Mbok Rondo dengan cekatan menyeduh kopi hitam berbau nikmat dibalik meja kecil di warungnya. Ia baru melapis meja itu dengan sepanduk peringatan pembayaran SPP pemberian anaknya yang kuliah dikota. Kopi hitam itu spesial, bukan karena baru dibawa dari Flores, tetapi akan menjadi teman bagi rokok terakhir suaminya.
Suami Mbok Rondo adalah perokok berat, mulai dari kelobot hingga rokok modern dengan berbagai kemasan sudah ia coba. Baginya rokok adalah cinta. Cinta sematawayang yang takan tergantikan. Ia pernah berpesan, jika nanti ia mati cukup berikan dia sebungkus rokok dan korek api sebagai bekal.
Korek apinya bukanlah pemantik gas kerena ia membutuhkan waktu yang lama untuk habis. Jangan juga korek api dari kayu berbungkus kertas, karena ia tidak mau mati sebagai tersangka penebang hutan yang berakibat banjir dikuburnya. Tetapi, cukup diberi rotan dan jerami kering untuk dijadikannya api.
Mereka tidak pernah membaca Filosofi kopi milik Dee Lestari, apalagi menonton filmnya. Kalau pun mereka nonton, akan menimbulkan kerusuhan. Bukan karena mereka gagal paham, tetapi karena Dee Lestari belum menunjukan dengan pas tentang makna dibalik secangkir bahkan dibalik biji kopi sekali pun.
"Apa benar, engkau hendak berhenti merokok?" Tanya Mbok Rondo sangsi akan keputusan suaminya. "Apa karena gambar menyeramkan itu?" tanyanya lagi.
Suaminya melotot, lalu berpaling kepada secangkir kopi dihadapannya: "Bukan, bukan itu. Aku hanya mengatakan ini rokok terakhirku".
Mbok Rondo memang salah satu orang yang setiap saat mengeluhkan suaminya merokok. Selain karena dianggap merusak kesehatan dan mengganggu ekonomi keluarga, ia juga kesal karena membutukan waktu yang lama mencuci payudaranya saat mandi. Ada bercak kuning disana.
Entah mengapa, ia sangsi akan keputusan suaminya. Ia ingat dahulu mengenal cinta berawal dari sebatang rokok. Meski itu bukan suaminya tetapi ia akan selalu menyimpannya dalam jiwa, seperti lagu Isyana Saraswati yang terkenal itu.
Pada waktu itu, ketika hendak mengunjungi Bibinya di Surabaya, ia naik bis dari Banyuwangi. Disampingnya duduk seorang mahasiswa asal Flores yang baru pulang kampung. Mereka diam mematung, masing-masing mempertahankan egonya. Laki-laki bingung harus dimulai dari mana dan si perempuan mempertahankan martabatnya sebagai perempuan dihadapan penumpang yang penuh sesak itu.
Diambilnya sebatang rokok dan dibakarnya tiba-tiba si Perempuan berkomentar, "Mas rokoknya kebalik". Dari situlah suasana mencari, bak air sungai dari lereng gunung. Mereka bercakap agak lama. Lelaki itu menceritakan daerahnya mulai dari buaya darat hingga Kopi Hitam khas daerah Manggarai yang nikmatnya melebihi Cokelat Belgia membuat si perempuan berhasrat untuk suatu saat nanti mengunjungi daerah itu, daerah yang tidak terlalu nampak di Peta tanah air Indonesia.
Sejak saat itulah ia selalu menantikan pertemuan kedua dengan laki-laki itu. Setiap kali mendengar kata Flores, ia akan tersenyum dan hatinya berdebar-debar. Tetapi, tampaknya ia hanya akan menjadi seorang perempuan gurun seperti yang diceritakan Paulo Choelo dalam novel The Alchemistnya, "Melepas kekasihnya dan memandang gurun ssetiap waktu denga penuh harapan bahwa ia akan kembali".
Sekarang kenangan itu hanya masa lalu. Bagi suaminya masa lalu itu seperti asa rokok, dihisap, dihembuskan lalu terbang bersama angin. Meski nikotinnya melekat di paru-paru, siapa yang peduli? Dokter pun hanya bisa menakut-nakuti tanpa bisa mengobati.
"Ini memang rokok terakhirku. Bukannya engkau senang karena tidak perlu lagi berlama-lama dikamar mandi membersihkan payu daramu?" Tanya suaminya sambil mengoleskan remah-remah kopi Flores pada rokoknya.
Tanpa ia sadari, rokoknya adalah kisah cintanya, yang hanya bisa merasakan remah-remah cinta Mbok Rondo terhadap lelaki Flores pujaan hatinya itu. Rokok itu adalah takdir Tuhan, baginya jodoh tidak akan kemana.
"Lalu apa alasanmu brhenti merokok?" Tanya Mbok Rondo Memaksa.
"Aku tidak berhenti merokok. Aku hany mengatakan ini rokok terakhirku. Pantas engkau dianggap bodoh sama teman-temanmu dahulu, engkau tidak peka, engkau tidak menyayangi perjuangan nenek moyangmu melawan kompeni. Rondo, aku terlalu mencintai rokok dari pada kau. Bukannya aku bosan menciummu, menjamahmu hingga meninggalkan bau rokok di payudara bahkan kemaluanmu. Tetapi, inilah semangat nasionalismeku. Mungkin istilah itu terlalu tinggi, tetapi engkau harus paham, cintaku padamu seperti aku mencintai tanah airku." Jawab suaminya tanpa ekspresi.
Mbok Rondo memang seperti perempuan gurun yang tegar melepas kekasihnya yang nanti akan kembali atau bahkan tidak sama sekali, tetapi ia juga perempuan, ia menangis.
Semakin besar kasih sayangnya kepada sang suami. Dipeluknya dengan erat. Mereka tidak peduli lagi bagaiman bulan menyaksikan mereka, bagaimana bintang-binta mencoba menutup mata menahan rasa malu menyaksikan kekuatan cinta sepasang sejoli itu, ia pun berbisik:
"Tetaplah merokok, aku tidak peduli berapa lama aku harus membersihan payudaraku dari bercak kuning rokokmu, karena aku percaya bahwa setiap batang rokok yang engkau hisap adalah setiap benang yang engkau rajut melindungi cintaku, cinta tanah airmu."
Diseruputnya kopi Flores yang nikmat itu, tidak ia biarkan sedikit pun tembakau melekat dalam puntung rokoknya. Ia tidak sabar mencumbui cintanya dan sesegera mungkin meninggalkan bau rokok dibukit kembar dadanya, atau mungkin juga lembah nista diantara bukit curam dilereng perut itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H