Golkar sebuah partai besar yang tengah tenggelam dalam euphoria masa lalu. Mantan partai adi kuasa era orde baru ini tengah berjalan pincang dibawah bendera demokrasi. Partai berlambang pohon beringin ini seolah ditinggal menyisahkan sarang kecil bersemut oleh burung pipit sekali pun. Ia tampak seperti sebuah pohon besar ditengah kampung yang menyeramkan karena ditunggui makhluk pemangsa manusia seperti kebanyakan cerita yang saya dengar di Kampung halaman saya Manggarai, Flores.
Apakah Partai Golkar separah itu?
Jawabannya relative. Tetapi menarik disimak bahwa perjalanan partai ini cenderung mengarah kepada akronim tersebut. Setelah mengalami masalah dualisme kepemimpinan dalam internalnya beberapa waktu lalu, Golkar kembali menggemparkan panggung politik nasional pasca Musyawarah Nasional Luar Biasanya di Nusa Dua, Bali beberapa hari lalu (15/5/2016).
Setelah beredar video amatir seorang Setya Novanto yang mengantuk pada upacara tersebut tepatnya waktu mengheningkan cipta (Mnegenang jasa para pahlawan) di beberapa media sosial, muncul sebuah peristiwa kontroversial lain dimana Ade Komarudin mengundurkan diri dari pencalonan Ketua Umum Partai Golkar yang secara otomatis mengantar Setya Novanto tokoh kontroversial itu menjabat posisi tertinggi Golkar selama beberapa tahun kedepan.
Meski beralasan menjaga perdamaian dan mencegah perpecahan dalam tubuh Golkar yang dinilainya sudah cukup matang berpolitik, keputusan Komarudin tetap mengundang tanda Tanya besar bagi para pengamat politik dan masyarakat. Di satu sisi, Komarudin dianggap sebagai pahlawan dan dinilai bijaksana dalam mengambil keputusan karena dianggap menjaga ketertiban Munaslub tanpa keributan dan perpecahan (Mungkin konflik demokrasi menjadi alasan utama pendapat ini). Di sisi lain, Komarudin dianggap sebagai musuh dalam selimut yang secara diam-diam menghancurkan masa depan Partai Golkar.
Hal ini sangat masuk akal mengingat ketua terpilih Partai Golkar saat ini masih berstatus tanda Tanya dalam karier politiknya. Ia adalah tokoh Touchable atau jauh dari tuntutan akan kasus-kasus yang melibatkannya, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa sewaktu-waktu bisa menyeretnya ke pengadilan bahkan dipenjarakan. Apakah bentuk ketakutan ini benar? Hanya Komarudin dan kroninya yang tahu.
Soeharto menjadi pahlawan nasional?
Peristiwa kontroversial lain yang juga muncul selama Munaslub Partai Golkar adalah munculnya ide pengusulan Soeharto, mantan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar yang pernah mendapat penghargaan Abdi Luhur menjadi Pahlawan Nasional. Seperti apa yang disampaikan ketua demisioner Partai Golkar dalam siding Paripurna Munaslub, Aburizal Bakrie bahwa mantan Presiden kedua RI tersebut akan diusulkan kembali untuk menjadi salah satu Pahlawan Nasional pada siding komisi.
Hal ini mengundang beberapa peneliti angkat bicara. Dari Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) misalnya menilai bahwa Golkar terlalu dini mengusulkan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional. Siti Zuhro membagi hambatan yang dialami Golkar menjadi dua. Menurutnya sebelum mengusulkan hal tersebut setidaknya Golkar memperbaiki dua hal dalam kepengurusan internalnya.
Pertama, Golkar harus focus membangun soliditas kepengurusan barunya dan membangun kepercayaan public. Kedua, Golkar perlu membangun mekanisme solusi konflik dan silang pendapat diantara para elitenya (Kompas.com Rabu, 18/5/2016).
Kedua hal tersebut masih menjadi bagian dari konflik internal partai Golkar yang tampaknya tak berujung dengan batas waktu yang tidak bisa ditentukan kapan berakhir. Tantangan paling berat adalah membangun citra di hadapan masyarakat, terpilihnya Setya Novanto dengan beberapa kasus besar yang masih membuntutinya menjadi hal yang mandasar penyebab betapa berat pekerjaan rumah Partai Golkar sekarang ini.
Selain tanggapan peneliti LIPI lainnya, Asvi Warman Adam seperti dikutip Kompas.com pada selasa (17/5/2016) juga sangat masuk akal meski Fadli Zon, Wakil Katua DPR RI Â bersikeras mendukung pengusulan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional.
Menurut Asvi, Golkar bisa saja megusulkan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional, tetapi yang menjadi persoalan adalah tanggapan masyarakat yang tampaknya Fifty-fifty antara mendukung dan menolak usulan tersebut. Masyarakat yang mendukung menganggap bahwa Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Nasional. Tetapi disisi lain Soeherto adalah perusak sepanjang sejarah Orde Baru terkait kasus pelanggaran HAM berat.
Sehingga solusi yang ditawarkan pun beragam tetapi hal yang paling penting adalah bagaimana kita harus lebih bijaksana dalam melihat kepentingan dibalik usulan petinggi Partai Golkar tersebut.
Kepentingannya adalah meredam dan menyelamatkan orang-orang yang tersangkut dalam pengusutan kasus-kasus pelanggarab HAM berat dan korupsi Yayasan Supersemar. Jika hal ini benar maka yang terjadi selanjutnya adalah menaruh harapan kepada siapa pun yang bertanggung jawab akan hal ini harus lebih bijaksana dan behati-hati mengambil keputusan. Sekali terlena maka sejarah kelam bangsa ini tidak akan pernah hilang dan terutama tidak dapat diperbaiki untuk kemudian diketahui anak cucu Bangsa Indonesia kedepan.
Pada akhirnya pertanyaan akan syarat-syarat menjadi seorang pahlawan Nasional pun secara tidak langsung meluncur begitu saja dari mulut siapa pun yang benar-benar bingung atas sandiwara yang disajikan dipanggung politik nasional kita.
Menurut Fadli Zon seperti dilansir Kompas.com pada Selasa (17/5/2016) secara terang-terangan memyatakan setuju jika Soeharto menjadi Pahlawan Nasional menurutnya seorang dikatakan menjadi pahlawan jika yang bersangkutan memiliki kontribusi dalam perjuangan bangsa dalam merebut atau mempertahankan kemerdekaan.
Soeharto dinilai pantas karena berhasil menumpas komunisme pada 1965 dan menjadi eksekutor serangan umum pada 1 Maret 1949 yang membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia ada.
Apakah itu cukup? Hanya anda yang paham sejarah yang tahu jawabannya.
Surabaya, 18 Mei 2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI