Dalam kehidupan manusia, kepemimpinan adalah salah satu hal yang teramat penting. Itu pula sebabnya kenapa Islam mengatur serius akan hal ini. Islam mewajibkan untuk mengangkat pemimpin, khalifah, imam, amir, atau apapun itu sebutannya.
Nabi Muhammad saw pernah bersabda: “Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah)
Hadits ini memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa perkara mengenai mengangkat pemimpin adalah perkara yang serius. Betapa untuk urusan yang sederhana pun (bepergian), Nabi menyuruh untuk mengangkat pemimpin, apalagi untuk urusan yang punya kepentingan dan skala prioritas yang jauh lebih besar.
Namun begitu, sifat wajib untuk mengangkat atau memilih pemimpin ini tentu tidak serta merta berlaku untuk memilih sistem pemerintahan atau sistem kepemimpinan. Sebab memang ada perbedaan yang mendasar. Al-Quran dan Hadits hanya merinci dengan jelas perihal kewajiban mengangkat pemimpin, sedangkan untuk proses pemilihan pemimpin dan mekanisme kepemimpinan, Al-Quran dan Hadits tidak memerinci dengan detail.
Hal inilah yang seringkali dinafikan oleh Hizbut Tahrir, organisasi politik transnasional yang selama ini dikenal memperjuangkan sistem pemerintahan khilafah di berbagai negara-negara (terutama negara Islam) di dunia.Menurut Dr. Nadirsyah Hosen, Dosen Senior di Fakultas Hukum Monash University, Australia, dalam salah satu forum pernah mengatakan bahwa memaksakan sebuah sistem “khilafah” sebagai bagian ajaran Islam yang mutlak merupakan “sebuah kekhilafan”
Apa yang dikatakan oleh Dr. Nadirsyah Hosen tentu beralasan, sebab lintasan sejarah masa lalu memang memperkuat argumen tersebut. Ketika Nabi Muhammad saw meninggal dunia, beliau tidak mewasiatkan penunjukkan pengganti kepemimpinan secara spesifik. Para sahabat kemudian berdiskusi yang kemudian menghasilkan keputusan untuk mengangkat Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad saw dalam urusan kepemimpinan. Masa kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Umar bin Khatthab saat ia ditunjuk langsung oleh Abu Bakar. Selanjutnya, kepemimpinan dipegang oleh Usman bin Affan yang terpilih melalui diskusi dewan khusus yang dibentuk oleh Umar bin Khatthab sebagai bagian dari proses pergantian kepemimpinan berikutnya. Kepemimpinan kemudian beralih ke Ali bin Abi Thalib yang dipilih secara aklamasi oleh para sahabat.
Nah, proses pemilihan kepemimpinan ini menjadi bukti yang cukup bahwa sebenarnya bentuk, sistem pemerintahan, sampai cara pemilihan pemimpin adalah wilayah yang bersifat ijtihadiyyah dan kontekstual, tidak terpaku hanya pada satu sistem tertentu. Itu artinya, manusia hanya diwajibkan untuk memilih pemimpin sebagai orang yang mengatur kepemimpinan, tapi tidak diwajibkan untuk memilih sistem tertentu sebagai sistem kepemimpinan, sebab sistem kepemimpinan dan pemerintahan boleh ditentukan sesuai dengan kondisi dan keadaan umat di suatu wilayah tertentu.
Dalam konteksnya di Indonesia, bentuk negara kesatuan republik dengan proses pemilihan pemimpin melalui sistem demokrasi adalah contoh yang jelas. Bentuk negara dan sistem pemerintahan Indonesia adalah hasil ijtihad para bapak pendiri bangsa yang tentu saja harus dihormati.
Nah, hal ini pulalah yang ingin digeser oleh Hizbut Tahrir. Organisasi ini bermaksud untuk mengubah sistem pemerintahan negara-negara di dunia dengan sistem pemerintahan ala Khilafah, sebab mereka yakin, bahwa sistem pemerintahan khilafah adalah satu-satunya sistem terbaik.
Bahwa sistem pemerintahan Khilafah adalah sistem pemerintahan terbaik mungkin saja benar (dan mungkin saja salah), namun memaksakannya dan memutlakannya sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang paling baik tentu saja salah. Lebih salah lagi jika menganggap khilafah sebagai satu-satunya solusi bagi beragam persoalan umat. Sebab pada kenyataannya, khilafah dengan segala macam bentuk dan sistem pemerintahannya juga tidak lepas dari beragam persoalan.
Bukti kecil bahwa khilafah tak lepas dari persoalan misalnya adalah ketika khalifah Umar, Usman, dan Ali meninggal karena dibunuh oleh sebab perselisihan.
Di masa Bani Umayyah, Abbasiyyah, hingga Turki Utsmani, beragam persoalan pun juga muncul, diantaranya adalah kekerasan, ketidakadilan, ketimpangan sosial, sampai penyimpangan atas penegakan hukum.
Hal ini menandakan, bahwa Khilafah tak ubahnya seperti sistem pemrintahan lainnya, yang punya sisi baik dan juga sisi buruk. Sehingga, memaksakan Khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang paling baik dan sempurna tentu bukan sikap yang tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H