Data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI menunjukkan bahwa jumlah penduduk usia kerja Per Februari 2010 berjumlah 171.017.416 jiwa. Dari jumlah tersebut 115.998.062 jiwa termasuk angkatan kerja,sedangkan sisanya bukan angkatan kerja, dengan rincian: 14.199.461 jiwa bersekolah, 32.419.795 jiwa mengurus rumah tangga dan 8.400.098 lainnya.
Dari 115 juta lebih angkatan kerja, 107.405.572 diantaranya telah bekerja, sedangkan 8.592.490 termasuk dalam kategori pengangguran terbuka. Jika didasarkan pada tingkat pendidikan, pengangguran yang ada di Indonesia dapat digambarkan pada tabel sebagai berikut:
Tabel
Penganggur Terbuka Nasional Menurut Pendidikan dan Daerah
Februari 2010
No
Pendidikan
Daerah
Jumlah
Perdesaan
Perkotaan
1
≤ SD
932.096
1.196.599
2.128.695
2
SMTP
840.161
817.291
1.657.452
3
Sekolah Menengah Umum
1.283.584
827.672
2.111.256
4
Sekolah Menengah Kejuruan
924.306
412.575
1.336.881
5
Diploma I/II/III/Akademi
287.305
250.881
538.186
6
Universitas
576.498
243.522
820.020
Jumlah
4.843.950
3.748.540
8.592.490
Sumber: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2010
Atas jumlah penganggur terbuka tersebut menggambarkan ketatnya persaingan dunia kerja saat ini. Dengan keterbatasan lapangan kerja, dapat dipastikan bahwa tidak semua tenaga kerja dapat terserap pada lapangan kerja, dibutuhkan tenaga kerja yang memiliki keunggulan tertentu agar dapat ikut bersaing. Begitupula jika ingin menjadi wiraswasta (berbisnis), dibutuhkan pebisnis yang kreatif dan inovatif agar dapat memenangkan persaingan dunia usaha yang semakin ketat, apalagi pada zaman globalisasi saat ini.
Perubahan yang cepat telah menjadi ciri utama dari lingkungan dimana bisnis dijalankan saat ini. Hal ini disebabkan karena derasnya tekanan untuk berubah yang datang dari berbagai penjuru, kemajuan cepat pada teknologi informasi dan adanya tuntutan dari kelompok stakeholder yang semakin meningkat. Dunia bisnis dan organisasi lainnya telah terikat dalam perjanjian dan transaksi yang lebih kompleks, setiap organisasi menonjolkan keunggulannya masing-masing, manajemen resiko lebih sering diperbincangkan dan tindakan legal pun menjadi sesuatu yang mulai banyak dipertimbangkan dalam masyarakat, sehingga diperlukan strategi yang lebih baik untuk menghadapinya.
Walaupun globalisasi saat ini sering disebut sebuah keniscayaan. Namun, pilihannya hanya dua: ikut atau tidak? Kalau memutuskan tidak ikut, maka harus siap dengan hidup subsisten. Tetapi kalau memutuskan ikut dalam globalisasi, maka harus siap menghadapi pesaing (Widoatmodjo, 2005), dalam hal ini harus siap berkompetisi. Pada tingkat bisnis, untuk dapat memenangkan persaingan dalam bisnis global maka pebisnis harus mengawalinya dengan mengubah cara pandang berkompetisi. Prahald (1997) dalam Widoatmodjo (2005) mengemukakan delapan perubahan cara pandang berkompetisi yang diperlukan saat ini, yaitu:
1.Dari kondisi yang nyaman menjadi kondisi yang ketat;
2.Dari lokal menjadi global;
3.Dari diikuti menjadi mengikuti;
4.Dari batasan industri yang jelas menjadi tidak jelas;
5.Dari stabil menjadi tidak stabil;
6.Dari tidak langsung menjadi langsung;
7.Dari integrasi vertikal menjadi spesialis;
8.Dari berpengetahuan tunggal menjadi jamak.
Selanjutnya, perubahan cara pandang berkompetisi tersebut, harus diikuti dengan merumuskan suatu strategi jitu dalam bersaing, karena hal itulah yang bisa menjadi keunggulan kompetitif masa depan (Widoatmodjo, 2005).
Berkaitan dengan strategi inilah, Porter (1985) seperti yang dikutip oleh Widoatmodjo (2005) menyatakan bahwa strategi yang baik bukan perkara menjadi lebih baik dari sebelumnya (termasuk pengaplikasian gagasan manajemen mutakhir), melainkan perkara menjadi berbeda dari pesaing.
Untuk itu, ada tiga prinsip yang harus dipenuhi untuk bisa menjadi “berbeda”, yaitu:
1.Membuat industri menjadi lingkungan persaingan yang baik bagi perusahaan.
Dalam hal ini, didasarkan pada kenyataan bahwa dinamika industri bisa mempengaruhi kinerja perusahaan., sehingga sebaik apapun perusahaan, kalau berada pada industri yang bermasalah maka perusahaan akan terseret pada masalah tersebut. Untuk itu, agar dapat menjadi berbeda, perusahaan harus bisa mempengaruhi bahkan merestrukturisasi lingkungan dimana dia berada, bukan hanya menanggapi dan bereaksi atas dinamika industri
2.Membuat produk menjadi unik.
Dalam hal ini, perusahaan harus menentukan pilihan, yaitu memutuskan nilai apa yang akan ditawarkan dan kepada siapa ditawarkan. Ringkasnya, untuk bisa berbeda maka perusahaan harus menyadari bahwa perusahaan tidak akan pernah mampu untuk melayani seluruh pelanggan.
3.Cara untuk berbeda itu harus berbeda pula dari para pesaing.
Dalam hal ini, Tidak hanya nilai produk saja yang perlu dibedakan, tetapi prosesnya juga harus berbeda, yang mana dapat dihasilkan jika strategi yang berbeda pula.
Strategi menjadi berbeda inilah yang kemudian menjadi sumber keunggulan bersaing dimasa depan.
Dari pemaparan diatas maka dapat disimpullkan bahwa ketika ingin menciptakan pekerja atau pebisnis yang memiliki keunggulan dan dapat bersaing di zaman globalisasi seperti saat ini maka diperlukan suatu strategi untuk bisa menciptakan perbedaan, yang mana perbedaan ini bukan hanya terfokus pada produk (pekerja atau pebisnis) yang berbeda, namun harus didukung dengan proses penciptaan produk serta strategi yang berbeda pula.
Begitupula jika dikaitkan dengan dunia pendidikan, jumlah pengangguran tidak bisa dikurangi hanya dengan melakukan perluasan lapangan kerja, namun sudah harus diantisipasi sejak peserta didik mengikuti pendidikan. Dalam hal ini jika ingin menciptakan lulusan yang memiliki keunggulan bersaing, berarti diperlukan strategi yang berbeda dalam menyelenggarakan pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H