Mohon tunggu...
Andi Darlis
Andi Darlis Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

72 Tahun Indonesia Merdeka

16 Agustus 2017   11:34 Diperbarui: 16 Agustus 2017   11:57 4030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Soliditas yang kita bangun sebagai bangsa sejak proklamasi dikumandangkan 72 tahun lalu seolah menjadi rapuh digerus oleh perilaku sebagian elit/kelompok  yang kurang mengedepankan nilai-nilai persatuan.  Ujaran kebencian bernuansa SARA yang tentu saja melukai perasaan sesama anak bangsa sudah jamak terdengar dan terlihat akhir-akhir ini. 

Demi untuk dan atas nama kelompok kita saling memaki seolah akar budaya agung berupa tepa selira, andap asor, ngajeni  dan ajaran luhur sejenisnya tidak pernah kita kenali dan miliki. Kita seolah kehilangan arah dalam berbudaya, berbangsa dan bernegara karena nilai-nilai luhur yang selama ini menjadi instrumen kendali sosial kita seolah hilang tergantikan dengan nafsu untuk berkuasa meniadakan satu sama lain tanpa etika dan moral.  Elit politik yang menjadi pengendali negara seharusnya digugu dan ditiru dalam berperilaku serta berbudaya  santun penuh kearifan gagal memberi contoh yang baik. Negara beserta instrumennya rapuh dalam berhadapan pelaku-pelaku politik yang tak beretika sehingga menimbulkan goncangan dalam kehidupan sosial dan politik. 

Hari-hari ini para elit kita sibuk dengan dirinya dan kelompoknya sehingga kebhinnekaan yang menjadi esensi kekuatan bangsa kita menjadi terbaikan dan terlupakan. Padahal segala perbedaan yang terbingkai dalam kebhinnekaan kita sangat penting untuk selalu dirawat dan dijaga sebab disitulah letak roh kekuatan nasional Indonesia. Para elit kita seolah lupa untuk berfikir bagaimana bangsa ini dikelola dengan baik untuk kepentingan seluruh elemen bangsa. Dalam pemikiran dan tataran praksis perilaku politik yang dimainkan tidak mencerminkan kepentingan untuk menjaga keutuhan bangsa, cara berfikir egosentrisme dan mengedepankan kepentingan kelompok/golongan menjadi ciri berpolitik para elit kita saat ini. Benturan kepentingan antar kelompok elit yang tidak merepresentasikan  kepentingan seluruh elemen bangsa, perilaku korupsi yang seolah tanpa henti, sikap dan tingkah laku serta perangai yang kurang pantas sebagai manusia Indonesia yang berbudaya merupakan patologi yang dipertontonkan oleh elit didepan publik kemudian berdampak kepada sikap dan tingkah laku warga masyarakat.  Masyarakat kita saat ini sangat mudah terprovokasi untuk berkonflik satu sama lain, mudah tersulut emosi untuk hal-hal yang sangat sepele, keharmonisan seolah mulai lenyap dari bumi Indonesia yang dahulu damai dan aman.  

Segregasi elit yang meluas seolah berbanding lurus dengan sikap dan perilaku warga masyarakat yang tentu saja sangat merugikan persatuan kita sebagai bangsa dan ini menjadi titik masuk bagi anasir asing untuk menancapkan pengaruhnya di Indonesia.  Elit sebagai kelompok penentu dan pengambil kebijakan yang diberi kesempatan untuk memerintah dan mengatur negara seharusnya berfikir nasional yaitu bagaimana Indonesia bisa tetap eksis dan lebih maju, jauh dari perpecahan sebab para pendahulu kita yang berasal dari berbagai  kalangan sudah sepakat untuk bersama mendirikan negara Indonesia. 

Diusia 72 tahun kemerdekaan ini memang sangat terasa bahwa kita telah lama kehilangan tokoh panutan yang semua perkataan dan perbuatannya selaras, tokoh yang mempersatukan dan mengayomi masyarakatnya, tokoh yang sudah selesai dengan dirinya sehingga orientasi pemikiran dan perjuangannya hanya untuk kepentingan nasional. Padahal berfikir nasional adalah kunci sukses menggapai cita-cita sesuai yang termaktub didalam UUD 1945. Berfikir nasional adalah sikap seseorang terhadap kesadaran bernegara yang menjangkau jauh kedepan karena kompleksitas dan komprehensifitas kontemplasi pemikiran sebagai refleksi dari kualitas pribadinya yang mumpuni. 

Cara berfikir nasional mempunyai ciri khusus berupa norma objektif yaitu mengutamakan kepentingan kehidupan nasional. Cara berfikir nasional merupakan antitesis cara berfikir kedaerahan, kepartaian/golongan, apalagi untuk diri sendiri. Meninggalkan cara berfikir nasional berarti mengingkari watak kenasionalannya. Jika seseorang menyebut dirinya nasionalis tanpa menerapkan  cara berfikir nasionalis maka ia adalah nasionalis gadungan hanya pandai bersilat lidah mementingkan citra pribadi penuh slogan tanpa isi dan makna bagi kemanusiaan.  Selamat HUT RI ke 72, semoga Indonesia tetap eksis menapaki jalan sejarah yang semakin tidak mudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun