Pada Bagian ketiga yang lalu kita sudah mengulas tentang masa-masa pr Wajo berdasarkan cerita yang beredar di tengah Masyarakat Wajo. Dalam Bagian keempat ini, kita akan lebih spesifik memasuki pembahasan tentang leluhur para The Founding Fathers of Wajo, dengan judul Tentang Cinnongtabi. Selamat menikmati.
Kemunculan Cinnongtabi dalam sejarah Wajo terjadi ketika Boli masih eksis (Zainal Abidin, 1974). Tempat bernama Cinnongtabi yang didatangi oleh La Paukke dan pengikutnya itu pada awalnya adalah sebuah bukit yang terletak tidak jauh dari Boli. Riwayat munculnya nama Cinnongtabi saat itu dimulai ketika seorang bangsawan Luwu yang bernama Opu Balirante bermaksud istirahat setelah berburu. Jika sebelum-sebelumnya tidak ada apa-apa yang terlihat dari tempat itu, namun pada saat itu ia melihat dengan jelas banyak rumah sudah berdiri di Boli (macinnong pakkitanna = bisa melihat dengan jelas). Namun saat ia diajak oleh pengikutnya untuk mendatangi perkampungan itu, ia menolak karena khawatir ia dan penghuni Boli akan merasa kaget karena sebelumnya mereka belum saling mengenal (tabbangka = kaget).
Pemimpin Boli yang bernama Puange ri Timpengeng datang menemui Opu Balirante dan mendengar kisah tentang pengalaman batin Opu Balirante mengenai tempat tersebut, serta merta Puange ri Timpengeng berkata bahwa alangkah baiknya kalau tempat ini dinamakan Cinnong Tabbangka. Opu Balirante memuji Puange ri Timpengeng karena merasa orang itu memiliki pemikiran yang sama dengannya. Itulah salah satu riwayat yang mengisahkan tentang munculnya nama Cinnongtabi.
Ada kisah berbeda yang dikemukakan oleh Noorduyn (1955) tentang kemunculan nama Cinnongtabi dalam sejarah Wajo. Dijelaskannya bahwa seorang tomanurung dari Buakkajang yang bernama La Matatikka menikah dengan Linge'manasa, Â seorang putri dari Sawitto, di Sajoanging. Setelah keduanya menikah, mereka lalu pindah ke sebuah bukit yang kemudian mereka beri nama Cinnongtabi[14]. Apakah kedua Cinnongtabi itu sama? Entahlah. Namun di Cinnongtabi-lah, La Paukke, seorang pangeran dari Kerajaan Cina yang mengembara bersama pengikutnya, berhenti dan membangun perkampungan di sana.
Di tempat itu mereka mencari nafkah dengan bertani, beternak, menyadap tuak dan sebagainya. Karena tanahnya yang subur, Cinnongtabi segera menjelma menjadi pemukiman yang nyaman. Penduduknya makmur dan sejahtera. lalu makin lama makin banyak orang yang datang untuk menjadi penduduk Cinnongtabi. Seiring dengan pesatnya perkembangan daerah itu, La Paukke kemudian didaulat oleh rakyat yang mendiami tempat itu untuk menjadi Raja atau Arung. Sejak itulah berdiri sebuah pemerintahan resmi di Cinnongtabi dengan La Paukke sebagai raja pertamanya.
Setelah memerintah selama lebih kurang 8 tahun lamanya, La Paukke mangkat. Ia digantikan oleh putrinya yang bernama I Panangngareng menjadi Arung Cinnongtabi ke-2. I Panangngareng adalah putri La Paukke dari pernikahannya dengan I Pattola, yang merupakan Arung Sailong Bone. I Panangngareng memerintah di Cinnongtabi, namun penulis tidak menemukan literatur yang menyebutkan durasi pemerintahannya. Setelah ia wafat, I Panangngareng digantikan oleh putrinya dari pernikahannya dengan La Matatikka yang bernama I Tenri Sui. Kisah La Matatikka dalam semua sumber disebut sebagai keturunan tomanurung dan sarat dengan mistisisme.
Arung Cinnongtabi ke-3 ini diperistri oleh La Rajallangi to Patiroi, putra dari Datu Babauae dari kerajaan Bone. Selama masa pemerintahannya, kendali pemerintahan dijalankan oleh suaminya, La Rajallangi. Salah satu kebijakan yang diputuskan oleh La Rajallangi dalam pemerintahan adalah mengangkat seorang pejabat kerajaan yang digelar Matoa Pabbicara untuk membantu Arung Cinnongtabi dalam segala urusan pemerintahan, termasuk di antaranya mengadili perkara yang terjadi di masyarakat.
Pernikahan I Tenri Sui dengan La Rajallangi melahirkan 3 orang anak yang bernama La Patiroi, La Pawawoi dan La Patongai. Setelah I Tenri Sui dan suaminya La Rajalangi meninggal dunia, jabatan Arung Cinnongtabi dilanjutkan oleh putranya yang bernama La Patiroi.
Di masa kepemimpinan Arung ke-4 ini, Cinnongtabi mengalami kemajuan yang pesat. La Patiroi secara konsisten menjalankan pemerintahan dengan baik. Ia dikenal sebagai pribadi yang sopan dalam bertingkah laku, adil dan jujur dalam memutus perkara. Di bawah kepemimpinannya, seluruh rakyat Cinnongtabi merasakan kedamaian dan ketentraman.
Cinnongtabi menjelma menjadi negeri yang makmur. Penghidupan rakyat meningkat dengan pesat. Kesejahteraan menyebar dan meliputi seluruh negeri. Berkat kemakmuran yang terus meningkat, rakyat betah dan juga semakin banyak orang yang datang untuk hidup dan menetap di Cinnongtabi sehingga makin lama Cinnongtabi menjadi negeri yang makin besar.
Setelah menduduki tahta selama lebih kurang empat puluh tahun, La Patiroi wafat. Rakyat Cinnongtabi menobatkan dua orang anak La Patiroi untuk menjadi Arung Cinnongtabi ke-5. Yaitu La Tenribali dan La Tenritippe, yang merupakan putra La Patiroi dengan istrinya We Tenriwawo, yang juga merupakan adik kandung dari La Rajallangi.Â
Kondisi itu tentu saja berbeda dengan kebiasaan yang berlaku. Namun barangkali itu terjadi karena penghormatan mereka terhadap mendiang La Patiroi dan berharap Raja Kembar ini akan memerintah Cinnongtabi dengan baik sebagaimana mendiang ayahnya. Untuk membedakan wilayah kekuasaan kedua raja ini, Kerajaan Cinnongtabi dibelah secara virtual dengan sungai, yang dalam Bahasa Bugis disebut "Ipabbalisalo."
Setelah berjalan selama lebih kurang setahun, pemerintahan kembar itu mulai menunjukkan perbedaan arah. Di satu sisi La Tenribali memimpin dengan adil dan bijaksana, sementara di sisi lain La Tenritippe tidak menjalankan pemerintahan sebagaimana mestinya. Ia memiliki kecenderungan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat.Â
Dalam memutus perkara, La Tenritippe seringkali tidak meminta keterangan kepada kedua belah pihak sebelum mengambil keputusan. Di dalam tradisi masyarakat Bugis, kondisi seperti itu disebut "irempekeng bicara", sebuah perlakuan yang tidak mencerminkan keadilan dan kearifan seorang pemimpin.
Perilaku negatif dalam memimpin yang dilakukan oleh La Tenritippe tersebut akhirnya meresahkan penduduk Cinnongtabi. Banyak di antara mereka yang kemudian mengadukan kerisauannya kepada pemuka masyarakat atau bangsawan kerajaan, termasuk kepada Arung La Tenribali, atau kepada bangsawan Cinnongtabi lainnya, yaitu La Tenritau, La Tenripekka, dan La Matareng.Â
Ketiga pemuka masyarakat ini merupakan sepupu Arung Cinnongtabi. La Tenritau dan La Tenripekka adalah anak dari La Patongai, adik La Patiroi Arung Cinnongtabi ke-4, yang menikah dengan We Tenripakkua, putri Datu Bola. Sementara La Matareng adalah anak dari La Pawawoi dengan We Temperenna yang merupakan Putri Datu Lagosi.
Atas permintaan masyarakat, maka berusahalah para bangsawanAkan tetapi upaya rakyat dan pemuka masyarakat Cinnongtabi untuk memperbaiki keadaan dengan mengingatkan sekaligus menasehati La Tenritippe tidak membuahkan hasil. Akibatnya, kehidupan masyarakat yang selama ini sudah diliputi ketentraman dan ketertiban, sebagaimana yang telah dibangun oleh La Patiroi selama puluhan tahun, akhirnya berangsur-angsur pudar. Kepercayaan rakyat terhadap terhadap kemampuan pemerintah melindungi rakyatnya menurun. Banyak orang yang merasa sudah tidak betah tinggal di Cinnongtabi. Keadilan yang diinjak-injak menjadi  sumber keresahan yang terus memuncak.
Dalam situasi yang sudah tidak kondusif itu, akhirnya La Tenribali bersama tiga orang saudara sepupunya memutuskan untuk meninggalkan Cinnongtabi. La Tenritau, La Tenripekka, dan La Matareng beserta Matoa Pabbicara, Matoa Cinnongtabi, Matoa Majauleng, Matoa Sabbangparu, dan Matoa Takkalalla pindah ke Boli. Kepergian mereka diikuti oleh rakyat Cinnongtabi. Sementara La Tenribali menuju ke Penrang yang kemudian disusul oleh saudaranya La Tenritippe. Orang terakhir yang meninggalkan Cinnongtabi adalah We Tenrigau, yang memutuskan pindah ke Mampu. Dengan kepergian We Tenrigau runtuhlah kerajaan Cinnongtabi dan berakhir riwayatnya sebagai sebuah negara setelah berdiri, setelah berdiri selama lebih kurang 60 tahun.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H