Mohon tunggu...
Andi Andur
Andi Andur Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang pemimpi yang berharap agar tidak pernah terbangun dari tidur...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rokok Terakhir

6 Juli 2016   23:22 Diperbarui: 6 Juli 2016   23:34 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekarang kenangan itu hanya masa lalu. Bagi suaminya masa lalu itu seperti asa rokok, dihisap, dihembuskan lalu terbang bersama angin. Meski nikotinnya melekat di paru-paru, siapa yang peduli? Dokter pun hanya bisa menakut-nakuti tanpa bisa mengobati.

"Ini memang rokok terakhirku. Bukannya engkau senang karena tidak perlu lagi berlama-lama dikamar mandi membersihkan payu daramu?" Tanya suaminya sambil mengoleskan remah-remah kopi Flores pada rokoknya.

Tanpa ia sadari, rokoknya adalah kisah cintanya, yang hanya bisa merasakan remah-remah cinta Mbok Rondo terhadap lelaki Flores pujaan hatinya itu. Rokok itu adalah takdir Tuhan, baginya jodoh tidak akan kemana.

"Lalu apa alasanmu brhenti merokok?" Tanya Mbok Rondo Memaksa.

"Aku tidak berhenti merokok. Aku hany mengatakan ini rokok terakhirku. Pantas engkau dianggap bodoh sama teman-temanmu dahulu, engkau tidak peka, engkau tidak menyayangi perjuangan nenek moyangmu melawan kompeni. Rondo, aku terlalu mencintai rokok dari pada kau. Bukannya aku bosan menciummu, menjamahmu hingga meninggalkan bau rokok di payudara bahkan kemaluanmu. Tetapi, inilah semangat nasionalismeku. Mungkin istilah itu terlalu tinggi, tetapi engkau harus paham, cintaku padamu seperti aku mencintai tanah airku." Jawab suaminya tanpa ekspresi.

Mbok Rondo memang seperti perempuan gurun yang tegar melepas kekasihnya yang nanti akan kembali atau bahkan tidak sama sekali, tetapi ia juga perempuan, ia menangis.

Semakin besar kasih sayangnya kepada sang suami. Dipeluknya dengan erat. Mereka tidak peduli lagi bagaiman bulan menyaksikan mereka, bagaimana bintang-binta mencoba menutup mata menahan rasa malu menyaksikan kekuatan cinta sepasang sejoli itu, ia pun berbisik:

"Tetaplah merokok, aku tidak peduli berapa lama aku harus membersihan payudaraku dari bercak kuning rokokmu, karena aku percaya bahwa setiap batang rokok yang engkau hisap adalah setiap benang yang engkau rajut melindungi cintaku, cinta tanah airmu."

Diseruputnya kopi Flores yang nikmat itu, tidak ia biarkan sedikit pun tembakau melekat dalam puntung rokoknya. Ia tidak sabar mencumbui cintanya dan sesegera mungkin meninggalkan bau rokok dibukit kembar dadanya, atau mungkin juga lembah nista diantara bukit curam dilereng perut itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun