Beberapa saat sebelum pandemi COVID-19 melanda Indonesia, sejak dilantik pada tanggal 23 Oktober 2019 silam, Erick Thohir yang dipercayakan memimpin Kementerian BUMN oleh Presiden Jokowi pada kabinet Indonesia Maju (2019-2024) telah menunjukkan beberapa gebrakan yang membuat publik Indonesia kesengsem.
Hal ini salah satunya dapat dilihat dari hasil Survei Indonesia Political Opinion (IPO) yang dirilis pada Bulan Februari 2020 (dalam rangka evaluasi 100 hari kabinet Indonesia Maju) yang menempatkan Erick Thohir sebagai menteri yang paling dipersepsikan positif oleh publik (tervaforit), diatas Retno L.P. Marsudi (Menlu), Mahfud MD (Menkopolhukam), Tito Karnavian (Mendagri) dan Sri Mulyani (Menkeu).
Selain restrukturisasi organisasi kementerian BUMN secara besar-besaran, Erick Thohir juga telah berani mengungkap dan sekaligus membenahi segala permasalahan mendasar yang terjadi pada BUMN selama ini satu persatu.
Bukan hanya terkait struktur organisasi BUMN yang masih kaku, birokratif, dan inefisiensi (banyak memiliki anak dan cucu perusahaan), pembenahan yang dilakukan oleh Erick Thohir juga terkait permasalahan terkait aktivitas bisnis masing-masing BUMN (seperti kegagalan mengelola keuangan dan aktivitas anak/cucu perusahaan yang tidak sesuai dengan core business), sampai kepada permasalahan mindset, kompetensi dan akhlak para Bos dan karyawan BUMN (termasuk lifestyle BOS BUMN).Â
Bahkan, disaat pandemi COVID-19 ini, dibalik prestasi gemilang BUMN yang dengan sigap menyiapkan sarana dan prasarana mendesak untuk penanganan pandemi COVID-19 (seperti pembangunan rumah sakit darurat, penyediaan APD, obat-obatan, alat kesehatan dan akomodasi kepada tenaga medis), Erick Thohir juga membongkar kepada publik tentang masih banyaknya Bos BUMN yang tidak berkompeten (tidak mengerti laporan keuangan), dan adanya "mafia" Â dibalik perdagangan Alat kesehatan dan obat-obatan (selain perdagangan Migas, Beras dan bahan pangan lainnya sebagaimana yang telah menjadi rahasia umum dan perbincangan publik selama ini).Â
Atas permasalahan ini, komitmen Erick Thohir pun semakin menjadi-jadi. Selain restrukturisasi organisasi, peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan penerapan good governance, penguatan industri hulu pun sepertinya akan menjadi strategi prioritas pengembangan aktivitas bisnis BUMN di masa kini dan akan datang.
Erick Thohir sepertinya akan bergerak lebih cepat lagi untuk mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan peran "dua sisi mata uang" BUMN, yaitu peran ekonomi dan sosial yang memang semestinya wajib dijalankan secara tepat dan seimbang oleh BUMN.Â
Memang harus disadari bahwa menjalankan misi sosial BUMN, tidak cukup hanya dengan merealisasikan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) semata. Sudah saatnya BUMN harus berpikir strategis untuk meningkatkan kemandirian Bangsa/Negara, sekaligus membasmi "mafia perdagangan", yang salah satunya dengan cara mengembangkan industri dari hulu sampai ke hilir, terutama pada sektor-sektor strategis (seperti pertahanan, energi, ketahanan pangan dan kesehatan).
Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah menempatkan kembali posisi BUMN sebagai "agen pembangunan" atau perpanjangan tangan Pemerintah, sehingga dalam menjalankan aktivitasnya, seluruh BUMN harus tetap berorientasi pada upaya peningkatan pelayanan publik dan penyediaan barang/jasa yang lebih berkualitas, merata dan terjangkau untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Lantas bagaimana dengan BUMD/BUMDes? Â Apakah langkah BUMN untuk berbenah dan bergerak cepat tersebut bisa diikuti oleh BUMD/BUMDes di Indonesia?
Sebelum menjawabnya, mari kita lihat bagaimana profil singkat BUMN, BUMD dan BUMDes di Indonesia.