Mohon tunggu...
Andi ummikalsum
Andi ummikalsum Mohon Tunggu... Lainnya - Ummicomel

Panda🐼

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Daring

19 Juni 2021   07:29 Diperbarui: 19 Juni 2021   07:34 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Siang merangkak tertatih menuju malam namun kuliah daring ini belum juga berakhir. Gerah dan bosan bercampur apatis disebabkan sistem pendidikan saat ini, bahkan ditakutkan akan melahirkan mahasiswa Prematur. Apakah dengan sistem ini mampu menjawab kebablasan mahasiswa? Atau sistem ini di berlakukan semata-mata untuk memutus mata rantai COVID-19, tanpa memperdulikan mahasiswa?

Momok mengenai sistem pendidikan berbasis daring atau di kenal juga sistem pembelajaran jarak jauh mulai hangat di masa pandemi. Pemerintah, dengan amanat konstitusi pasal 31 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu mengenai sistem pembelajaran jarak jauh, mengambil langkah cepat untuk menerapkan sistem ini guna memutus mata rantai penyebaran covid-19 di lingkup pendidikan. Namun apakah langkah pemerintah ini tepat?

Kebijakan pemerintah ini menuai kontroversi dikalangan publik. Sebab dengan sistem seperti ini hanya bisa di rasakan oleh mereka yang mempunyai fasilitas memadai, baik dari segi infrastruktur dan suprastruktur. Bukankah pemerintah di haruskan untuk mengawal dan mensejahterakan rakyatnya. Sehingga kebijakan yang dibuat semua buat semua bukan cuman beberapa golongan saja.

Dalam riset penelitian Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia(APJII), Pengguna di Pulau Jawa masih berkontribusi terbesar terhadap kenaikan jumlah pengguna internet tersebut, yakni 56,4 persen. Pengguna internet terbesar kedua berasal dari Pulau Sumatera dengan 22,1 persen.Disusul Pulau Sulawesi (7 persen), Kalimantan (6,3 persen), Bali-Nusa Tenggara (5,2 ), dan Maluku-Papua (3 persen).

Kuliah daring bukan metode efektif dalam belajar. Karna di beberapa wilayah di Indonesia belum mampu menerima sistem ini. Sebut saja di dusun palado kab. Mamasa Prov. Sulawesi Barat. Jangankan akses jaringan bahkan untuk penerangan dimalam hari pun cumn mengandalkan pelita.

"5,2 juta masyarakat Indonesia yang belum menikmati penerangan atau listrik itu sangat banyak, setara dengan seluruh populasi Negara Singapura, karena itu saya sangat berharap tahun depan seluruhnya akan dapat menikmati penerangan dan untuk daerah-daerah yang terisolir dan sulit dijangkau kita gunakan energi baru terbarukan," ujar Menteri ESDM Ignasius Jonan.

Padahal hal semacam ini perlu dipertimbangkan oleh pemerintah guna dalam menetapkan sebuah kebijakan tidak terjadi tumpang tindih. Sebab perjuangan untuk menempuh pendidikan bukan hanya sebatas mencari ilmu saja, namun bagaimana kita menjadi manusia paripurna. Sehingga di kalangan pelosok dalam menempuh strata pendidikan banyak hal mesti di lalui.

Sehingga penerapan kuliah online tersebut tidak mudah dijalani bagi sebagian mahasiswa ataupun mahasiswi yang tinggal di pedalaman dan belum tersentuh jaringan internet. Seperti yang dirasakan Sukmawati Kahar (20 Tahun), mahasiswi asal Desa Ratte, Kecamatan Tutar, Kabupaten Polewali Mandar. Hal ini dilansir salah media bertajuk, Naik Gunung-Kehujanan, Ini Perjuangan Mahasiswi Polman Demi Kuliah Online.

Lain hal dengan Seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar bernama Rudi Salam tewas karena terjatuh dari menara masjid di kampung halamannya. Awal kronologi kejadian di warnai karna sulitnya akses jaringan seluler. Dilansir dari media elektronik, bertajuk Mahasiswa Unhas Tewas Terjatuh dari Menara Masjid Saat Cari Sinyal untuk Kirim Tugas Kuliah. Lalu siapa yang mesti bertanggung jawab?

Tentunya penampakan buruk dalam dunia pendidikan Indonesia. Sebab dengan gamblang konstitusi menjabarkan bahwa salah satu tujuan daripada pembentukan negara ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.Lalu bagaimana ukuran kecerdasan itu. Jika kecerdasan di maknai cuman mereka yang mampu menempuh strata pendidikan, bagaimana dengan tidak. Padahal bukankah itu wewenang negara.

Tentunya hal ini adalah masalah bersama. Jadi untuk mencegah mahasiswa prematur terjadi maka di butuhkan sokongan dan solutif dari segala lini. Sebab apapun itu jika dikerjakan secara bersama pasti akan terasa ringan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun