[caption caption="Sumber photo : Detik News"][/caption]
Polda Metro Jaya telah membuat dua versi rekonstruksi kasus kematian Wayan Mirna Salihin . Satu rekonstruksi versi polisi dan satu lagi reknstruksi versi tersangka Jessica Kumala Wongso ( Jessica) dalam perkara kematian Mirna. Rekonstruksi tersebut dilaksanakan di TKP yaitu di Kafe Olivier, Mall Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Minggu (7/2/2016).
Maksud pembuatan dua versi rekonstruksi tersebut menurut Polisi akan digunakan sebagai alat bukti Polisi untuk ditunjukkan kepada Jaksa penuntut umum dan Hakim yang mengadili perkara kematian Mirna di pengadilan nanti dengan cara membandingkan dua alat bukti berupa rekontruksi satu versi Jessica dan yang satu lagi rekontruksi versi Polisi yang dibuat berdasarkan hasil tayangan rekaman CCTV ( closed –circuit television )
Dalam versi Jessica, ada 56 adegan rekonstruksi. Sementara itu, menurut versi polisi, ada 65 adegan dalam rekonstruksi.
Terjadinya dua pembuatan rekonstruksi ini karena Jessica menolak mengikuti adegan versi polisi yang yang dikonstruksi sesuai rekaman kamera pengawas (CCTV).
Pasalnya, menurut pihak Jessica, Jessica merasa tak pernah diberi kesempatan melihat rekaman kamera CCTV sehingga menolak mengikutinya.
Karena Jessica menolak melakukan rekonstruksi , Untuk melengkapi alat bukti dan mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang kondisi atau keadaan saat berlangsung reuni tiga orang sesama alumnus Billyblue College Sidney itulah maka Polisi melakukan Rekonstruksi versi Polisi dengan menggunakan peran pengganti.
Pada prakteknya dalam pemeriksaan di pengadilan , selain menggunakan alat bukti yang telah diatur dalam Pasal 184 KUHAP ( Saksi, Surat, saksi ahli, petunjuk dan keterangan terdakwa) biasanya pada kasus tindak pidana seperti kasus kematian Wayan Mirna itu, terdapat suatu alat bukti lain atau semacam petunjuk lain yang biasa disebut sebagai rekontruksi tindak pidana.
Maksudnya diadakannya adalah untuk memperkuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diperoleh penyidik Polisi. Selain itu juga untuk membuat terang benderang dan memberikan gambaran kepda Hakim tentang telah terjadinya suatu tindak pidana dengan jalan memperagakan kembali cara tersangka (jessica) melakukan dugaan tindak pidana yang sebagaimana yang disangkakan polisi kepadanya.
Dasar hukum penyidik polisi untuk melakukan rekonstruksi adalah Surat Keputusan Kapolri No. Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, khususnya dalam bagian Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana (“Bujuklak Penyidikan Tindak Pidana”). Bab III tentang Pelaksanaan, angka 8.3.d
Dari dua versi rekontruksi yang dibuat Polisi tersebut, timbul pertanyaan, versi manakah yang akan dipilih atau dipergunakan Hakim dalam pemerikasaan kasus ini di Pengadilan.
Karena Kiitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP ) kita masih menggunakan KUHP peninggalan zaman Belanda , maka pasal pasal yang termuat dalam KUHP belum menjangkau tehnologi informasi seperti CCTV yang kini menjamur di pergunakan di kantor kantor pemerintah/ swasta , Mall mall serta kafe kafe seperti Kafe Oliver dibilangan jakarta pusat tersebut..
Memang rekaman CCTV didalam sistem pembuktian hukum tindak pidana umum Indonesia hingga saat ini belum diakui sebagai alat bukti yang bulat dan berdiri sendiri sebagai alat bukti yang sah dan boleh dipergunakan di pemeriksaan pengadlan.
Rekaman CCTV hanya sebagai pelengkap alat bukti surat seperti alat pelengkap BAP Polisi atau dapat di pergunakan sebagai pembentuk alat bukti petunjuk sepanjang rekaman CCTV tersebut bersesuaian dengan alat bukti yang lain sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP.
Kembali ke kasus Jessica dalam rekontruksi versi Jessica ada 56 adegan rekonstruksi saat berlangsungnya reuni sesama alumnus Billyblue College Sidney. Sementara itu menurut versi polisi, ada 65 adegan dalam rekonstruksi. Artinya didalam dua rekonstruksi tersebut ada perbedaan perbuatan yang dilakukan Jessica .
Namun alasan Jessica tidak mau menanda tangani BAP polisi , bukan karena perbedaan jumlah perbuatan yang dilakukannya. Tapi lebih kepada alasan Jess merasa tak pernah diberi kesempatan untuk melihat rekaman kamera CCTV , sehingga menolak mengikutinnya rekontruksi versi polisi
Dalam praktek peradilan hukum pidana, Hakim akan mencari kebenaran Matriil. Apakah benar telah terjadi tidak pidana pembunuhan dalam kasus kematian Wayan Mirna. Apakah benar pelakunya adalah tersangka Jessica sebagaimana yang disangkakan Polisi.
Di pemeriksaan di pengadilan nanti tentunya Jessica akan ditanya hakim apa alasan tersangka Jessica tidak mau menanda tangani BAP rekontruksi Versi Polisi dan juga sebaliknya hakim juga akan mencecar Jaksa penuntut umum dengan berbagai pertanyaan pijakan apa yang dipakai oleh penunut umum untuk membuat dua versi rekontruksi ini ? Karena pembuatan dua versi rekontruksi dalam perkara kematian Wayan Mirna ini tidaklah lazim.
Memang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai salah satu syarat penuntutan. KUHAP tidak mengatur tentang rekonstruksi yang bisa lebih dari satu.
Namun demikian singkat ceriteranya , Hakim dalam menggali kebenaran materiil akan menggunakan pisau bedah yakni UU Nomor 8 Tahun1981 tentang KUHAP terutama tengan alat alat pembuktian yang boleh digunakan oleh Baik hakim , Jaksa penunt umum maupun pihak Jessica. ( Pasal 184 (1) KUHAP)
Kembali kepada Versi rekontruksi manakah yang akan dipergunakan hakim dalam pemeriksaan persidangan ? Jika alasan Jessica tidak mau menanda tangani BAP rekontruksi versi Polisi , hanya karena dia tidak merasa pernah ditawarkan untuk melhat rekaman CCTV , maka alasan iru “ lemah “
Alasan Jessica itu tidak mau menandatangani BAP hasil rekontruksi polisi karena tidak diberi kesempatan untuk melihat rakaman CCTV, tidak bersesuaian dengan KUHAP. Alasan yang bisa membatalkan BAP dalam pembuatan rekontruksi atau BAP polisi, jika Jessica merasa ditekan atau disiksa polisi.
Namun demikian dalam upaya Hakim menemukan kebenaran materiil, walapun rekaman CCTV bukan merupakan alat bukti tersendiri, penulis menduga kuat , hakim akan meminta jaksa penuntut umum untuk memutar ulang rekaman CCTV dalam pemeriksaan ruang sidang pengadilan.Tentunya dalam hal ini Jessica akan ditanya Hakim apakah ada hal hal yang akan disangkalnya terkait rekaman CCTV tersebut.
Karena sulit sekali bagi jassica untuk tidak membenarkan isi rekaman tersebut (sepanjang tidak ada rekayasa polisi ) ,walaupun peran sisca digantikan peran pengganti dan pembuatan dua versi rekontruksi masih dianggap tidak lazim, penulis menduga karena dalam hukum acara pidana ini, yang dicari adalah kebenafan materiil maka hakim akan lebih memilih dan menggunakan Rekontruksi versi polisi. Karena Hakim akan menilai perbuatan Jessica tidak mau menandatangani BAP rekontruksi versi polisi adalah lebih kepada bukti pengikaran Jessica.
Ulasan ini belum masuk kepokok perkara. Ulasan ini hanya membahas apakah rekonstrusi versi polisi atau Jessica yang akan lebih dipilih Hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Sebatas itu ....tidak lebih. Hingga saat ini penulis beranggapan Jessica tidak bersalah
Kita harus menggunakan azas praduga tidak bersalah terhadap Jessica. Sepanjang Jessica belum divonis Hakim, Kita harus menghormati hak azazi Jessica.
Pandangan dan ulasan dalam tulisan ini dan juga yang tersebar di media sosial hanyalah bersifat opini. Karena tulsan seperti yang kita bahas ini tidak dapat dijadikan alat bukti. Karena penulis tidak melihat langsung, mendengar langsung dan mengalami sendiri saat saat terjadinya perkara kematian Mirna di Kafe Oliver dibilangan Jakarta Pusat tersebut.
Hanya Jessica dan Tuhan Pencipta Alam yang tahu, apakah benar Jessica pelakunya ?
Sumber :
Jessica Tolak BAP Hasil Penyelidikan, Ini Komentar Krishna Murti
Rekontruksi Kematian Mirna Dibuat Dua Versi
Jessica Tolak Rekontruksi Versi Penyelidikan Polisi
Dasar Hukum Pelaksanaan Rekontruksi oleh Penyidik
Top of Form
Top of Form
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H