Mohon tunggu...
Andi Darlis
Andi Darlis Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Adakah Efek Domino Pembubaran HTI?

9 Mei 2017   06:24 Diperbarui: 9 Mei 2017   07:32 1944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 ADAKAH EFEK DOMINO PEMBUBARAN HTI

Pembubaran (pembekuan) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh pemerintah dapat dipandang sebagai keputusan yang tepat namun bisa juga dipandang sebagai keputusan yang terburu-buru.  Maraknya radikalisme mungkin dijadikan sebagai rasionalitas atas pembubaran tersebut. Sikap radikal dan adanya orientasi struktural sistem pemerintahan khilafah yang diusung oleh HTI menjadi lansadan utama tindakan pemerintah mengambil langkah tegas.  Sesuai dengan pernyataan Menko Polhukam Bapak Wiranto bahwa pembubaran HTI yang dilakukan oleh pemerintah cq. Kemenpolhukam karena dinilai tidak sejalan dengan pemerintah. Terdapat 5 (lima) argumen pemerintah yang melandasi dibubarkannya HTI: pertama, HTI tidak melaksanakan peran positif dalam proses pembangunan. Kedua, HTI telah terindikasi kuat bertentangan dengan tujuan dan azas Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, HTI nyata-nyata menimbulkan benturan di masyarakat yang mengancam keutuhan NKRI. Keempat, sesuai aspirasi masyarakat pemerintah mengambil langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI. Kelima, keputusan ini diambil bukan karena pemerintah anti ormas Islam namun semata-mata dalam rangka merawat dan menjaga keutuhan NKRI.

Pembubaran sebuah ormas harus berlandaskan mekanisme hukum dan tentunya dengan berbagai pertimbangan agar tidak menimbulkan ekses negatif dikemudiuan hari yang justru menjadi kontraproduktif.  Alam demokrasi menjamin untuk siapa saja mendirikan organisasi sebagai wadah untuk berpolitik.  Mendirikan organisasi/perkumpulan dijamin sebagai hak politik seluruh warga.  Pembubaran perlu dikaji dengan jelas dan objektif sejauhmana tingkat bahaya radikalisme di tubuh  HTI sehingga tidak menimbulkan polemik hukum, sosial dan politik. Keputusan pembubaran HTI harus didasarkan pada rasionalitas dengan multi pendekatan jangan sampai keputusan itu hanya didasarkan atas pertimbangan pragmatis belaka  tanpa memperhitungkan dampak ikutannya.  .

Berdasarkan  UU No. 17 Tahun 2013 prosedur pembubaran Ormas harus melalui tahapan berikut :  1. Diberikan sanksi administratif dalam bentuk peringatan tertulis (sampai 3 kali). 2. Pemerintah menghentikan bantuan dan melarang kegiatan selama 6 bulan. 3. Jika yang dimaksud adalah Ormas Nasional maka harus atas pertimbangan Mahkamah Agung (MA). 4. Bila sudah dilarang tetapi masih melakukan kegiatan maka pemerintah mencabut status badan hukumnya atas persetujuan pemerintah. 5. Kemenkumham melayangkan gugatan ke pengadilan untuk membubarkan ormas yang dimaksud dengan melampirkan prosedur pemberhentian berupa sanksi administratif. 6. Putusan pengadilanlah yang memutuskan apa ormas itu dibuarkan atau tidak (Inkrah). Pembubaran HTI hendaknya harus memenuhi ketentuan tersebut diatas agar pemerintah dalam hal ini Kemenpolhukan terhindar dari tuduhan cacat prosedur dalam menetapkan pembubaran Ormas HTI.

Keberadaan sebuah Ormas sesungguhnya merupakan perwujudan dari hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul yang merupakan hak politik. Oleh karena itu pembubaran HTI perlu dicermati dengan baik apakah hal itu sudah sesuai dengan aturan yang ada dan bagaimana dengan hak politik warga negara.  Semua hal tersebut harus dapat dijawab agar tidak menimbulkan preseden buruk bagi pemerintah.

Pasca pembubaran “paksa” HTI yang dinilai tidak sejalan dengan pemerintah dan dinilai cenderung radikal itu menimbulkan  pertanyaan apakah tidak ada efek domino terhadap Ormas lain yang dianggap radikal seperti misalnya Front Pembela Islam (FPI)?.  Bila pemerintah menganggap sebuah Ormas “berbahaya” maka ada langkah-langkah yang lebih soft yang dapat ditempuh oleh pemerintah. Pembubaran “paksa” dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan baru berupa semakin meluasnya sikap dan tindakan radikal di masyarakat.  Radikalisme timbul karena adanya ketidakadilan sehingga pemerintah dengan instrumen yang dimilikinya mestinya lebih mengayomi daripada menghukum. Revolusi-revolusi di dunia terjadi karena merebaknya ketidakadilan politik, ekonomi dan sosial yang berujung pada timbulnya aksi kekerasan yang menimbulkan korban jiwa. Tentu hal itu sangat tidak kita harapkan karena revolusi akan menelan anak-anak bangsa yang tentunya akan menuai banyak kerugian.  Bubarnya HTI tidak serta merta menghilangkan sikap radikalis pengikutnya, kemungkinan akan bermetamorposis menjadi organisasi baru atau muncul menjadi organisasi sempalan baru yang justru lebih radikal.

Selain HTI dan FPI yang dinilai menjadi simbol radikalisme lalu bagaimana dengan Ahmadiyah, Syiah dan ormas sejenis bagaimana sikap pemerintah terhadap itu.  Pemerintah diharapkan dapat bertindak adil terhadap semua kalangan. Lalu bagaimana dengan aksi yang lebih radikal lainnya dan terang-terangan menentang pemerintah RI seperti yang terjadi di Papua dimana kelompok sipil bersenjata Papua yang menamakan diri OPM menyatakan perang  kepada pemerintah RI dipimpin oleh Goliath Tabuni di Kyiyawagi Papua yang memproklamirkan diri sebagai  Panglima Tertinggi Komando Nasional Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dengan 7 Komando Daerah Pertahanan (KODAP) mereka menampilkan parade militer dan pengibaran bendera Biontang Kejora. Tindakan tersebut sudah masuk ketegori tindakan makar (separatisme/radikalisme politik).   Radikalisme yang ditampilkan oleh warga masyarakat Papua tersebut juga merupakan dampak dari ketidakadilan dan sikap dan aksi radikal yang ditampilkan lebih provokatif dan ekstrem karena melakukan deklarasi melawan pemerintah. Pertanyaan dari kasus ini apakah pemerintah juga akan melakukan tindakan pembubaran seperti halnya yang dilakukan kepada HTI. Kasus ini tentu harus menjadi perhatian kita bersama agar kita tidak terjebak pada tindakan yang tidak adil terhadap pelaku kejahatan terhadap negara.  Konsep welfare state harus menjadi orientasi pemerintah dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara agar kita tidak terlalu disibukkan dengan berbagai gejolak dalam negeri yang sesungguhnya bisa diatasi jika negara lebih mengedepankan keadilan bagi seluruh warga negara.

-------

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun