Dewasa ini kita sering melihat banyaknya kerusakan-kerusakan alam semesta yang ada di bumi ini yang diperkosa secara membabi buta untuk pemenuhan kebutuhan dan keinginan makhluk hidup manusia yang dianggap hewan yang rasional oleh Aristoteles dengan terus terjadinya akumulasi maupun ekspansi alam yang dilakukan secara masif  di banyak ruang dan waktu.Â
Di sisi lain terdapat makhluk hidup yang sangat bergantung terhadap alam bahkan dapat dikatakan alam adalah bagian dari kehidupannya. Biasanya makhluk hidup yang dimaksud itu ialah perempuan. Perempuan dan laki laki, keduanya merupakan makhluk hidup yaitu manusia. Tapi dibalik kesamaan makhluk hidup itu terdapat pengalaman, beban, dan tanggung jawab yang berbeda yang tercipta oleh konstruksi sosial secara mengakar dan didukung oleh waktu yang sudah cukup lama.
Di dalam tatanan kehidupan berumah tangga perempuan yang biasanya beriteraksi langsung dengan alam demi memenuhi kebutuhan pangan keluarga membuat perempuan tidak bisa melepaskan diri dari alam dan memastikan keberlangsungan kesehatan keluarga tetap terjamin. Misalnya, kita lihat perempuan-perempuan yang masih hidup dengan sistem kearifan lokal, dimana setiap harinya mereka harus mengambil air untuk diminum serta untuk kebutuhan air lainnya.Â
Dari zaman dulu hingga sekarang air merupakan kebutuhan primer manusia yang harus dipenuhi sehingga pemenuhan kebutuhan terhadap air sangat berpengaruh terhadap bagaimana air tersebut diperoleh. Bukan hanya itu, kehidupan masyarakat pedesaan juga biasanya sangat jarang tersentuh oleh modernisasi sehingga ketika mereka ingin memasak sesuatu biasanya mereka mengambil alternatif selain menggunakan kompor gas seperti kita yang hidup di perkotaan. Contohnya, membakar ranting-ranting kayu. Kedua hal tersebut merupakan salah satu contoh yang sangat nyata bahwasanya aktivitas perempuan dan ketersediaan alam sangatlah berkaitan erat.
Namun kearifan lokal yang dijalankan oleh masyarakat desa biasanya bertolak belakang terhadap negara yang melakukan program pembangunan berkelanjutan. Contohnya, penelitian Rifandini (2020) mengenai Perempuan dan Alam dalam Wacana Pembangunan Berkelanjutan.Â
Tujuan penelitian tersebut untuk melihat hubungan antara perempuan adat Papua dengan alam sekitarnya, yang dimana Rifandini menjelaskan secara topografi bahwasannya Republik Indonesia  merupakan daerah yang secara keseluruhanya belum tersentuh oleh industri atau korporasi, seperti di daerah Papua yang dimana masyarakat di daerah papua masih menggantungkan keberlangsungan hidupnya dengan alam. Namun, pemerintah memiliki kesepakatan dengan pemimpin dunia untuk menjalankan program untuk mengurangi angka kemiskinan, kesenjangan sosial, dan melindungi lingkungan, serta pembangunan berkelanjutan yang merupakan cita-cita proyek tersebut dinamakan Sustainable Development Goals.Â
Untuk memenuhi kebutuhan pasokan pertanian dan perkebunan bersekala tinggi yang ada di Papua membutuhkan lahan 1.283.000 hektar sebagai salah satu syarat membangun proyek tangan kedua dari SDGs tersebut yaitu MIFEE (Merauke Integreted Food Energy Estate). Terdapat dualisme antara visi dan misi pemerintah tersebut dengan ekofeminisme terlebih berdasarkan literatur dan informasi yang tersedia. Kehidupan masyarakat papua yang masih menggunakan sistem tradisional, seperti perempuan-perempuan  yang ingin memasak hanya memungut ranting-ranting kering tanpa menebang pohon yang ada di hutan. Perempuan dan alam sangatlah berkaitan apabila dilihat dari segi penyelesaian pekerjaan domestik serta memenuhi makanan pokok sehari-hari rumah tangga. Berbeda dengan masyarakat yang tidak tinggal di daerah Papua yang mengonsumsi sagu sebagai makanan pokok dan dengan kemurahan hati alam terhadap masyarakat Papua menyediakan ketersediaan sagu secara cuma-cuma. Biasanya mereka langsung mengambil sagu kedalam hutan tanpa harus bersusah payah memanam, merawat, dan memanen sagu.
Selain Papua masih ada lagi daerah-daerah lainnya yang mengalami nasib yang sama. Contohnya, lahan-lahan gambut yang ada di Kalimantan yang lumayan luas yakni sekitar 22,5 hektar yang merupakan lahan gambut terluas di Asia Tenggara dengan menyumbang 47 persen. Semenjak kebakaran hutan yang terjadi di Kathula, yang di mana salah satu lahan yang terdapat disana adalah lahan gambut. Hasil menunjukkan dampak dari kebakaran lahan tersebut sangat berdampak terhadap perempuan.Â
Perempuan yang berada di sekitar lahan gabut biasanya memanfaatkan SDA tersebut untuk dijadikan sebagai anyaman untuk pemenuhan kegiatan ekonominya. Ketika terjadinya kebakaran hutan tersebut, kebanyakkan perempuan terpaksa harus membeli material lahan gambut tersebut kepada penjual dan tidak lagi mengambil sendiri. Adapun dampaknya perempuan harus mengeluarakan biaya lebih ekstra untuk membeli material tersebut sebagai bahan anyaman. Selain itu, ketika saat kebakaran terjadipun perempuan menjadi bekerja lebih ekstra untuk merawat keluarga yang terkena asap, serta ikut memadamkan api baik di lahan maupun pemukiman. Sigiro (2020)
Hal serupa juga terjadi di NTT yang telah dimasuki oleh pertambangan, di mana tambang sangatlah mempengaruhi kesehatan air yang akan digunakan oleh perempuan dan masyarakat setempat. Sebagai masyarakat yang menganut sistem demokrasi itu tidak hanya berdiam diri degan ketidakadilan yang telah dialaminya, seperti penelitian Dalupe (2020) mengenai Dari Hutan ke Politik Studi Terhadap Ekofeminise Aleta Baun di Mollo-NTT yang bertujuan membahas perjuangan pergerakan Aleta Baun dalam menolak pertambangan di Mollo, NTT dan kesinambungan perjuangannya di jalur politik berdasarkan data statistik NTT yang merupakan salah satu provinsi termiskin di Indonesia, namun telah dihuni kurang lebih 302 tambang. Salah satunya ialah tambang mamer di Mollo.Â
Kerusakan alam NTT yang terus terjadi membuat Aleta Baun sebagai perempuan Molla melakukan pergerakan untuk merampas kembali hak lahan masyarakat Mollo selama 13 tahun yang sampai akhirnya membuat tambang mamer tersebut hengkang dari NTT.Â
Masyarakat NTT memiliki sejarah dimasa lalu. Budaya dan keterikatan masyarakat dengan alam memiliki hubungan yang sangat erat, ditambah lagi budaya patriarki yang lebih mendominasi membuat perempuan memiliki peran ganda dan bergantung terhadap alam sehingga membuat Aleta Baun mengajak perempuan Molla lainya untuk berjuang serta bergerak pada isu lingkungan yang berbasis gender bahkan sudah membentuk komunitas. Walaupun tambang mamer yang ada di Mollo berhasil dipaksa untuk pergi, Aleta Baun dan komunitasnya tidak berhenti disitu saja, Â namun membuat perluasan pergerakan perempuan yang memasuki ranah politik untuk benar --benar memulihkan kedaan alam.Â