[caption caption="ilustrasi; SUmber Foto: teruskan.com"][/caption]
Â
Kalau kita sering lihat di jalan raya, sering sekali (sebagian) pemotor melakukan kesalahan-kesalahan yang melibatkan pengguna jalan lain tapi kemudian memilih segera kabur dari lokasi kejadian daripada harus repot bertanggung jawab atas kesalahannya.
Contoh terkecil adalah ketika seorang pemotor dengan tidak sengaja menyerempet spion atau bodi dari sebuah mobil di padatnya lalu lintas jalan raya. Alih-alih berhenti dan meminta maaf, si pemotor biasanya akan segera tancap gas. Bahkan dalam beberapa kasus, malah galakan si pemotornya lho.
Gue ngga ada maksud untuk mendiskreditkan pemotor, karena gue sendiri juga adalah seorang pemotor. Contoh tadi adalah sedikit intermezzo aja.
Sepertinya bertanggung jawab atas kesalahan itu (dalam fokus ini, kesalahan kecil), sama sekali bukan ciri dari sebagian orang-orang di Jakarta. Padahal, kalau terbiasa lari dari tanggung jawab untuk suatu kesalahan kecil; coba gimana akibatnya ketika si orang tersebut membuat kesalahan besar??
Setidaknya berita di TV mengenai beberapa pejabat yang korup bisa jadi contoh, betapa enggannya mereka bertanggung jawab untuk kesalahan besar yang bahkan merugikan orang banyak. Yang ada malah cengar-cengir, dadah-dadah depan kamera..
Ketika hal-hal itu menjadi semakin lumrah adalah hal yang ironis saat anak-anak kecil yang harusnya dididik (dan terdidik) dengan baik, mengambil cerita-cerita di atas itu sebagai contoh dalam keseharian mereka. Anak-anak kecil ini pun menjadi terbiasa untuk tidak mau bertanggung jawab atas segala kesalahan mereka (bahkan yang kecil sekalipun), terutama ketika mereka memiliki kesempatan untuk lari dari masalah/kesalahan itu.
Contoh nyata dari hal ini, pernah gue alami beberapa waktu yang lalu.
Jam sudah menunjukkan sekitar pukul 21:00. Gue sedang menuju warung dekat rumah gue, ketika gue melihat seorang anak kecil berumur sekitar 5/6 tahun ada di warung tersebut. Orang tua si anak tidak tampak, dan dia terlihat sedang bermain dengan seekor kucing kecil yang kebetulan sedang berada di warung tersebut.
Dengan menginjak kardus minuman di depan warung itu (tanpa alas kaki pula), dia mengelus-elus kucing tersebut. Namun, secara tidak sengaja tangannya menyenggol kaleng kecil berisi tumpukan sedotan. Dan akhirnya kaleng itu terguling, dan seluruh sedotan-sedotan di dalamnya berjatuhan ke jalanan yang becek dan kotor. Gue melihat itu dari agak jauh, dan gue reflek berkomentar "yahh..".
Si anak tersebut melihat gue dan terdiam sebentar. Gue rasa yang punya warung pasti lagi dengerin musik dengan headset sehingga dia sendiri tidak sadar.
Yang terjadinya berikutnya sungguh ironis. Si anak tersebut langsung turun dari kardus yang dia injak, mengambil kedua sendalnya, dan lari menjauh tanpa alas-kaki..
fyi, rumah si anak ini hanya berbeda sekitar 3-4 rumah dengan warung tersebut.
Betapa takutnya si anak tersebut, sehingga dia harus lari daripada repot membereskan sedotan-sedotan yang masih bisa diselamatkan (sedotan dengan plastik pembungkus yang masih utuh) dan meminta maaf ke pemilik warung.
Siapa yang salah kalau seperti ini? Apakah sebegitu beratnya untuk meminta maaf atas suatu kesalahan kecil? Apakah sebegitu susahnya bertanggung jawab atas perbuatan kita?
Salah ngga gue, kalau gue bilang yang bersalah di kasus kaleng sedotan itu adalah orang tua dari anak tersebut?
Bukan apa-apa. Gue sering sekali melihat orang tua (terutama kaum ibu, dan sebagian dari golongan menengah ke bawah) akan memarahi anaknya apabila hal seperti kasus kaleng sedotan itu terjadi di depan mata si orang tua. Setelah mengomel, sang orang tua biasanya hanya akan menarik anaknya menjauh dari lokasi, dan sering kali tidak mengucapkan apapun ke pihak yang dirugikan (well, kalau pun minta maaf biasanya hanya ala kadarnya saja dan itupun si orang tua yang minta maaf dan bukan si anak).
Karena reaksi orang tua yang seperti itu, (menurut gue) membuat si anak merasa takut karena telah berbuat kesalahan kecil. Kesalahan kecil yang membuat dia dimarahi seakan-akan itu adalah suatu kesalahan besar. Dan kemudian, si anak pun tidak melihat contoh/anjuran untuk meminta maaf. Kalaupun ada, yang terjadi adalah si anak seperti dipaksa untuk meminta maaf dengan diiring omelan dari si orang tua.
Hal ini (lagi-lagi menurut gue), memberikan pelajaran ke si anak tersebut bahwa minta maaf itu ngga enak, dan berbuat kesalahan itu hanya akan memberikan masalah ketika ia harus bertanggung jawab. Pada akhirnya, tabiat seperti ini pun berakar sampai mereka bertambah usia. Dan yang terjadi berikutnya adalah kasus-kasus seperti 2 kasus yang tadi gue contohkan di atas.
Atau bisa juga dilihat, bagi si anak, bahwa meminta maaf itu tidak perlu. Toh, orang tua yang akan meminta maaf dan menanggung kesalahan apapun yang dia perbuat. Apakah itu suatu ajaran yang baik untuk si anak? Bagaimana kalau akhirnya hal itu tertanam, dan di saat dia besar; dengan mudahnya dia melemparkan tanggung jawab atas kesalahannya kepada orang lain?
Hmm...
Entahlah...
(kredit foto utama: teruskan.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H