Kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia, tidak sedikit klub-klub top Indonesia dimiliki/dikuasai oleh para konglomerat, ada dari kalangan artis, jenderal militer, pejabat daerah, menteri bahkan anak presiden. Sayangnya, keterlibatan para orang tajir di dunia sepakbola Indonesia, tidak serta merta mendorong/mendongkrak secara mandiri pembangunan infrastruktur dibidang olahraga, baik itu sarana dan prasarana, salahsatu yang penting ialah stadion.Â
Hampir semua klub liga 1 masih menggunakan stadion milik pemerintah, dengan status sewa yang terbilang cukup murah. hal lain semisal sarana pendukung, renovasi, faktor pemeliharaan, keamanan serta kebersihan yang menghabiskan anggaran yang tidak sedikit, sebagian besar masih dibiayai APBD setempat. APBD yang merupakan dana publik dengan tujuan mulia untuk kesejahteraan masyarakat, secara tidak langsung telah banyak digunakan untuk menfasilitasi bisnis konglomerat.
Dalih adanya multiplier effect untuk masyarakat sekitar khususnya pedagang kecil, umkm, atau jasa parkiran/ojek, saat event pertandingan berlangsung memang patut disyukuri sebagai berkah. Tapi bagi penulis hal tersebut ialah remah-remah roti didalam sistem ekonomi yang kapitalistik. Dimana roti sesungguhnya masuk diperut para pembesar dan keuntungan terbanyak masuk dikantong para pemilik bisnis.Â
Hal tersebut juga mendorong terjadinya privatisasi atas ruang-ruang publik, akibatnya rakyat tidak dapat lagi mengakses stadion secara cuma-cuma alias berbayar, adanya pembatasan-pembatasan dalam menggunakan/memanfaatkan fasilitas stadion, termasuk untuk aktifitas keolahragaan dengan alasan sterilisasi, Padahal dari uang rakyat-lah stadion ini dibangun, dari kumpulan uang pajak atau retribusi yang mereka bayar dengan harapan dapat dirasakan manfaatnya oleh keseluruhan masyarakatÂ
Sebaiknya, pengelolaan APBD betul-betul diprioritaskan untuk bagaimana menyelesaikan tugas/ urusan wajib pemerintahan, yang sudah diatur jelas didalam undang-undang. Yaitu pendidikan, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan, penataan ruang dll yang masih banyak mengalami masalah.Â
Hampir tiap tahun bahkan per semester mahasiswa/pelajar melakukan aksi demonstrasi mengenai biaya pendidikan yang memberatkan, praktek-prektek transaksional, keterlambatan gaji atau tunjangan, begitupun di bidang kesehatan, persoalan upah tenaga kesehatan yang masih di bawah upah minimun, pelayanan yang masih menerapkan praktik-praktik bisnis, keluhan tentang jalan yang berlubang dan gelap, lapangan pekerjaan yang sedikit, pupuk yang mahal dan langka serta penegakan hukum termasuk didalamnya pemberantasan korupsi, dst.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H