“Babe gue maunya kita pegang mayoritas,”kata Doni.”Kan kita yang jadi tuan rumah di Indonesia.”
“Kalau jual ikannya gue sepakat sama Babe lu buat jadi mayoritas,”komentar saya.”Core business lu saat ini kan perusahaan dagang. Kalau buat menangkap dan mengolahnya, baiknya kita lihat bareng-bareng dulu. Kan lu belum punya pengalaman menangkap dan mengolah ikan.”
“Emang bisa dipilah-pilah gitu?”Doni balik bertanya.
“Bisa banget, Don,”kata saya.”Kita bisa pegang kendali di bisnis yang kita punya core competence di situ, dan kita bisa berbagi di core competence orang lain.”
Core Competence
Gary Hamel dan C.K Prahalad dalam bukunya Competing for the Future, 1994, mendefinisikan core competence sebagai kumpulan dari keahlian dan teknologi yang terintegrasi. Kompetensi ini terbentuk setelah melalui sejumlah pembelajaran di antara para individu di dalam perusahaan, sehingga mereka menjadi ahli di bidangnya tersebut.
Contoh sederhananya PT. Indofood Sukses Makmur yang tidak akan dengan mudahnya berjualan mobil Honda, pun dengan PT. Honda Prospect Motor yang tidak mungkin berbisnis mi instan dalam sekejap. Secara teori, mereka memiliki basic core competence yang berbeda. Bukan tidak mungkin mereka membentuk perusahaan JV. Namun sangat tipis kemungkinan bagi mereka mendirikan PT. Indofood Honda yang memproduksi dan menjual audio mobil.
Core competence ini menjadi salah satu kunci sukses utama bagi sebuah perusahaan untuk terus tumbuh berkembang maupun melakukan ekspansi, termasuk dalam melakukan parenting terhadap anak perusahaan maupun strategic business unit.
Menetapkan Strategic Objective
The East India Company (EIC) adalah salah satu cikal bakal perusahaan joint venture yang didirikan pada tahun 1599. The Economics Book terbitan Dorling Kindersley Limited (2012) menceritakan bahwa EIC didirikan untuk mengembangkan perdagangan antara Inggris dengan India Timur, yang didirikan oleh Josiah Child, seorang pedagang dari London, bersama para koleganya. Pada saat Josiah Child meninggal, EIC dimiliki oleh sekitar 3.000 pemegang saham dengan total saham disetor sebanyak 3 juta Pound Sterling.
Pada saat itu orang beramai-ramai menginvestasikan uangnya untuk membiayai pembuatan dan ekspedisi pelayaran kapal dagang, yang kemudian mengangkut sejumlah komoditas dari India Timur ke Inggris, dan sebaliknya. Motif ekonominya adalah mendapatkan keuntungan dari perdagangan yang dilakukan. Sebaliknya mereka mau berbagi karena besarnya modal yang dibutuhkan dan tingginya risiko yang harus ditanggung bila mereka melakukannya sendiri.