Lazimnya, menikmati waktu luang di masa purnabakti tentu dinantikan oleh para pejabat. Namun demikian, kelaziman ini tidak dialami oleh mantan walikota Makassar. Beliau justru dipastikan akan sibuk menjalani proses penegakan hukum yang serius karena ditetapkan sebagai tersangka sehari sebelum memasuki masa purnabaktinya. Wajar jika beliau mengaku terkejut saat ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Terlebih lagi, beliau mengetahui peningkatan statusnya dari saksi menjadi tersangka melalui siaran televisi bertepatan dengan acara perpisahan. Praktis euphoria kesuksesan memimpin kota metropolitan Indonesia Timur selama dua periode yang disaksikan oleh keluarga, kerabat dan masyarakat, seketika berubah menjadi acara isak tangis. Perasaan undangan yang hadir dalam acara perpisahan itu menjadi menjadi tak karuan. Tampak dari raut wajah mereka kesedihan, kemarahan dan kepasrahan bercampur aduk.
Meskipun demikian, Ilham Arif Sirajuddin (IAS) berusaha merespon statusnya sebagai tersangka dengan bijak. Beliau langsung menyatakan kesiapannya mengikuti proses hukum. Beliau menjelaskan bahwa proses tender dan lelang PDAM sudah sesuai prosedur. “Bahkan PDAM Makassar mengalami perbaikan selamat sepuluh tahun terakhir," tutur IAS.
IAS disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Dalam kasus ini, KPK juga menjerat HW, Direktur PT Traya Tirta Makassar sebagai tersangka bersama dengan IAS. Negara diperkirakan mengalami kerugian sekitar Rp 38,1 miliar atas perbuatan kedua tersangka.
KPK menetapkan kasus IAS sebagai tersangka setelah menggelar serangkaian penyelidikan terkait proyek PDAM sejak 2013, bahkan KPK pernah meminta keterangan langsung dari IAS dalam proses penyelidikan proyek ini. Penetapan status IAS sebagai tersangka adalah tindak lanjut KPK terhadap temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai kondisi keuangan PDAM Makassar 2012.
Berdasarkan hasil audit BPK tersebut, didapati telah terjadi kerugian negara sekitar Rp 38 miliar dalam kontrak kerja sama antara PDAM Makassar dengan PT Traya Tirta Makassar sebagai rekanan. Meskipun IAS sudah ditetapkan sebagai tersangka, beliau tetap menghadiri pelantikan walikota Makassar yang baru untuk periode 2014 – 2019.
Ironis, KPK menetapkan IAS sebagai tersangka dugaan korupsi PDAM Makassar tepat di hari terakhir beliau menjabat sebagai walikota. Di tengah banjir hadiah dan sanjungan keberhasilan, tiba-tiba KPK mempersembahkan kado status tersangka. Memberi kado status tersangka di akhir masa jabatan kerap dilakukan KPK kepada para pejabat pemerintah yang disangka terlibat korupsi.
IAS Senasib dengan Hadi Purnomo
Status tersangka ibarat kado bergilir yang mampir di detik-detik masa jabatan berakhir. Nasib Walikota Makassar dua periode yang menerima kado status tersangka tersebut mirip dengan dengan nasib yang menimpa mantan Ketua BPK, Hadi Purnomo. Ilham senasib dengan Hadi Poernomo yang juga ditetapkan sebagai tersangka korupsi terkait permohonan keberatan pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA) (Senin, 21/4/2014). Hadi Purnomo juga menerima kado status tersangka di akhir masa jabatannya sebagai ketua Badan Pemeriksa Keuangan.
Sejumlah pihak bertanya-tanya, mengapa para pejabat yang terlibat dugaan kasus korupsi harus ditetapkan sebagai tersangka disaat menjelang masa purnabaktinya atau masa baktinya berakhir?
Menariknya, penetepan status tersangka oleh KPK ini bertepatan dengan dimulainya masa pensiun Hadi Poernomo sebagai ketua BPK. Hadi Purnomo dijerat dalam tindak pidana korupsi bukan dalam kapasitasnya sebagai mantan ketua BPK. Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kapisitasnya sebagai mantan dirjen pajak periode 2002-2004. Tindakan Hadi Purnomo menerima surat permohononan keberatan pajak BCA tahun 1999 menyalahi prosedur hukum sehingga diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 375 Miliar.
Tindakan KPK ini memunculkan sejumlah pertanyaan di tengah masyarakat. Di antaranya, ditinjau dari waktu terjadinya kasus surat permohononan keberatan pajak BCA, muncul pertanyaan: “mengapa KPK membutuhkan waktu yang begitu lama dalam menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka?” Pertanyaan lain yang muncul adalah “mengapa KPK harus menunggu sampai Hadi Purnomo selesai menunaikan tugasnya sebagai ketua BPK?”
Hal ini membuat masyarakat awam bingung sehingga memicu munculnya dugaan spekulasi. Jangan-jangan KPK sengaja memilih momentum detik-detik terakhir masa jabatan penyelenggara Negara yang terlibat dugaan korupsi untuk menetapkan statusnya sebagai tersangka. Tentu masih segar dalam ingatan kita ketika Akil Mohtar yang kala itu ditetapkan sebagai tersangka di tengah jalan saat ia masih aktif menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi. Indonesia mengalami gunjang-ganjing politik yang begitu dahsyat.
Oleh karena itu, sejumlah pihak mengklaim bahwa KPK kerap menetapkan kasus tersangka kepada pejabat yang disangka melakukan kasus korupsi di akhir masa jabatannya untuk menghindari dahsyatnya guncangan politik. Menanggapi hal tersebut, juru bicara KPK Johan Budi mengungkapkan bahwa penetapan status tersangka seseorang tidak berkaitan dengan masa jabatan yang bersangkutan berakhir
Juru bicara KPK, Johan Budi dengan tegas membantah tuduhan adanya unsur kesengajaan menetapkan pejabat atau penyelenggara negara sebagai tersangka di akhir masa jabatannya. Johan Budi menuturkan bahwa domain KPK adalah hukum sehingga tidak ada kaitannya dengan pejabat yang akan pensiun/purnabakti atau yang baru menjabat.
Hikmah Tragedi Jelang Purnabakti
Terlepas dari ada atau tidak adanya unsur kesengajaan KPK menetapkan kasus tersangka kepada para pejabat jelang masa purnabaktinya, tragedi yang menjerat IAS dan Hadi Purnomo menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang mengemban amanah. Menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang, cepat atau lambat akan menghadirkan tragedi entah itu di awal, pertengahan ataupun di akhir masa jabatan. Bagaimanapun, dalam konteks penegakan supremasi hukum di Indonesia saat ini, nyaris tidak ada jalan untuk berkelit menghindari proses penegakan hukum bagi mereka yang terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan. Fakta membuktikan bahwa kemampuan berkelit hanya menunda waktu menjadi penghuni jeruji besi, bahkan mengajukan banding, bisa jadi bumerang masa hukuman bertambah lama.
Sungguhpun para politisi kutu loncat memiliki kemampuan loncat dari satu jabatan ke jabatan lain untuk lari dari jerat hukum, cepat atau lambat, strategi ini bisa menjadi bom waktu. Jelang masa purnabakti atau di akhir masa jabatan, proses penegakan hukum akan meledakkan satu persatu bom waktu yang tersembunyi rapi dibalik otoritas kekuasaan.
Dengan demikian, maka masa purnabakti akan berbuah tragedi pahit. Oleh karena itu, agar purnabakti dapat berbuah kenangan manis, maka mereka yang telah mendapatkan amanah dari rakyat wajib menjauhkan diri dari godaan atau rayuan syaithan yang terkutuk untuk memperkaya diri sendiri yang dapat mengakibatkan kerugian negara. Menumpuk harta dengan cara yang dapat merugikan negara sungguh sebuah tindakan sia-sia. Kalaupun selamat di dunia, masih ada pengadilan akhirat yang pasti menjerat siapapun yang melanggar syari'at(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H