Mohon tunggu...
Andi HarisaPane
Andi HarisaPane Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penikmat prosa, lakon, dan sastra

Aku ada maka aku berpikir

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Catatan untuk Hari Ini, Esok, dan Nanti

12 Oktober 2022   23:52 Diperbarui: 13 Oktober 2022   00:34 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: www.anzuelodeletras.com

Belakangan ini, hiruk pikuk politik tidak lain adalah aktivitas seni berbohong dengan sengaja yang terus digumamkan menjadi wacana-wacana yang menimbulkan kegaduhan maupun keriuhan bagi warga negara dalam bernegara. Di samping keriuhan hiruk pikuk oleh para politishit negarawan, ternyata masih terdapat harapan dari sebagian kecil warga negara untuk menuntut pembenahan negara demi kesejahteraan warga negara di negara yang mereka hinggapi.

Para aktivis negarawan tidak kalah menarik dalam menggaungkan harapan mereka sebagai alternatif dominasi wacana yang selama ini didistribusikan oleh para politishit negarawan. Prosa-prosa akan perjuangan sangatlah hangat digelorakan hingga menembus pori-pori. Namun terkadang juga menyengat sendi-sendi kehidupan maupun pemikiran.

Antara wacana kanan maupun wacana kiri, bagiku adalah sebuah pilihan. Namun, salah memilih terhadap pilihan bisa menjadi suatu petaka. Karena, ketegangan-ketegangan antar umat yang meyakini pada pilihan-pilihan tertentu namun berbeda pilihan, berujung pada tindakan-tindakan pengerdilan maupun pembungkaman.  

Menjadikan politik sebagai panglima dalam segala sendi kehidupan tidak jarang membuat penganutnya untuk merelakan kenyamanan masa kini untuk menanti keindahan dan kesempurnaan pada masa yang akan datang. Hal-hal seperti itu kerap membuat diriku bertanya pada diriku sendiri, apakah mungkin dunia ini dapat diciptakan untuk menjadi sempurna atau apakah mungkin ada kesempurnaan di Dunia ini? 

Dunia memang banyak  dosa-dosa bergelimangan, begitu juga dengan kebaikan-kebaikan juga cukup banyak bertebaran, namun dunia ini bukanlah seperti konsepsi surga yang sempurna dan juga bukan  sepenuhnya seperti konsepsi neraka yang isinya adalah penghakiman-penghakiman semua dosa-dosa. 

Terlepas apakah surga dan neraka itu benar-benar ada keberadaanya atau mungkin tidak ada keberadaannya bukanlah menjadi masalah karena bukan perbincangan itu yang hendak aku utarakan.

Baik politishit negarawan maupun aktivis negarawan bagiku keduanya bertahan pada keindahan utopia nya masing-masing, terkadang mereka lupa bahwasanya di setiap utopia yang hendak dicapai akan terdapat dystopian didalam utopian itu sendiri yang kerap disebut sebagai paradox utopia. 

Sebagaimana yang digelorakan oleh Thomas More sang penulis asal Britania Raya yang sangat masyhur. Prosa-prosa yang penuh satire dalam karya legendarisnya yang berjudul "Utopia" membuat aku tergelitik secara pikiran maupun perasaan.

 Lantasan dalam karya yang sangat imajiner tersebut menceritakan seorang tokoh rekaan utamanya yang bernama "Raphael Hytlodeaus" menemukan sebuah pulau yang indah nan sempurna yaitu dia sebut sebagai pulau "Utopia". 

Raphael menyaksikan sistem politik dan masyarakat yang berada di pulau itu dibentuk dan dirawat dengan asas "kesejahteraan bersama", di mana persediaan makanan sudah tercukupi karena hal-hal seperti itu sudah terjamin keberadaannya, begitu pula dengan rumah-rumah warga utopia tak perlu ada pengamanan dengan berbagai standar ganda karena juga mustahil ada pencuri ataupun maling di pulau yang sejahtera nan arif seperti itu. 

Pulau utopia adalah pulau idaman bagi para penikmat ideologi di masa kini lantasan ruang hidup terasa segar dan bersih, orang hanya cukup bekerja enam jam per harinya sehingga tak perlu bekerja penuh waktu untuk mendapatkan akumulasi keuntungan para pemilik modal seperti yang aku rasakan pada masyarakat zaman modern ini. 

Namun dalam karya tersebut tiap orang harus menyesuaikan diri dengan kebersamaan, spirit-spirit individualitas merupakan ancaman bagi pulau utopia tersebut, di samping itu perbincangan mengenai politik di luar lembaga politik diharamkan, jika kedapatan adanya adu gagasan politik di luar lembaga yang bersangkutan tak segan-segan maka balasan yang diberikan adalah dipersekusi dengan hukuman mati, meskipun tidak ada pemimpin yang menonjol di Negeri itu saya merasa utopia ala More tersebut terdapat sensasi yang indah sekaligus sensasi yang gelisah. 

Lantasan terdapat distopia dalam tataran masyarakat utopia tersebut karena menjadi tak nikmat sekali apabila perbincangan politik tak patut lagi diucapkan di luar lembaga politik karena dianggap dapat menggeserkan tatanan kesejahteraan yang telah dirumuskan. Meskipun di pulau utopia urusan makan dan tidur telah tersedia  namun  Ruang-ruang individu menjadi terhimpit karena kebersamaan menjadi landasan kekuatannya.  

Gagasan More dikritik pula oleh Marx sebagai bentuk sosialisme yang tidak ilmiah karena More hanya menjelaskan kesimpulan-kesimpulan keindahan yang ada di pulau itu, bagi Marx yang perlu dibangun adalah bagaimana cara mencapai tujuan itu.  

Marx sendiri  melihat bahwasannya para filsuf sibuk memikirkan dan menafsirkan dunia tugas kita adalah bagaimana cara untuk merubahnya, adapun cara merubahnya telah dirumuskan beliau dengan pisau analisis Materialisme Dialektika Historis-nya atau dapat disingkat menjadi MDH. 

Marx meyakini dengan mengikuti MDH sosialisme ataupun komunisme akan dapat tercapai karena kapitalisme akan mati karena sedang menggali liang lahatnya. Dalam menuju kematian kapitalisme itu perlu adanya perlawanan-perlawanan dari kelas-kelas proletar sebagai jalan menuju kejayaan dan kesempurnaan cita-cita sesuai dengan hukum-hukum dialektika sejarah.

Menjadi terbenak pula dalam pikiran ku yang jauh dari kata sempurna ini bukankah Marx juga menciptakan utopianya, utopia yang tidak terletak pada hasil yang diidamkan Yakni masyarakat sejahtera tanpa kelas melainkan dengan cara-cara MDH masyarakat kapital pasti akan terjun menuju liang lahatnya. Apa yang menggaransi mempraktikan MDH benar-benar bisa terciptanya kesejahteraan seperti yang didambakan? 

Bagiku Banyak penulis-penulis yang mansyur yang membangkitakan gairah maupun harapan akan keindahan dimassa depan yang perlu diperjuangkan dengan merelakan masa kini lalu bertindak secara militan untuk dipraktikkan dengan dilandaskan oleh pikiran para penulis-penulis handal.

Entah mengapa selalu terbenak dalam diriku ketika mencoba menikmati narasi-narasi ideologi emansipasi ataupun pembebasan terdapat interupsi dengan pertanyaan apakah benar hal-hal sempurna sebagaimana yang dikonsepsikan itu benar-benar sesempurna Ketika hal yang dianggap sempurna itu dijalankan?

Terlebih lagi narasi-narasi tersebut kerap menjadi alasan untuk merelakan masa kini demi masa depan yang brilian, sebagaimana Komunisme klasik meyakini untuk mendapatkan kesejahteraan dapat ditempuh dengan jalan revolusi, namun cara tersebut tak sedikit tumpahan darah yang harus bercucuran, begitu juga dengan gagasan ekonomi kapitalisme yang menggaungkan tentang kesejahteraan dapat ditempuh melalui pasar bebas untuk mendapat kesejahteraan yang pada akhirnya pandangan itu Ketika dipraktikan justru menimbulkan penghisapan dan ketimpangan.

Lebih parah lagi perbincangan akan ideologi dewasa ini kerap menjadi landasan untuk mempersekusi pikiran dengan dalih mendapatkan keadilan. Sentralisasi-sentralisasi gerakan maupun pemikiran dengan dalih kemanusian justru menjadi kontradiksi karena langkah-langkah yang ditempuh kerap mensayat nilai-nilai kemanusaian.  

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendalami narasi kiri maupun kanan. Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk menguliti pemikiran Thomas More maupun Karl Marx  jadi saya tidak perlu untuk melanjutkannya lebih jauh lagi. 

Adapun opini yang hendak aku utarakan bahwasannya segala narasi-narasi emansipasi tentang kesempurnaan di masa yang akan datang memanglah penting untuk diperjuangkan namun jangan sampai untuk menenggelamkan nilai-nilai kemanusian pada saat ini untuk masa Depan. 

Lagi-lagi saya ingin mengatakan dunia itu tidaklah sempurna dan tidak akan bisa sempurna, bisa jadi konsep kesempurnaan di masa depan tidak akan menjadi sempurna lagi karena terdapat gagasan kesempurnaan baru yang didambakan. 

Jadi narasi-narasi emansipasi rasanya tidak perlu untuk menerkam kemanusiaan ini demi kesempurnaan tatanan yang didambakan pada masa depan, yang menjadi tantangan adalah bagaimana kita bisa menjujung tinggi kemanusian saat ini dan disamping itu juga bisa menuju kepada kesempurnaan yang didambakan.

Terakhir aku ingin sekedar memberitahukan bahwasannya tulisan ini aku tuangkan untuk diracik pada waktu sepertiga malam dengan perasaan dan pikiran yang tidak terlalu mendalam, akan tetapi dalam menulis tulisan ini  aku sadar bahwasannya aku sedang menulis, walaupun aku tidak terlalu paham apakah kita bisa benar-benar sempurna menjaga kesadaran,  namun yang jelas diriku sangat takut untuk kehilangan kesadaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun