*****
"Kumohon jangan pergi. Jangan lagi."
"Freyaaa!"
Aya tersentak begitu suara asing itu berteriak memanggil namanya. Gadis itu langsung terduduk dengan napas memburu. Tangannya yang terikat di belakang tubuh membuatnya tak bisa mengusap air yang membasahi wajah dan menghalangi penglihatannya. Begitu mampu melihat sekitar dengan jelas, dia terkejut menyadari dia bukan lagi berada di kolam sekolah. Bertambah terkejut begitu pandangannya tertuju pada iris sehitam jelaga yang menatapnya seolah memiliki dendam menahun padanya.
"Lo ... siapa?"
Sebenarnya ada banyak prasangka buruk dalam kepala Aya. Yang paling kuat adalah Delia, Angel, atau siapa pun telah membuangnya ke sini. Ke sungai di tengah hutan. Lalu lelaki itu ... mungkin adalah seseorang yang diutus untuk membunuhnya. Aya pikir, pedang yang ada di tangan lelaki itu telah menjelaskan segalanya.
Aya menunduk sedih. Sehina itukah dirinya? Hanya karena hidup serba kekurangan, dia diperlakukan sejauh ini. Apakah mereka benar-benar manusia?
Aya bangkit, dan seketika itu juga rasa ngilu menyerang perutnya. Seolah sebuah benda tajam tengah mengoyak ususnya. Aya tak bisa mempertahankan kesadaran begitu rasa sakitnya menjadi berkali-kali lipat. Aya jatuh ke air. Berbaring, dan tenggelam.
Lelaki itu meletakkan pedangnya ke tanah lalu melangkah cepat ke arah Aya. Meraih tubuh ringkih itu sebelum kehilangan nyawanya untuk kedua kali. Tatapan lelaki itu lalu tertuju pada area perut Aya. Perasaannya menjadi sangat aneh saat mendapati perut Aya sama sekali tak terluka meskipun gaunnya masih terkoyak seperti sebelumnya.
"Sihir, ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Lelaki itu bisa saja mengabaikan Aya dan membiarkannya mati sesuai tujuan awalnya, tapi entah kenapa, dan entah dorongan dari mana dia memutuskan untuk membawanya pulang. Membiarkan perempuan itu tertidur dalam gendongannya serupa lelaki yang tengah menggendong pengantinnya ke peraduan. Ini adalah kali pertama dia menyentuh seorang perempuan secara sukarela selain untuk misi, dan hal itu membuatnya merasa asing pada diri sendiri.
Namun, lelaki itu memilih mengabaikan  perasaan asing itu. Langkah kakinya sangat cepat, dia berlari nyaris melayang hingga tiba di tempat tujuan dalam waktu yang sangat singkat. Dia, Albiru, seorang pembunuh bayaran berdarah dingin, untuk pertama kalinya membiarkan seorang target selamat dari kematian.