[caption caption="FPIT Membahas tentang peran gereja dan misionarisnya dalam menjaga perdamaian tanah Papua. Foto Dokumen Pribadi"][/caption]Forum Pemuda Indonesia Timur (FPIT) adalah sebuah kelompok diskusi yang bertujuan untuk menjaring aspirasi orang-orang muda Indonesia Timur. Kondisi politik, ekonomi pembangunan, pendidkan, sosial dan budaya serta pemberdayaan yang kurang maksimal di Indonesia Timur secara umum menjadi latar belakang mengapa kelompok diskusi ini terbentuk. Dengan melibatkan orang muda dan pancasila sebagai pedoman ideology FPIT mengangkat isu-isu global yang sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat Indonesia dan dunia namun kadang terlupakan karena dumpul tanpa solusi yang bisa menjawab sekian persoalan yang terjadi.
Diskusi perdana FPIT mengangkat tentang bagaiamana gereja dalam perjalanan misinya senantiasa mendampingi masyarakat pribumi Papua yang acapkali menjadi korban proxy orang-orang dengan kepentingannya masing-masing.
Dsikusi yang dihadiri bapak Pondius Wonda, S.Th tampak sangat hidup ketika beliau menceritakan kronologi sejarah awal perjalanan misi hingga sekarang ini. Beliau dalam penjelasannya menekankan tentang pentingnya melihat pengalaman masa lampau dimana meski pada waktu itu keadaan tanah misi masih gelap ketimbang kondisi Jayapura yang pada waktu itu sudah diduduki oleh Belanda dan Jepang keadaan damai tetap terjaga dalam kehidupan masyarakat pribumi Papua.
“Kita harus segera membenah diri, dan melihat sejarah masa lampau menjadi patokan kehidupan kita sekarang ini. Nenek moyang kita memiliki sebuah tradisi anak perdamaian dimana pada waktu itu suku Sawi di Marauke menukarkan bayi mereka yang masih enam bulan sebagai bentuk perdamaian yang semestinya kita jaga hungga saat ini” Jelas beliau kapada rekan FPIT.
Salah seorang peserta diskusi, Weminus Kogoya menanggapi penjelasan beliau dengan memberikan sebuah keterangan yang luar biasa terkait pengalamannya sebagai putra Papua. Kondisi dan suasana peperangan sejak sebelum mereka lahir menjadi sesuatu yang tidak terlepaskan dari dalam diri mereka. Trauma yang panjang, kemiskinan, kesenjangan sosial dan berbagai masalah-masalah lainnya menyertai kehidupan mereka. Tetapi, semuanya tidak terlalu berarti ketika para misionaris, hamba Tuhan selalu mendampingi mereka untuk berdoa dan tidak kehilangan harapan akan lahirnya sebuah perdamaian.
“kami memang terlahir di tanah yang tidak pernah damai, peperangan selalu menghiasi masa kanak-kanak kami. Rumah dibakar, lari keluar masuk hutan, lepas sekolah sudah menjadi ritual biasa yang menghiasi hari-hari kami. Meski sudah menjadi makanan sehari-shari dan sudah mendarah daging kami lantas putus asa dan mulai bosa dengan keadaan yang ada” Jelas Weminus.
“Kami sangat bersyukur karena meski berada dalam keadaan yang tertekan hamba tuhan (para misionaris) senantiasa mendampingi dan tetap melayani kebutuhan rohani kami sehingga kondisi tidak terlalu kacau dan harapan akan perdamaian tetap ada dalam diri kami sebagai anak bumi papua. Yang sekarang berada disini untuk sekolah dan belajar lebih baik karena bagi mereka kami adalah orang-orang yang tidak pernah berpengetahuan.”
Mengenai hal tidak berpengetahuan ini menurut Weminus terbukti ketika sejarah awal Perjalanan Papua Barat tidak melibatkan Papua sebagai salah satu pihak yang berdiskusi, apakah Papua Barat menjadi negara bagian Belanda atau Indonesia. Sehingga secara sepihak Indonesia dengan bantuan Amerika Serikat sepakat bahwa Papua Barat menjadi bagian dari negara Indonesia.
“Semuanya sangat jelas tidak adil, kami yang menjadi korban tetapi kami tidak pernah dilibatkan pada setiap kesempatan berdiskusi mengenai nasib kami hingga sekarang ini” Tegas Weminus.
Banyak hal-hal lain yang dibahas dan didiskusikan dalam pertemuan perdana FPIT ini, termasuk kondisi terkini Papua, kebiasaan hidup, adat istiadat, kepercayaan, SDA Papua dan banyak hal-hal lain yang akan dibahas pada kesempatan berikutnya.
Satu hal yang membuat segala sesuatunya menjadi semakin menarik adalah ketika sebuah diskusi mencapai sebuah titik akhir berupa sebuah kesimpulan, harapan dan aksi nyata yang akan dilakukan kedepan. Pondius Wonerega menjelaskan sebuah konsep nyata dimana sebagai seorang penggembala ia secara pribadi dangan beberapa teman-temannya tengah melakukan sebuah pekerjaan besar, dimana mereka bekerja dari bawah, dari dasar sebuah perhimpunan yang adalah fondasi utama kehidupan masyarakat pribumi Papua yaitu Gereja.
“Sekarang ini, selepas saya dari Jayapura beberapa hari lalu kami tengah menyusun sejarah perjalanan Misi Gereja di Tanah Papua, kami mencoba merombak dari bawah, dari hal-hal kecil seperti kelompok belajar, sekolah minggu dll. Niscaya dengan menguatnya pendampingan beberpa hal ini kita akan mencapai sebuah tujuan sesuai dengan harapan kita selama ini”. Jelasnya.
Dari diskusi ini kami menyimpulkan bahwa, Gereja memiliki peran penting dalam menjaga perdamaian tanah Papua. Adat istiadat dan ajaran nenek moyang selalu mengajarkan hal-hal yang baik untuk tetap diteladani, segala sesuatu yang telah diajarkan akan mati ketika tidak ada regenerasi tentang adat dan budaya yang sudah mendarah daging dalam diri kita. Pesan yang ingin disampaikan kepada kita semua terutama pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang adalah agar stop kekerasan ditanah Papua, jangan adalagi militerisasi yang membuat kami merasa terus terjajah dinegara kami sendiri.
Lahirnya OPM seharusnya menjadi bahan refleksi, apa gerangan latar belakang kami ingin bebas dan menentukan nasib kami sendiri. Karena kami sudah lelah dan bosan menjadi bola yang ditendang kemana saja semau perut kalian, hanya untuk mencetak gold dan mencatat nama kalian dipapan yang bernama korupsi.
Salam Forum Pemuda Indonesia Timur (FPIT) Surabaya, kami selalu berharap akan lahirnya orang-orang muda seperti anda, cerdas, kritis dan mencintai tanah air.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H