Mohon tunggu...
Andi Andur
Andi Andur Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang pemimpi yang berharap agar tidak pernah terbangun dari tidur...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ku Kejar Cintamu ke Sidoarjo

2 Oktober 2015   20:14 Diperbarui: 8 Januari 2016   16:16 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

Badanku meleleh, bibirku pecah-pecah, tenggorokanku kering, mulutku kehabisan akal mensuplai air ludah untuk menbantu tenggorokanku tetap lembab. Aku menatap kakakku dengan muka hambar, ia tidak mengerti.  Di a tetap asyik meladeni anak-anak nakal itu bermain. Aku menatap keatas, mataku tak enggan bertahan lebih lama menikmati pemandangan asing disalah satu sudut rusunawa Jemundo itu. “ mereka pengungsi dari Afganistan, sebagian Afrika juga India”. Terdengar suara merdu menjawab isi hatiku dari arah belakang. Aku menoleh, dia hanya tersenyum dan kembali bermain dengan bocah-bocah nakal yang menghabiskan masa kecil mereka di sebuah tempat pengungsian kompleks rusun yang sepi dan dan terkean jauh dari keramaian. Pagar-pagar tinggi membuat mereka enggan bertaruh untuk sekedar bermain barang sebentar di luar lokasi pengungsian itu.

Aku bersusah payah menahan kegerahan yang semakin menyengsarakan seluruh tubuhku. Keringat menguncur deras bagai banjir bulan januari di belakang punggungku. Tetapi aku tenang, aku tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Kini, mataku kembali fokus pada layar kamera saku mini yang selalu aku bawa kemana pun aku pergi. Tampak wajah-wajah sumringah anak-anak nakal itu tersenyum bahagia pada lensa kamera yang ku pegang. Berbagai ekspresi mereka tunjukan sebagai bentuk gambaran isi hati mereka ketika kami bersama-sam dengan mereka. Mereka polos dan jarang dipoles. Mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk berselfie ria seperti yang dilakukan kebanyakan anak-anak seumuran mereka. Entah sengaja atau tidak mereka jadi terhindar dari kehidupan yang berhura-hura mengandalkan kekayaan orang tua mereka. Mereka pu terhindar dari jangkauan anak-anak berjilbab,mengaku soleha, dan rajin mengaji yang ternyata hanya sebatas mimpi belaka untuk menutupi aib yang telah menggerogoti merek sejak lama. Sudahlah, aku bosan membahas masalah-masalah yang tidak terlalu penting seperti itu.

                                                                                              ***

“Aku tahu ini berat Sri. Tetapi, aku hanya menjalankan misi kemanusiaan untuk sesamaku”.

“Iya, aku tahu itu. Aku mengerti dan aku pun ingin mengikuti langkahmu. Tetapi...”

“Tapi apa Sri? Adakah yang menjanggal dengan tugas yang sedang ku emban saat ini?”

“Bukan itu maksudku. Tetapi, satu hal yang harus kamu ingat. Aku sangat mencintaimu”.

“Terima kasih Sri, aku juga mencintaimu.”  Aku memeluknya erat, tampak ia membalas pelukanku begitu hangat. Tetapi, mengapa ia menangis? Sebegitu besarnyakah ia mencintaiku? Atau, ini hanya sandiwara agar aku tidak berpartisipasi dalam membagi ilmuku kepada anak-anak yang tertindas dan terkekang dibawah pengaruh aliran yang mengaku paling benar itu?  Tetapi, aku tetap berpikir positif dan membiarkan ia tenang lalu mengajaknya untuk menceritakan segala kegundahan hatinya kepadaku. “Ada apa Sri? Mengapa engkau menangis?” tanyaku lembut sambil menghapus air mata dipipinya. Dia menatapku tajam. Seolah ia memaksaku untuk membaca pesan tersirat dalam mata indah dibalik kaca mata hitamnya itu. Tetapi aku tidak mengerti. Aku hanya tahu bahwa ia tampak begitu anggun dan menawan ketika dia menangis. Sisa-sisa air matanya memantulakan berkas-berkas cahaya berkilau bak permata. “ Aku mencintaimu dan aku takut kehilanganmu”. Jawabnya singkat sambari kembali ia memelukku erat. “Baiklah Sri, aku menyerah. Tetapi, bisakah engkau memberiku kesempatan untuk mencobanya sekali ini saja?” .  Ia menatapku, tampak bibirnya tersenyum dan berbisik “ aku akan menggantung salibmu di tasbihku”.  Lalu, didekapnya kedua tanganku begitu erat dan berkata, “ tiada pernah aku menemukan lelaki sehebat dirimu selama hidupku, selain ayahku”. Ia memejamkan matanya dan melantunkan ayat-ayat Alquran mendoakanku. Aku teringat akan kata-katanya ketika pertama kali kami bertemu, aku berbisik “ Tidakkah engkau memberikan sebuah Hadis untuk menyemangatiku?” . ia mengangkat alis matanya,dan aku menganggukan kepala. Ia tersenyum tersipu lalu berbisik “ Man jadda wa jadda”. Aku berpura-pura tidak tahu lalu ia mengguruiku, “ oalaa...rek,rek. Menjadi Guru itu harus lebih banyak tahu lho.” Aku hanya tersenyum dan menatap lekat bibir merah ranum yang selalu menyuguhkan sebuah senyuman yang indah dan yang telah menjatuhkan aku untuk mengakui bahwa itulah senyuman terindah yang pernah aku lihat. “lakukanlah apa yang hendak kamu lakukan, selama engkau berusaha. Insyalllah, pasti selalu ada jalan”. Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. Ia mengecup keningku, dari bibirnya aku mendengar ia berkata kepada angin, “ jangan tinggalkan aku, aku mencintaimu”.

                                                                                                ***

Aku merasa semakin tersiksa, mereka mengacak-acak rambutku, bahuku ditarik sebagai tempat mereka menggantung  mencari kesenangan sendiri. Tetapi, meski demikian semuanya justru tidak memberatkanku, aku malah semakin akrab dan merasa bahwa aku adalah kebahagiaan mereka dan mereka adalah kebahagiaanku. Meskipun mereka tampak seperti pemberontak-pemberontak kecil yang ingin bebas dari segala macam penindasan ini, tetapi aku bangga ketika dengan lantang sambari membusung dada mereka memperkenalkan diri kepadaku.

Mereka menjadi kaum tertindas yang mengekang sehingga pertanyaan mengenai eksistensi PANCASILA mencuat ke permukaan. Negara yang menjunjung tinggi akan adanya keanekaragaman , suku, ras, agama, dan golongan tiba-tiba tampak seperti pecundang yang dikalahkan oleh kata-kata dan semboyannya sendiri, “ BHINEKA TUNGGAL IKA”.  Aku termenung, aku meratapi nasibku sendiri. Ternyata aku adalah salah satu dari sekian banyak manusia di dunia ini yang sangat beruntung hidup dalam kedaimaian dan jauh dari segala bentuk diskriminasi diri oleh orang lain yang menganggap diri paling benar.

Air mataku menetes, ia bagai stetes embun yang jatuh di padang gurun. Meninggal bekas yang membuat kertas dalam notesku tampak lebih transparan. Air bukan lagi menjadi objek pencarianku saat aku haus seperti ini, aku justru ingin merasakan apa yang mereka rasakan saat ini.

“Ayo kita makan, aku sengaja membawa bekal untukmu”. Aku kaget dan tercengang mendengar suara itu. Aku berbalik tanpa sempat menghapus air mata yang masih melekat erat di wajahku bercampur debu. “ Sri, benarkah itu kau?” tanyaku sambil mengamati wajahnya. Ia tersenyum, aku mengenali senyumannya yang menjadi kebanggaanku. Tanpa sungkan aku berdiri dan mencoba untuk meraihnya, tetapi ia memberhentikan langkahku dan menoleh kepada sosok laki-laki paruh baya yang penuh wibawa disampingnya.  Aku menyalminya, dan ia tersenyum.

“Ini bapak, beliau yang mengantarkanku kemari”. Aku melihatnya sekali lagi. “ tetapi, mengapa Sri, bukankah ini terlalu berbahaya katamu?”  dia hanya tersenyum dan berkata, “ ternyata aku salah. Aku tidak memahami perktaan nabi dengan hati. Tetapi dengan pikiran najis yang membelokkan pikiranku”.  Aku bingung dengan jawabannya.  “ aku ke Sidoarjo untuk menemuimu, dan mengejar cintaku”.

“ tapi Sri, aku tidak mengerti”.

“ Sudahlah, nimati saja makan siangmu, aku ingin membagi cintaku yang tulus ini juga kepada mereka”. Aku tersenyum terpaku, tampak ia dengan lihai menjinakkan hati anak-anak nakal itu dengan senyuman manisnya yang sudah menjadi kebanggaanku.

Dalam hati aku berkata, aku beruntung telah memilikimu, walau sebatas mimpi dan angan-angan. Tetapi, aku berjanji sampai kapan pun aku akan tetap berusaha untuk bisa memilikimu secara utuh bukan hanya senyummu, hingga aku terukir indah dalam relief terdalam dalam hatimu.

 

 

 

Surabaya, 13 September 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun