Mohon tunggu...
Yuswandi
Yuswandi Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korupsi di Indonesia

22 April 2019   23:23 Diperbarui: 22 April 2019   23:58 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa itu korupsi? Menurut Ekonom dari University of Erlangen-Nuremberg, Jerman, Oskar Kurer mengatakan bahwa definisi korupsi dikembalikan kepada nilai dan kesepakatan yang berlaku di sebuah negara. Untuk kasus Indonesia, begitu banyaknya ragam budaya dan etnis menyulitkan pendefinisian perilaku korupsi yang sudah mengakar dan bahkan membudaya.

Dua orang profesor bidang ekonomi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Harvard University, Benjamin Olken dan Rohini Pande mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya birokrasi di negara berkembang. Bahkan, suap menjadi bagian dari fungsi struktur birokrasi.

Sejarah mencatat, praktik korupsi di negeri ini sudah berlangsung sejak zaman kolonial dengan maraknya pengusaha yang menginginkan perlindungan dan jaminan dari penguasa untuk proses bisnis mereka, atau dikenal dengan perilaku pemburu rente. Istilah pemburu rente biasa diberikan kepada seseorang atau kelompok yang memperoleh keuntungan dari aset yang tidak dimilikinya.

Setelah kemerdekaan, praktik korupsi juga terjadi pada Era Orde Lama. Praktik korupsi terjadi karena intervensi pemerintah melalui birokrasi yang sangat terpusat begitu besar dalam berbagai sektor ekonomi. Intervensi semacam ini yang melahirkan banyak pemburu rente dan sistem yang ramah terhadap korupsi. Akibatnya, kekayaan hanya dinikmati oleh pengusaha yang dekat dengan pemerintah dan pembangunan tidak dapat dirasakan oleh masyarakat.

Untuk pencurian terdapat pengaturannya pada kitab undang-undang hukum pidana yang diberlakukan oleh Peraturan Hukum Pidana, Undang-Undang tanggal 26 Pebruari tahun 1946 Nr. 1, yakni memberlakukan peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942. Adapun judul asli dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diambil dari "Weboek van Strafrecht Nederlandsch-Indie yang dirubah menjadi "Wetboek van Strafrecht"

Khususnya untuk hal pencurian diatur dalam Bab XXII dengan judul PENCURIAN, dari Pasal 362 sampai dengan Pasal 367 KUHAP. Asas pokok yang terkandung dalam Bab XXII tentang Pencurian adalah mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak.

Sedangkan ancaman pidananya adalah pidana penjara selama lima tahun yang berdasarkan ketentuan KUHAP dapat dikenakan penahanan untuk pemeriksaan di penyidikan, penuntututan, atau persidangan.

Sebaliknya, untuk korupsi mulai diatur oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang sebelumnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 mencabut Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 memiliki norma/kaidah dasar yang pokok, yakni:

Dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara.

Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, dengan cara menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Melawan hukum tersebut mengandung pengertian formil maupun materil. Bahwa undang-undang ini diberlakukan karena pada masa itu banyak perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang tidak selamanya didahului oleh suatu kejahatan atau pelanggaran dan subyek hukum dalam undang-undang ini pun menekankan kepada pegawai negeri.

Dampak korupsi pada ekonomi Indonesia

Penjabaran di atas menunjukkan bahwa korupsi jika dibiarkan akan membawa bangsa mengalami krisis ekonomi. Hal ini setidaknya sudah terjadi pada rezim Orde Lama dan Orde Baru. Mungkin karena itulah, pada krisis ekonomi tahun 1998, Bank Dunia merekomendasikan korupsi sebagai urutan pertama yang harus diberantas di Indonesia.
Korupsi perlu diberantas karena praktik ini menjadi sumber dari segala masalah ekonomi yang diderita bangsa ini. Mulai dari kemiskinan, ketimpangan, terbatasnya lapangan kerja, bahkan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, semuanya terjadi berulang-ulang karena praktik korupsi yang melanggengkan terjadinya misalokasi sumber daya.
Pada 2016, Forum Ekonomi Dunia merilis data bahwa korupsi masih menjadi masalah utama bagi pelaku bisnis di Indonesia. Korupsi memaksa pebisnis mengeluarkan biaya tambahan sebesar rata-rata 10 persen untuk memperlancar kegiatan usahanya. Hal ini membuat investor dari luar negeri enggan untuk menanamkan modalnya di negeri ini karena mahalnya upaya menjalankan bisnis di Indonesia. Sementara itu pengusaha-pengusaha kecil jadi enggan untuk bersaing. Konsumen juga dirugikan karena biaya tambahan yang dikenakan akan dibebankan ke konsumen dengan menaikkan harga barang.
Pemberantasan korupsi setengah hati
Pada zaman Orde Lama, keinginan memberantas korupsi hanya tertuang pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1960. Regulasi ini fokus pada tiga hal, yaitu Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan. Namun nyatanya, regulasi ini tidak efektif untuk memberantas korupsi.
Penguatan regulasi pemberantasan korupsi ditingkatkan pada masa Orde Baru. Saat itu Undang-Undang Pemberantasan Korupsi No. 3 Tahun 1971 dikeluarkan. Sayangnya, meskipun aturan untuk memberantas korupsi lebih baik dari sebelumnya, korupsi semakin merajalela pada era ini.
Pada era reformasi, semangat untuk memberantas korupsi muncul dari berbagai lapisan masyarakat. Lahirnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan kemudian diubah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menandakan keseriusan masyarakat dan pengambil kebijakan untuk melepaskan Indonesia dari belenggu korupsi. Ditambah lagi, dibentuknya lembaga independen yang khusus ditugaskan untuk melawan korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2002.
Namun harapan itu sepertinya belum juga terasa bagi sebagian besar masyarakat. Karena nyatanya, korupsi seolah tidak pernah ada habisnya.
Belajar dari krisis sebelumnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diterbitkan oleh Transparency International menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan yang signifikan dalam program pemberantasan korupsi selama 16 tahun pembentukan komisi antikorupsi.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia (sejak tahun 1995 sampai 2011 nilai IPK menggunakan skala 0-10. Pada gambar diatas, skalanya diasumsikan sama dengan 0-100) www.transparency.org, Author provided
Bangsa Indonesia harus belajar dari pengalaman krisis sebelumnya. Pemerintah harus punya target kapan korupsi hilang dari bumi Indonesia. Jangan biarkan korupsi ini menjadi persoalan yang tak berujung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun