Mohon tunggu...
Andi Asrawaty
Andi Asrawaty Mohon Tunggu... -

Aku ingin kau mengenalku lewat kata, bukan lewat rupa...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Serenade Hujan di Januari

12 Januari 2012   00:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:00 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hem... hujan turun lagi, ini sudah bulan Januari,  hujan semakin sering tertumpah dari langit. ribuan puisi tercipta, sebanyak tetes air yang jatuh ke bumi. Bukankah tetesan itu juga puisi. Setelah alam memohon, bersimpuh berdoa meminta hujan. Tapi, hujan membuat basah, semua kuyub, air menggenang di sana sini. Yah, semua basah, pohon, rumput, motor, dan mungkin juga kamu. Tapi lagi, ada irama yang dicaptakan hujan, kadang merdu kadang menakutkan, menurutku.

Oia, apakah kamu melihat dua bocah yang yang memeluk hujan, mereka berjalan beriringan. Satu di antara mereka sangat usil, jahil, nakal. Ditariknya dahan pohon yang masih berada dalam jangkauannya. Byar... si bocah perempuan basah. Si jaihl lari, mereka saling mengejar. Lalu, saat saling mendapatkan, mereka lalu tertawa, lepas. Senang sekali. Aku melewati koridor kampus, ingin melihat hujan lebih dekat. Sesekali aku menadahkan tangan merasakan gerimis membasahi pori-pori tangan. Aku sampai pada ujung koridor. Aku harus berlari menuju ke gedung sebelah. Jalanannya menurun, koridor yang mempertemukan fakultas kita.  Satu, dua, tiga, aku berlari, tapi setengah hati, jujur kunikmati juga hujan itu. Huft, tapi aku masih harus menuju gedung selanjutnya, jaraknya agak jauh. Di samping danau. Tak perlu berlari lagi,  hujannya mereda, menjelma gerimis. Aku pelan-pelan, menengadahkan wajah ke langit membiarkan hujan membelai wajah. Aku melangkah, berlari, kadang berjinjit, bermain dengan genangan hujan yang berserakan di sana sini. Kuangkat ujung jilbabku, takut basah. Tapi terlambat sebagian telah basah. Hei, hujan kembali melebat, aku berlari, wah... Aku pasrah, pasti aku akan kuyub. Tiba-tiba seorang gadis kecil berlari mendekat. Bukan lagi menawarkan payung. Dia langsung menaruh payungnya tepat di atasku. Entah dari mana asalnya, Masih bengong melihat wajah manis sang gadis. Si anak menggoyang-goyangkan payung. Membuyarkan kebengonganku. Aku sadar, lalu menarik si gadis kecil masuk ke dalam payung bersama. Tapi si gadis kecil, sudah terlanjur basah. Sepuluh langkah berlalu, Siapa nama kamu? Gadis kecil menggeleng. Keningku berkerut. "Kamu basah, memangnya kalau kamu main hujan-hujan begini, kepala kamu tidak sakit? Kembali menggeleng. Masih tanpa suara, tapi senyum dibibirnya masih tersungging. Hem, kamu ngak mau ngomomg yah? Kembali menggeleng. Kamu suka hujan? Akhirnya dia mengangguk. Belum juga pertanyaanku usai. Gedung Ipteks telah terlihat. Ok, makasih yah, kataku sambil meregoh uang seribuan dari kantongku. Sang gadis kecil kembali menggeleng. Dia lalu mengambil bungkusan di dalam bajunya. Menyerahkannya padaku. Selagi aku terbengong melihat bungkusan itu. Si gadis kecil sudah pergi. Menghilang dalam lebatnya hujan. Aku membolak balik bungkusan plastik yang kuyub itu. Membuka bungkusannya, ternyata sebuah buku "The Alchemist". Lagi, keningku berkerut untuk kesekian kalinya. Ku buka lembar pertama, kutemui sebuah tulisan di sana. "Simpan baik-baik buku ini, dan suatu hari nanti ketika kita bertemu kau harus menceritakannya kepadaku." :-) Lalu di ujung buku masih ada, " Teruslah melukis pelangi dengan untaian katamu, wahai sang pelangi kata" Terperanjat, aneh. Aku ingat, buku ini adalah buku terakhir yang ingin aku beli. Waktu itu aku berkeliling di sebuah toko buku tidak jauh dari kampus kita untuk mencarinya, tapi bukunya kosong. Untuk apa? Hei, tiba-tiba aku teringat Rasulullah SAW, harus, aku harus selalu ingat. Jika tidak, kerugian besar menantiku. Ini adalah sebuah cerita indah antara Salman Al Farisi RA dan Rasulullah SAW, sebuah cerita yang menggetarkan jiwa. Ahk, mana ada kisah tentang Rasulullah  SAW yang tidak menggetarkan jiwa. Jika jiwamu belum bergetar, kau belum mengenali beliau. Ini tentang sebuah pencarian tuhan yang luar biasa. Aku pernah berjanji menceritakannya bukan? Kupikir ini saat yang tepat. Untuk permulaan, akan kuperkenalkan kau terlebih dahulu dengan Salman Al-Farisi RA beliau adalah seorang pemuda bangsawan, kaya raya, putra kesayangan. Namun dia menjelajah, mencari kebenaran. Hingga Allah mengatur takdir membawa beliau bertemu Rasulullah SAW. Dia sedang berada di puncak pohon kurma, bekerja untuk majikannya, dan pada saat yang sama didengarnya seseorang berujar tentang kedatangan seseorang yang mengaku Nabi demi Allah. Hampir saja Salman Al-Farisi RA terjatuh karena gemetaran tubuhnya mendengar berita tersebut. Mendengar kedatangan nabi terakhir yang selama ini dicarinya. Maka untuk membunuh rasa penasarannya, ia kemudian menemui nabi itu. Ingin membuktikan tanda-tanda kenabian yang telah diketahuinya dari seseorang yang dapat dipercaya. Saat matahari hendak meninggalkan peraduannya, Salman Al-Farisi RA segera mengumpulkan apa pun yang dimilikinya, lalu pergi menemui Rasulullah di Quba. Saat Salman Al-Farisi RA tiba, Rasulullah sedang duduk dengan rombongannya. Salman Al-Farisi berujar “Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan yang telah kujanjikan untuk sedeqah. Dan setelah mendengar keadaan tuan-tuan, maka menurut hematku, tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa ke sini”. “Makanlah dengan nama Allah”. sabda Rasulullah SAW kepada para shahabatnya, tetapi beliau tak sedikit pun mengulurkan tangannya menjamah makanan itu. “Nah, demi Allah!” katanya dalam hati, satu dari tanda-tanda kenabian telah terbukti.Dengan segera Salman pulang, namun lebih segera kembali keesokan harinya, berlomba dengan mentari pagi. Salman kembali Rasulullah SAW sambil membawa makanan, dan berkata kepada-Nya: “Kulihat tuan tak hendak makan sedeqah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada tuan sebagai hadiah”, Lalu Salman Al-Farisi RA menaruh makanan di hadapan Rasulullah. Maka sabdanya kepada shahabatnya: ‘Makanlah dengan menyebut nama Allah !’ Dan Beliaupun turut makan bersama mereka. “Demi Allah’: katanya dalam hati, inilah tanda yang kedua, bahwa nabi bersedia menerima hadiah Jelas bukan, Rasulullah hanya menerima hadiah, bukan sedekah. Jadi, buku itu hadiah atau sedekah? Semoga Buku darimu itu hadiah, biar aku bisa menerimanya dengan tenang. Baiklah aku masih ingin melanjutkan ceritanya, walau pun mungkin kau sudah tidak mau mendengarnya. Tapi semoga aku salah dan kau masih menikmati ceritanya. Tau kah kau, bagaimana Salman Al-Farisi yang berasal dari Persia tiba di Madinah menemukan kebahagiaannya, menemukan apa yang dicarinya. Bagaimana perjalannannya yang panjang dan sangat berliku, yah, sahabat-sahabat Rasullah memang punya kisah yang begitu mengharu biru. Dan tentunya ini bukanlah sebuah dongeng pengantar tidur. Ini kenyataan. Tinta hitam para ulama telah mencatatnya, sejarah mengabadikannya. Persia nama negerinya, penduduknya beragama majusi, menyembah api. Dan karena, kealiman Salman Al-Farisi, dia dipercaya menjadi penjaga api, menjaga agar cahayanya terus menyala dan tidak pernah padam. Sampai suatu hari ayahnya yang merupakan seorang bupati menyuruhnya ke suatu daerah. Di sana, ia melewati sebuah gereja di mana kaum nasrani sedang sembahyang. Karena rasa keingintahuannya yang besar, Salman Al-Farisi lalu melihat, dan kagum, saat itu dalam hatinya  mengakui dengan objektif bahwa agama nasrani jauh lebih bagus. Pengakuanya pada ayahnya tentang apa yang dilihatnya membuat Salman Al-Farisi berakhir dengan dirantai oleh ayahnya. Namun ia tidak menyerah, dia menitipkan pesan ada orang Nasrani tentang keimanannya yang baru dan memohon untuk menjemputnya. Dan takdir membawanya, ia tinggal dengan uskup dan mengabdi menjadi pelayan. Namun saat ajal uskup sudah dekat. Salman bertanya ke mana ia harus pergi, sang Uskup merekomendasikan seseorang yang tinggal di mosul. Lalu Salman Al-Farisi kemudian mencarinya. Begitu seterusnya, sampai uskup yang dia datangi dipenghujung ajalnya Salman Al-Farisi kembali bertanya, ke mana ia harus pergi. Hingga ia tiba di Romawi, dan bertemu kembali seseorang yang kembali menuntunya menemui Rasulullah. Pada saat uskup yang terakhir hendak meninggal, lagi-lagi Salman Al-Farisi bertanya hal yang sama, ke mana dia harus belajar. Uskup itu menyampaikan kalimat terakhirnya “Anakku.’ Tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau padanya. Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. la nanti akan hijrah he suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia, la mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan shadaqah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila kau melihatnya, segeralah kau mengenalinya’ Dan Salman Al-Farisi kembali berjalan, menjawab rasa penasarannya, hingga pada saat ingin menuju Arab, sayang di tengah jalan dia dirampok dan dijual sebagai budak. Tapi Allah, maha penolong dan semuanya memiliki hikmah, itu adalah jalan yang mempertemukannya dengan Rasulullah. Saat di pohon kurma itulah, Salman Al-Farisi mendengar berita, membuktikan secara langsung satu persatu tanda kenabian Rasulullh SAW, pun tanda terakhir berupa tanda kenabian di punggung Rasulullah SAW. Seketika ia meratap, menangis dan segera memeluk serta menciumi Rasulullah, pencariannya menemukan muara. Kau pernah bertanya padaku tentang keragu-raguanmu tentang tuhan sehingga aku kesal.  Maaf yah. Kau tahu, terlalu banyak yang harus dipikirkan dan dilakukan. Ideologi ini membakarku, lalu  sekaligus memenjarakanku dengan kelembutan, mengalihkan duniaku, juga menutar balikkan hidupku 180 derajat.  Em, kau pasti bingung. Bayangkan saja sendiri. Walaupun apa yang kau bayangkan tidak akan pernah sama dengan apa yang kurasakan. Andai saja kau tahu apa yang aku tahu. Aku mencoba dan menjadi buta untuk hal-hal yang tidak begitu penting, di saat yang sama aku dapat melihat hal-hal yang orang lain tak mampu melihatnya. Kau tahu, yang ada dalam pikiranku saat ini adalah memberikan gambaran utuh tentang seluruh konsep yang saat ini beterbangan dalam kepalaku serta tentang keyakinan yang menghujam dalam hatiku. Konsep yang menurut mereka utopis. Tapi tidak ini kenyataan, seperti keberadaan diriku dan dirimu. Ini sepotong kisah tentang keraguan Salman Al-Farisi yang kuceritakan padamu. Dia tak hanya terus ragu, tapi mencari pangkal keraguuannya.  Bukan dengan dialog semalam suntuk yang akan membuatmu tidak shalat Subuh esok harinya. Semoga bukan. Oia, Semoaga suatu hari kutemukan kau dengan keyakinanmu yang membara, bukan lagi di bawah hujan, tapi di bawah terik matahari bersama dengan teman-teman lain mengabarkan konsepsi dari langit. Satu lagi, maaf lagi, aku tidak pernah berjanji dan berutang untuk menceritakan buku itu padamu, dihadapanmu. Mana mungkin, sebagai gantinya telah kuceritakan kisah Salman Al-Farisi, jika kau tanya kenapa. Aku yakin kau tahu jawabannya, bukankah kita orang faham, kuharap demikian. "Chara, kenapa bengong saja di situ. Liqonya sudah mulai dari tadi."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun