Mohon tunggu...
Andi Anna Rahayu
Andi Anna Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

a single mom who love her kids more than her self

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Konflik Laut Cina Selatan

31 Mei 2024   23:47 Diperbarui: 1 Juni 2024   06:26 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEJARAH KONFLIK LAUT CINA SELATAN TERHADAP KEDAULATAN INDONESIA

 

Konflik yang berada di laut cina selatan tak lepas dari sejarah panjang mengenai laut tersebut. Pada abad ke-16 ketika bangsa eropa menggunakan laut ini sebagai rute pelayaran dari eropa dan asia selatan ke tiongkok, pelaut Portugal menyebutnya laut tiongkok (mare da china) dan merubahnya menjadi Laut Cina Selatan atau South China Sea (Nan Hai) untuk membedakan dengan laut lainnya, (International Hydrographic Organization 1953).

Peta wilayah kedaulatan china yang terdapat pada Nine Dash Line (garis wilayah yang digambarkan oleh China untuk menetapkan kedaulatan wilayahnya berdasarkan kekuasaaan kerajaan pada masa itu). Laut Cina selatan telah terdapat pada gambar pulau-pulau pada Dinasti Han abad 260 sebelum masehi kemudian pada abad ke-12 sebelum masehi Dinasti Yuan memasukkan laut china selatan kedalam wilayah teritori China kemudian diperkuat pada Dinasti Ming dan Dinasti Qing yang didukung oleh bukti arkeologis China pada masa dinasti tersebut (Setyasih Harini). Selai  itu, China merujuk pada perjanjian perbatasan antara China dan Perancis tahun 1887 (ketika Vietnam menjadi protektorat Perancis) di mana Kepulauan Paracel dan Spratly diserahkan kepada China.

Bagi China  wilayah laut ini memiliki sumber daya alam yang melimpah menurut penelitian yang diadakan oleh The Committee For Coordination Of Joint Prospecting For Mineral Resources In Asian Offshore Areas, Economic Commission For Asia And The Far East, sejak tahun 1960-an telah menemukan potensi mineral terutama minyak dan gas menurut perkiraan china tingkat produksi minyak spratly mencapai 1,4-1,9 juta barel per hari. Selain kandungan minyak dan gas, laut cina selatan juga berpotensi besar akan variasi jenis ikan. Laut cina selatan juga merupakan jalur strategis untuk membangun kepentingan nasionalnya dan memperluas wilayah kedaulatan.

 Dari sejarah historis inilah sehingga China mengklaim wilayah Laut China Selatan tersebut. Sehingga pada tahun 1951 di Fransisco Peace Conference Perwakilan Menteri Luar Negeri China memberikan pernyataan ke publik mengenai pulau Spartly dan Paracel yang berada di wilayah laut cina selatan. Hal ini menimbulkan ketegangan terhadap beberapa negara yang berada di wilayah laut cina selatan seperti Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei.

Klaim Vietnam atas pulau-pulau Spratly juga berdasarkan perolehan Kaisar Gia Long tahun 1892 yang kemudian menggabungkannya dengan Vietnam pada tahun 1832. Kaisar Minh Mang yang memerintah Kerajaan Vietnam pada tahun 1834 juga telah mendirikan pagoda dan tanda batu di Pulau Spratly.

Filipina juga mulai memperhatikan pulau-pulau Spratly setelah mendapat kemerdekaan dari Amerika Serikat dan mengajukan tuntutan kepemilikan dalam sidang Majelis Umum PBB pada tahun 1946. Setelah merdeka, Menteri Luar Negeri Filipina mengeluarkan pernyataan bahwa the new Southern Islands (istilah Jepang untuk pulau-pulau di Laut China Selatan) diserahkan Jepang kepada Filipina. Filipina juga kemudian mendasarkan tuntutannya kepada doktrin kedekatan (proximity) dan kebutuhan yang mendesak bagi pertahanannya.

Tuntutan Malaysia baru dikemukakan pada tanggal 21 Desember 1979 pada waktu dipublikasikannya peta landas Kontinen Malaysia. Malaysia menganggap pulau-pulau yang berada di Landas Kontinen dan ZEE-nya, yaitu Terumbu Layanglayang (Swallow Reef), Matanani (Mariveles Reef), dan Ubi (Dallas Reef) sebagai wilayahnya. Malaysia juga menyatakan bahwa Inggris telah menguasai pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari Sabah dan Serawak pada abad ke-18

Meskipun sampai saat ini tidak menduduki satu pulau pun, seperti Malaysia, Brunei telah mengajukan tuntutan atas Louisa Reef sebagai wilayah yang berada di landas Kontinen dan Zee-nya. Brunei telah mengajukan protes terhadap peta yang dikeluarkan oleh Pemerintah Malaysia pada tahun 1979 yang memasukkan Louisa reef yang disebut Terumbu Semarang Barat ke dalam wilayah kedaulatan Malaysia.

Berdasarkan tuntutan-tuntutan diatas, para penuntut merasa lebih berhak menduduki atau memperluas pendudukan mereka atas pulau-pulau Spratly. Dalam usaha memperkuat tuntutan mereka, negara-negara pantai tersebut makin memperluas pendudukan atas pulau-pulau Spratly dengan tindakan yang lebih nyata, misalnya menempatkan pasukan, mendirikan bangunan-bangunan, atau menjadikan objek wisata di pulau-pulau yang telah dikuasai, terutama sejak dasawarsa 1970-an.

Aktivitas China yang membangun pangkalan militer di pulau buatan sekitar laut cina selatan serta patroli militer di sekitar perairan tersebut menciptakan ketegangan dengan negara tetangga di kawasan laut cina selatan. Aktivitas ini pun membuat khawatir Amerika Serikat sehingga mengalihkan perhatianya ke wilayah Asia-Pasifik untuk menghadapi aktivitas dan kebangkitan China. Melihat hal ini, tentu respon organisasi internasional seperti PBB sebagai lembaga internasional tertinggi di dunia ditunggu oleh semua pihak untuk hadir dan aktif berkontribusi sebagai penengah akan ketegangan yang terjadi. Namun hingga saat ini PBB cenderung tidak berdaya menghadapi isu-isu yang ada di kawasan Laut Cina Selatan khususnya yang menyangkut China maupun Amerika Serikat yang merupakan dua kekuatan utama ekonomi dan militer di dunia saat ini sekaligus anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

Perlu dipahami konteks dasar dari pentingnya Laut Cina Selatan bagi Indonesia, Malaysia, Vietnam, Brunei, dan Filipina bahwa sejak berabad-abad yang lalu wilayah maritim ini telah menjadi sumber ekonomi yang esensial baik dari perikanan maupun gas dan mineral yang terdapat di wilayah ini. Selain kaya akan sumber daya Laut Cinas Selatan juga menjadi jalur perdagangan perdagangan yang signifikan bagi sistem perdagangan internasional khususnya bagi negara tersebut, sepertiga lalu lintas maritim global terjadi di wilayah maritim ini. Produktivitas yang tinggi dan kekayaan sumber daya yang melimpah membuat stabilitas dan keamanan di Laut Cinas Selatan salah satu prioritas kepentingan politik keamanan yang utama bagi Indonesia, Malaysia, Vietnam, Brunei, dan Filipina selama bertahun-tahun. Dengan adanya desakan dari eksternal regional Asia Tenggara yang terus berusaha untuk mengklaim wilayah maritim ini dapat menjadi dorongan munculnya kesadaran untuk membangun dan mempertahankan kekuatan serta stabilitas regional ASEAN untuk bersama-sama mempertahankan kedaulatan di Laut Cinas Selatan.( Michelle Nagakanya)

Letak Natuna dan Laut Cina Selatan yang berdekatan secara geografis meningkatkan keterlibatan Indonesia dalam isu ini. Bagi Indonesia, secara geopolitik konflik ini menjadi penting karena posisi Natuna yang strategis sebagai bagian integral dari Indonesia.Konflik ini pada dasarnya terjadi diakibatkan sikap sepihak China dimana ia beranggapan bahwa wilayah perairan Natuna merupakan wilayah miliknya berdasarkan sejarah yang dimiliki dengan mengajukan klaim "Nine Dash Line" yang sudah dijelaskan diatas terhadap Sekretaris Jenderal PBB. Namun klaim akan teritori tersebut bertumpang tindih dengan wilayah ZEE Indonesia di perairan Natuna dimana Indonesia bertindak dengan mengirimkan note verbale kepada Sekretaris Jenderal PBB. 

Walaupun demikian, China Tiongkok mengabaikan hal tersebut terbukti dengan adanya insiden-insiden mengenai kapal nelayan dan patroli milik China yang memasuki wilayah perairan Indonesia. Masuknya kapal Tiongkok di perairan Indonesia harus menjadi perhatian khusus karena sudah mengancam kepentingan Indonesia. Kurangnya sistem pertahanan militer yang dimiliki membuat Indonesia berada dalam posisi yang rugi. 

Untuk saat ini sebenarnya Indonesia sendiri memang sudah memiliki program pertahanan yaitu Kekuatan Pokok Minimum atau Minimum Essential Force (MEF) yang dibentuk untuk mengembangkan dan modernisasi kekuatan pertahanan, tetapi hal ini masih menghadapi tantangan dengan belum tercapainya target Indonesia untuk memenuhi MEF. Hal tersebut menjadi salah satu titik kelemahan Indonesia dalam mencapai pertahanan yang efektif. Tidak hanya itu, adanya konflik mengenai batas maritim di Laut China Selatan menyebabkan munculnya potensi ancaman terhadap keamanan maritim di Asia Tenggara.  keterlibatan negara-negara yang terkait dengan konflik Laut Cina Selatan tidak dapat dihindari apabila dilihat dari pendekatan geopolitik. 

Maka dari itu, kehadiran Indonesia dalam konflik Laut Cina Selatan untuk turut serta menjaga keamanan maritim sudah tidak dapat dipungkiri lagi, ditambah dengan posisinya sebagai pemimpin de facto ASEAN. Keterlibatan Indonesia pada awalnya untuk menyelesaikan konflik ini secara damai. Hal ini dikarenakan Indonesia ingin mewujudkan negaranya sebagai poros maritim dunia dengan mengedepankan kedaulatan maritim. (Michelle Nagakanya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun