Misteri hilangnya Pesawat Boeing 777-299 Malaysia
Saya mengikuti pemberitaan melalui media massa maupun Teve , terkait musibah lenyapnya pesawat Boeing 777-200 milik Malaysia Airlines System (MAS) nomor penerbangan MH370 yang berangkat dari Kualalumpur hari sabtu (8/3), pukul 00.21 waktu Malaysia.
Pesawat tersebut dijadwalkan tiba di Beijing pukul 06.30, pada pukul 02.40 hilang kontak, sampai Rabu (12/3) sore belum jelas nasibnya. Konferensi pers MAS yang dijadwalkan Selasa siang kemarin pun ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan. Setidaknya 34 pesawat dan 40 kapal dari berbagai negara—dua kapal di antaranya dari TNI AL—mencari saksama dalam radius 50 mil di koordinat pesawat diperkirakan jatuh. Nasib pesawat MH370 justru kian tak jelas setelah tumpahan minyak sepanjang 12 km di lokasi itu dipastikan bukan dari pesawat yang hilang dengan 239 orang penumpang, termasuk awak itu.
Sekadar perbandingan, pada 2012 hanya terjadi satu kecelakaan dari 5 juta keberangkatan. Pada 2011, terjadi satu kecelakaan dari setiap 2,7 juta keberangkatan. Hal itu berarti meningkat hampir dua kali lipat. Kenaikan tingkat keamanan terbang dinikmati oleh masyarakat penerbangan internasional seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi aviasi.
Namun, kemajuan teknologi yang pesat tidak pernah memberikan jaminan keamanan seperti yang diharapkan. Banyak faktor yang memengaruhi keamanan terbang, betapa pun tingginya tingkat keamanan yang sudah dicapai. Bergerak di bidang yang teknologis sifatnya, dituntut kepatuhan yang tinggi terhadap semua regulasi dan ketentuan yang mengiringinya.
Seperti yang terjadi pada pesawat Boeing 777-200 milik maskapai penerbangan Malaysia Airlines System (MAS), nomor penerbangan MH370 itu, hilang dalam rute Kuala Lumpur ke Beijing, China. Lenyapnya MH370 yang tiba-tiba ini, dalam arti tidak sempat mengirimkan pesan tanda darurat atau emergency signal, memunculkan banyak spekulasi terhadap apa yang telah terjadi. Masa lebih dari 2 x 24 jam tanpa petunjuk apa pun menambah lagi dugaan tentang apa yang sebenarnya dialami oleh MH370 tersebut.
Lenyapnya sebuah pesawat tanpa sempat mengirimkan pesan keadaan darurat dipastikan bahwa sesuatu yang sangat mendadak telah terjadi. Apabila tidak mendadak, pilot pasti akan mengirimkan pesan keadaan darurat seperti yang ditentukan dalam prosedur standar penerbangan. Ini mengacu pada Civil Aviation Safety Regulation dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Walau tidak selalu ”bom” dari tersangka teroris yang menyebabkannya, ledakan yang merusak adalah salah satu penyebab hilangnya pesawat secara tiba-tiba tanpa sempat memberikan waktu bagi pilot mengirimkan pesan melalui radio atau peralatan komunikasi lainnya.
Untuk hal ini, adanya temuan awal bahwa ada dua penumpang MH370 yang menggunakan paspor palsu tentu harus diselidiki dengan cermat. Agak sulit diterima akal sehat kenapa mereka harus menggunakan paspor palsu. Terlebih lagi, ada temuan lain, empat orang membatalkan ikut penerbangan itu.
Walau terlalu dini untuk mengatakan bahwa bom dan teroris yang menyebabkan pesawat MH370 lenyap, penelitian lanjutan seyogianya harus dilakukan. Minimal, kelengahan di jajaran imigrasi akan memberikan ”pelajaran” mahal dalam urutan pelaksanaan prosedur pemberangkatan penumpang pesawat udara.
Maskapai penerbangan Malaysia memiliki catatan cukup baik dalam konteks keamanan terbang. Di sisi lain, Boeing 777-200 adalah pesawat yang masuk dalam kategori the safest wide body aircraft. Pesawat angkut besar pertama dari Boeing yang menggunakan sistem fly by wire yang melengkapi dirinya dengan banyak penyempurnaan, termasuk dalam safety devices atau peralatan penunjang keamanan terbang pesawat. Pilot yang mengawaki adalah seorang pilot senior yang sangat berpengalaman terbang di Malaysia Airlines.
Pertanyaan yang ramai muncul, mengapa pesawat berteknologi tinggi dan sangat modern bisa lenyap dalam penerbangannya. Mengapa pesawat canggih bisa (kemungkinan besar) mengalami kecelakaan?
Untuk memahami tentang pesawat modern dan canggih, patut juga melihat hasil penyelidikan National Safety Board Perancis dan Belanda dalam kejadian kecelakaan pesawat AF-447 Rio de Janeiro ke Paris pada 2009 dan pesawat Turkish Air yangundershoot mendarat beberapa kilometer sebelum landas pacu Bandara Schiphol, Belanda.
Pada kedua hasil penyelidikan tersebut, ada catatan menarik yang hampir sama tentang kemampuan pilot dalam menghadapi situasi keadaan darurat. Pilot diragukan kemampuan menerbangkan pesawat secara manual dalam situasi darurat. Pilot terlambat menyadari terjadinya kekeliruan dalam sekuel penerbangannya.
Ada satu istilah yang sangat menarik, yaitu disebutkannya satu terminologi: automation addiction. Suatu kebiasaan yang fatal dari pilot yang selalu menggunakan autopilot sepanjang rute perjalanan penerbangannya. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap peralatan yang otomatis dicurigai sebagai penyebab turunnya keterampilan pilot menerbangkan pesawat terbang secara manual.
Semua itu dapat diketahui dari rekaman gerak pesawat dan pembicaraan pilot yang berasal dari penelitian ”kotak hitam”. AF-447 masuk laut pada 2009 dan ”kotak hitam”-nya berhasil diangkat pada tahun 2010. Penyelidikan memakan waktu lebih kurang satu tahun. Pilot terlambat menyadari bahwa autopilot tidak bekerja dengan benar sehingga membawa pesawat masuk ke dalam area kumulonimbus yang berbahaya.
Di Belanda, Turkish Air mendarat beberapa kilometer sebelum landas pacu Schiphol. Ternyata kejadiannya hampir serupa dengan AF-447. Pilot terlambat mengetahui bahwa pesawatnya (yang tengah terbang di bawah kendali otomatis) berada dalam lintasan terbang untuk mendarat di landasan yang jauh dari jalur lintasan normal. Dalam usaha menerbangkan pesawat untuk kembali ke lintasan pendaratan yang normal, sang pilot telah mengangkat terlalu tinggi hidung pesawat. Tingginya hidung pesawat dan kondisi penggunaan power mesin yang tidak seimbang menyebabkan pesawat tidak sanggup naik dan bahkan yang terjadi adalah stall. Pesawat menghantam tanah, jauh sebelum ujung landasan dari Bandara Schiphol.
Pilot AF-447 dan Turkish Air adalah pilot senior dengan ribuan jam terbang. Namun, hasil penyelidikan yang sebagian besar berasal dari data penerbangan dan data pembicaraan di kokpit menjelaskan, mereka tidak cukup mahir mengendalikan pesawat dalam keadaan darurat. Keterlambatan menyadari telah terjadi penyimpangan dalam operasi penerbangan yang normal, dan gagalnya mengendalikan pesawat ke posisi normal, menjadi penyebab dominan dalam kecelakaan yang fatal tersebut.
Semua itu dianggap sebagai akibat dari pilot automation addiction, ketergantungan sangat tinggi terhadap sistem otomatis penerbangan yang canggih. Seorang pilot senior mengatakan, sejak tahun 2010, era pilot yang memiliki keterampilan menerbangkan pesawat sudah usai. Mereka yang saat belajar terbang belum mengalami kemajuan teknologi, semua beranjak pensiun. Kini, pilot generasi baru, mereka yang sejak awal belajar terbang terbiasa menggunakan peralatan serba otomatis, secara tidak sadar tidak lagi memiliki keterampilan yang cukup untuk menerbangkan pesawatnya, terutama dalam menghadapi situasi darurat.
Sekadar contoh, seorang pilot yang mengantongi 10.000 jam terbang, apabila ditelusuri lebih mendalam, ternyata tidak akan sebanyak itu jam terbang yang dimilikinya sebagai skill seorang pilot. Dalam penerbangan 9-10 jam, pilot sebenarnya menerbangkan pesawat selama 5-7 menit saat lepas landas dan 8-10 menit menjelang mendarat. Jumlah sisa dari 10.000 jam terbang yang dicatatnya kenyataannya hanyalah jam terbang ”sang autopilot”!
Automation addiction telah memunculkan masalah baru yang cukup serius. Meski ini masih menjadi perdebatan antara para pilot senior dan para instruktur pilot, kiranya masalah ini memang patut menjadi pokok bahasan dalam penyempurnaan upaya peningkatan keamanan terbang.
"Pengamat penerbangan Indonesia Chappy Hakim, mengangkat musibah AF447 itu dan Turkish Air yang mendarat sebelum sampai landasan Bandara Schipol, sebagai kasus automation addiction—kecanduan menggunakan autopilot sehingga ketika darurat harus manual pilot gagal mengatasi masalah.
Menurut Chappy, di era penerbangan canggih seperti sekarang ini , pilot menggunakan manual hanya 7—10 menit saat take off dan landing, sedang untuk penerbangan 9—10 jam yang dijalani sisanya diserahkan ke autopilot—itulah yang dicatat untuk lebih 10 ribu jam terbang pilot. Itu kisah AF447, tak terkait jam terbang pilot MAS MH370 yang tercatat 18 ribu jam lebih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H