Mohon tunggu...
Andi Alfian
Andi Alfian Mohon Tunggu... Penulis - Sekolah Anak Muda

Direktur Eksekutif Sekolah Anak Muda

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kapitalisasi Ruang Publik di Makassar

10 Agustus 2024   09:00 Diperbarui: 10 Agustus 2024   09:06 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Khairul Akbar on Unsplash

Beberapa bulan lalu, saya mendapat undangan dari seorang kawan di Makassar untuk menjadi salah satu pembicara di festival literasi yang dia bersama teman-temannya inisiasi. Kegiatan yang bertajuk "Education for All" itu dilaksanakan di salah satu kafe di Kecamatan Panakukang, Kota Makassar. Saya selalu riang saat dapat kabar tentang pelaksanaan kegiatan semacam itu, khususnya dari teman-teman di Kota Daeng, kota yang belakangan ini semakin moncer dengan gairah literasinya.

Sayangnya, ketika menerima tawaran itu, saya lebih antusias menolak daripada menerima, terutama ketika mengetahui bahwa acara tersebut diadakan di sebuah kafe berbayar. Ketika saya bertanya, apakah peserta kegiatan wajib memesan minuman/makanan ketika ingin mengikuti diskusi, kawan saya menjelaskan bahwa "sebaiknya mereka membeli menu yang telah tersedia di kafe itu."

Alasannya, kata kawan saya, biaya pelaksanaan kegiatan itu sebagiannya disubsidi oleh pemilik kafe tempat kegiatan tersebut dilaksanakan---pemilik kafe menanggung biaya konsumsi pembicara dan seterusnya. Sehingga, dengan mekanisme semacam itu, diskusi itu dapat terlaksana, dan, lanjut kawan saya, kafe bisa mendapat pemasukan lebih banyak dari kegiatan itu, sehingga, setelahnya, kegiatan serupa dapat dilaksanakan kembali. "Agar kegiatannya berkelanjutan," tutup kawan saya.

Saya tidak tahu sejak kapan persisnya ruang publik di Makassar susut ke kafe-kafe, barangkali perlu penelitian mendalam soal ini, yang saya tahu persis, berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya selama tujuh tahun belakangan tinggal di kota ini, adalah diskusi-diskusi mahasiswa yang dulunya banyak dilakukan di bawah pohon-pohon di kampus bergeser ke kursi-kursi kafe.

Setidaknya, pengalaman itu saya alami ketika kembali ke Makassar tahun lalu: saya diminta oleh adik-adik di UIN Alauddin Makassar untuk memantik diskusi di salah satu kafe di Samata. Lagi-lagi, di kafe, dan berbayar! Padahal, seingat saya, di 2017-an, kami masih sering mengadakan diskusi terbuka di bawah pohon di belakang fakultas kami. Kini, kondisinya sudah berbeda. Pengalaman itu membuat saya mengajukan pertanyaan ini: mengapa ruang publik di Makassar menyusut ke kafe-kafe?

Kapitalisasi Ruang Publik

Alasan saya menolak ajakan kawan saya untuk menjadi pembicara di festival tersebut adalah karena, bagi saya, kegiatan semacam itu tidak inklusif. Alih-alih menyemarakkan diseminasi pengetahuan ke ruang publik, aktivitas itu malah melanggengkan praktik sosial yang eksklusif.

Melaksanakan festival literasi yang niatan awalnya ditujukan untuk publik di ruang kafe berbayar adalah tindakan yang tidak inklusif, terutama terhadap orang-orang dari kalangan kelas bawah yang tidak mampu menebus biaya untuk menghadiri acara tersebut.

Karena diundang mewakili Sekolah Anak Muda, saya tanpa ragu menolak. Sebab, sejak awal pembentukan Sekolah Anak Muda, kami, para pegiat di komunitas kecil ini, berkomitmen untuk menyediakan akses setara-inklusif ke pengetahun dan pendidikan.

Lewat komitmen semacam itu, ketika hendak mengadakan atau terlibat dalam suatu kegiatan, yang pertama-tama kami pertimbangkan adalah persoalan kesetaraan dan inklusivitas kegiatan kami. Kami berusaha untuk tidak terlibat dalam aksi-aksi yang mengeksklusi kelompok tertentu, yang biasanya merupakan kelompok yang dilemahkan oleh struktur sosial.

Yang ingin saya utarakan di bagian ini, kaitannya dengan pengalaman saya di atas, adalah bahwa ruang publik yang seharusnya inklusif dan dapat diakses oleh semua warga negara, menjadi terkait erat dengan kalkulasi finansial, kapitalistik, dan secara laten mengeksklusi mereka yang memiliki kemampuan finansial di bawah rata-rata. Tempat-tempat seperti kafe, yang selalu membatasi akses berdasarkan kemampuan finansial seseorang, menjadi simbol dari kapitalisasi ruang.

Bukan hanya menguntungkan orang-orang tertentu, kecenderungan pengelolaan ruang publik dengan cara semacam itu mengarah pada segregasi sosial. Orang-orang dengan kemampuan finansial-mapan memiliki akses yang lebih besar terhadap ruang-ruang publik, sementara kelompok dengan kemampuan finansial-terbatas menjadi terpinggirkan. Diskusi yang topiknya "Education for All" atau 'pendidikan untuk semua' pada akhirnya hanya untuk orang-orang yang punya uang.

Ketidakadilan Spasial

Menyusutnya ruang publik yang dapat diakses secara setara dan gratis menghasilkan ketimpangan dan ketidakadilan spasial. Misalnya, ada ruang publik di mana layanan sosial seperti pendidikan yang seharusnya dapat dijangkau secara setara oleh semua warga---dalam konteks pengalaman saya adalah mahasiswa---hanya dapat diakses oleh mahasiswa yang berduit.

Dalam konteks sosial seperti ini, orang kaya, dengan hasrat mengumpulkan lebih banyak keuntungan lewat "uang-berlimpah" yang mereka punya, berlomba mengakuisisi ruang-ruang publik strategis untuk mereka miliki dan mereka kapitalisasi. Sementara, warga kelas menegah-bawah terpinggirkan, tergeser ke ruang-ruang yang tidak memiliki infrastruktur yang memadai.

Di konteks mahasiswa, refleksi serupa dapat diajukan: ke mana ruang-ruang publik yang dulu dipunyai oleh mahasiswa untuk diskusi? Apakah ruang publik yang dulu tersedia telah dirampas oleh kampus menjadi toko swalayan? Ke mana pohon-pohon tempat kita berdiskusi dulu? Apakah pohon-pohon itu kini sudah dibabat untuk alasan pembangunan gedung kampus yang hanya bisa dinikmati oleh satu-dua orang saja?

Saya tidak tahu apakah tindakan menolak menjadi pembicara di sebuah diskusi publik itu berlebihan, tapi itu adalah bentuk komitmen kecil kami untuk menentang kapitalisme, khususnya kapitalisasi ruang publik yang memperparah ketidakadilan spasial. Kita butuh ruang publik yang lebih inklusif dan adil bagi semua orang. Ruang publik yang dapat diakses untuk semua kalangan warga negara terlepas dari latarbelakang sosial dan kemampuan finansial mereka.

Tentu saja, untuk mengatasi persoalan semacam ini tidak mudah, tapi saya berharap kita bisa memulainya dengan langkah-langkah kecil: mulai (1) mengusahakan kegiatan di ruang publik yang dapat diakses secara yang adil bagi setiap orang, dan (2) menolak komodifikasi ruang dengan memprioritaskan kebutuhan warga negara secara setara di atas keuntungan pribadi dan korporat. Demikian, kita dapat berjuang mewujudkan masa depan di mana keadilan spasial dapat terpenuhi dan setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat, belajar, dan berkembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun