yang memproduksi ban sepeda motor. Bagi Pirelli, PT Astra Otoparts, Tbk yang mempunyai jaringan distribusi komponen kendaraan bermotor di Indonesia sangat prospektif untuk menjual ban produksi mereka di pasar domestik. Kedekatan PT Astra Otoparts, Tbk dengan Original Equipment Manufactrurers (OEM) di Indonesia juga menjadi nilai tambah untuk mengurangi tingkat kompetisi. Sebaliknya bagi PT Astra Otoparts, Tbk, Pirelli menghadirkan produk baru dan teknologi ban sepeda motor yang bisa diandalkan. Selain itu, dengan skala ekonomi efisien, mereka berpeluang merebut pangsa pasar internasional karena reputasi merek Pirelli di dunia. Di sinilah mereka berbagi risiko sehingga strategic objective keduanya terakomodasi dengan baik.

Memahami Business Model

Samuel Henry dalam artikelnya yang berjudul Business Model for Startup – bagian 2 mendefinisikan bahwa business model adalah merupakan alat bantu yang menjelaskan bagaimana suatu organisasi menciptakan, memberikan, dan menangkap suatu nilai tambah. Lebih detail lagi Alexander Osterwalder memperkenalkan konsep Business Model Canvas dalam bukunya yang berjudul Business Model Generation, yang merepresentasikan sembilan elemen kunci dalam sebuah business model sebagai berikut:

 

Secara pribadi, saya menambahkan satu kunci lagi, yaitu financial flexibility. Bila kita memiliki financial flexibility yang kuat, maka posisi kita akan berada di atas angin, seperti istilah Cash is the King. Adakah kita memiliki kelonggaran keuangan yang cukup untuk membuat perusahaan joint venture? Bila ya, itu akan membuat nilai lebih dan bargaining position yang bagus.

Pengalaman Starbucks menembus pasar China sangatlah fenomenal. Selama ribuan tahun masyarakat China secara tradisi memiliki budaya minum teh. Hal ini menjadi tantangan bagi Starbucks ketika pertama kali mereka menawarkan kopi dengan harga premium di tahun 1999. Sepertinya mustahil mengubah budaya minum teh itu menjadi pangsa pasar peminum kopi yang sangat menjanjikan.

Helen H. Wang menuliskan untuk Forbes, 2012, bahwa apa yang dilakukan oleh Starbucks adalah dengan menggandeng partner lokal untuk membuka gerai kopi di tempat-tempat yang strategis dan ramai dilalui oleh orang. Mereka mendapati bahwa pasar China tidak homogen. China di daerah Utara tidak sama dengan China daerah Timur. China daratan tidak sama dengan China yang tinggal di tepi-tepi pantai. Oleh karenanya, untuk melakukan ekspansi di China, Starbuks membagi China menjadi 3 daerah dan berpartner dengan pemain lokal. Di China sebelah Utara, mereka berpartner dengan Beijing Mei Da, perusahaan kopi setempat. Di China sebelah Timur mereka berpartner dengan perusahaan yang berbasis di Taiwan, Uni President. Sedangkan di China sebelah Selatan, mereka berpartner dengan Maxim’s Caterers yang berbasis di Hongkong. Starbucks membawa brand global mereka ke China, dan partner-partner mereka di China membantu mereka dengan masing-masing kekuatannya untuk melakukan penetrasi pasar dan memahami selera lokal. Hasilnya, Starbucks berhasil membawa penduduk lokal menggilai kopi, yang dibuktikan dengan 1500 gerai Starbucks di seluruh penjuru China.

Kesiapan Menjadi Parent Company

Seorang India dari Jaipur yang bekerja sebagai seorang direktur pada sebuah perusahaan di Indonesia pernah berkata kurang lebih begini,”Tanah yang luas tidak akan menghasilkan apa-apa sebelum kita cangkul, kita kasih pupuk, kita tanami, dan kita rawat dengan baik. Kalau itu sudah kita lakukan, baru kita berharap akan memanen buahnya. Itu pun tergantung tanaman apa yang kita tanam. Kalau mangga ya panen mangga, kopi ya panen kopi. Kalau kita tanam rumput, ya jadi makanan sapi.”

Membentuk JV berarti mempersiapkan diri menjadi parent company. Tidak ada seorang pun bayi di dunia yang tiba-tiba bisa berbicara ketika dilahirkan kecuali Nabi Isa as. Demikian juga dengan perusahaan JV, yang memerlukan pendampingan sejak pembentukannya. Pola pendampingan inilah yang kelak menjadi role model bagi perusahaan JV tersebut, dan bahkan akan menjadi corporate culture di dalamnya.

Michael Goold, Andrew Campbell, dan Marcus Alexander dalam bukunya Corporate Level-Strategy: Creating Value in the Multi Business Company merumuskan kesiapan perusahaan kita untuk melakukan parenting dalam the Parenting Fit – Matrix sebagai berikut:

 

The Parenting Fit-Matrix menggolongkan hubungan bisnis antara parent dan anak perusahaannya dalam lima kategori, yaitu:
  1. Heartland business – di mana parent company sangat memahami Key Success Factors (KSF) dari anak perusahaannya sehingga sangat memungkinkan di antara keduanya untuk saling mendukung. Corporate actions dalam bentuk apa pun sangat memungkinkan untuk dilakukan oleh kategori ini. Contoh hubungan parenting dalam kategori ini adalah PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) dan PT Telkomsel, Tbk. Sebagai hasilnya, keduanya saling mendukung dan memimpin pasar bisnis telekomunikasi di Indonesia. Telkom hingga saat ini fokus pada fixed line telepon, dan Telkomsel fokus pada telepon cellular.
  2. Edge of Heartland business – pada posisi ini, hanya sebagian dari karakter bisnis parent yang sesuai dengan karakter bisnis anak perusahaannya. Sehingga proses parenting tidak bisa optimal. Namun demikian hal itu tidak sampai mengganggu pada Key Success Factors (KSF) di antara keduanya. Contoh hubungan parenting dalam kategori ini adalah PT Bank Central Asia, TBK dan PT BCA Finance. Induknya bergerak di bidang banking yang luas, sementara anak perusahaannya berfokus di bidang pembiayaan mobil.
  3. Ballast business – karakter bisnis anak perusahaan dalam kategori ini sesuai dengan karakter bisnis parent. Namun tipis kemungkinan bagi parent-nya untuk bisa mengembangkan anak perusahaan itu untuk menjadi optimal. Akan lebih baik bila anak perusahaan ini ditangani oleh parent yang mempunyai core business dan core competency yang lebih pas dengannya. Contoh hubungan parenting dalam kategori ini adalah Triputra Group dan PT Adira Finance. Triputra Group bergerak di bidang investasi, sedang PT Adira Finance bergerak di bidang pembiayaan mobil. Untuk lebih mengoptimalkan kinerja PT Adira Finance, maka Triputra Group menjual sahamnya ke PT Bank Danamon Indonesia, Tbk. Kini PT Adira Finance menjelma menjadi salah satu perusahaan pembiayaan terkemuka di Indonesia.
  4. Alien Territory business – pada situasi ini, karakter bisnis dari parent dan anak perusahaan sama sekali tidak match dan tidak bisa saling membantu. Value creation yang dihasilkannya kecil sekali atau bahkan tidak ada. Mungkin pada saat didirikan, pemilik hanya melihat peluang sesaat tanpa berpikir dalam jangka panjang. Bila ada tipikal perusahaan seperti ini, maka sebaiknya perusahaan tersebut segera dilikuidasi atau sebisa mungkin dijual agar parent bisa lebih fokus ke core competency-nya. Banyak contoh di sekitar kita tentang perusahaan ini, misalnya perusahaan kontraktor yang mempunyai anak usaha pabrik kopi, perusahaan distributor alat berat yang mempunyai anak usaha restoran ayam goreng misalnya.
  5. Value trap business – di sini parent company tidak memahami bisnis anak perusahaannya, namun peluang yang ada sangat menjanjikan dan kinerja dari anak perusahaannya ini bagus. Sebagai konsekuensinya, dalam proses pengembangan anak perusahaan ini parent mempunyai risiko tinggi. Diperlukan waktu belajar yang cukup untuk membuat parent memahami anak perusahaannya ini dan menjadikannya ke posisi sebagai the edge of heartland business. Di sinilah value trap business terjadi. Contoh tentang hal ini adalah salon kecantikan yang memiliki anak usaha toko roti dan gerai donat. Namun berkat ketekunan dari pemiliknya, maka ketiganya bisa berjalan beriringan dengan baik. Memulai diversifikasi dengan membeli hak waralaba roti, mempelajari key success factor di food and beverages, lalu dengan kegigihannya membuka sendiri gerai donat, setelah sebelumnya sempat benchmark ke Amerika Serikat tentang cara pembuatan donat.

Menyiapkan Grand Strategy Scenario

Setelah mengetahui dengan baik core competence kita, tahu apa maunya kita (strategic objective), tahu bagaimana business modelnya, dan tahu kesiapan kita dalam melakuan parenting, maka langkah selanjutnya adalah mempersiapkan grand strategy scenario agar apa yang kita jadikan target dalam pembentukan JV terealisasi.

Syarat utama dari pembentukan perusahaan JV adalah memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak, baik secara sendiri-sendiri atau secara group. Secara sendiri-sendiri misalnya adalah dengan mendapatkan dividen pada saat perusahaan JV telah membukukan keuntungan, atau mendapatkan gain ketika saham salah satu pihak dijual kepada pihak satunya atau pihak lain. Menguntungkan secara group misalnya adalah suatu kondisi di mana perusahaan JV hanya diperkenankan untuk menjual produk-produknya kepada pihak-pihak yang ditunjuk oleh para pihak pemegang saham yang juga merupakan anggota group dari para pihak dengan metode harga cost plus. Cukup sulit untuk mendeskripsikan bagian ini, sebab hal ini banyak terjadi dalam praktek nyata, dan merupakan rahasia perusahaan yang tidak mungkin diceritakan ke publik.

Grand strategy scenario ini sekaligus menjadi feasibility study bagi para pihak, apakah prospek perusahaan JV yang akan dibentuk layak atau tidak? Minimal akan selalu ada tiga skenario, yaitu skenario optimis, moderat, dan pesimis. Bila feasibility study menunjukkan hasil optimis atau moderat, maka project sangat disarankan untuk diteruskan. Namun bila hasil perhitungan menunjukkan kecenderungan pesimis, maka sangat diperlukan kehati-hatian apakah akan dilanjutkan atau tidak.

PT Astra International, Tbk (Astra) masih merupakan benchmark perusahaan nasional terbaik yang mempunyai strategi korporasi berkesinambungan. Sebagai bukti, sebanyak 32,5% laba bersih Astra di tahun 2013 dan 2014 adalah kontribusi dari investasi Astra melalui perusahaan-perusahaan joint venture-nya. Mereka merupakan satu kesatuan bisnis yang terintegrasi dan mampu mengoptimalkan sinergi melalui value chain di antara mereka, mempunyai budaya perusahaan yang mengakar, mempunyai struktur keuangan yang solid, dan mendiversifikasikan risiko dengan baik melalui enam bidang usahanya yang menggurita melalui lebih dari 170 anak usahanya. Hebatnya lagi, walaupun saat ini badai bisnis menghadang, kinerja mereka secara group masih terjaga.

Apa yang telah dicapai oleh Astra melalui sebuah proses grand strategy scenario yang matang. Ketika akan melakukan joint venture, mereka melakukan studi dengan seksama, sehingga semaksimal mungkin kegagalan bisa diantisipasi. Sebagai group perusahaan besar, mereka cukup lincah untuk bermanuver. Hal itu tak lepas dari visi dan misi perusahaan yang jelas, disertai dengan sejumlah guidelines dan kebijakan yang mendukungnya.

Doni mendengarkan penjelasan saya dengan seksama. Tak terasa sudah bercangkir-cangkir teh habis diteguk dan berpiring-piring-piring cemilan tandas tak berbekas. Seorang waiter mendekat sambil permisi mengangkat cangkir-cangkir dan piring-piring kosong di meja. Kami tahu, itu tandanya kami disuruh pulang. Hehehe ...

“Ternyata udah malam ya? Kapan lu bisa main ke rumah?” tanya Doni kemudian.”Kita lanjutkan ngobrol di taman belakang rumah. Lu boleh sambil berenang kalau mau, atau sambil main ping pong sama gue.”

(Andie Hazairin Soekamto, Chief – Group Treasury & Investor Relations pada PT Haka Sarana Investama (Holding of Kalla Group), former Head of Corporate Finance & Treasury pada PT Astra Otoparts, Tbk, dan former Head of Corporate Treasury pada PT Astra Sedaya Finance).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun