Theoretically and empirically, the presence of women in politics is believed to reduce corruption behaviour. Unfortunately, in Indonesia, such essential categorization is not proven to reduce corrupt behavior considering that women can also be an executor, connoisseur, and even intermediaries of corrupt behavior. Women, as one category of sex, is not sufficient to analyze the role of women in corruption act, because woman is bounded by culture, religion, ethnicity and social class. Based on this background, this study attempts to find the root of the problem and the solution for woman politician in corruption act. By using electoral system theory and political party as theoretical analysis and literature study as the method, this study identifies that behavior of women corruptor cannot be separated from the power of elites in political parties and parliaments. The strong power of the oligarchic elite in political parties and parliaments itself is the result of an open proportional election system which has an impact on the high competitiveness of parties, so that led to high cost of political to be beared by women. Ultimately, to improve such conditions, the engineering of electoral and party systems is most likely to be a solution, as both are easy to intervene by state actors and civil society groups. In conclusion, this paper shows that political parties have to be responsible in promoting gender equality, and willing to review the quota and zipper system in relation to the proportional systems.
Secara teoritis, keterlibatan perempuan dalam politik diyakini sebagai satu strategi yang cukup ampuh dalam mencegah korupsi. Tulisan-tulisan akademis yang muncul sejak akhir 90-an, cenderung membangun keyakinan bahwa perempuan lebih bersih dari perilaku korupsi dibandingkan laki-laki. Keyakinan ini didasarkan salah satunya atas pertimbangan moral, yang menganggap perempuan memiliki sifat moral, standar perilaku etis serta tingkat kepedulian yang lebih baik dibandingkan dengan laki-laki.
Diantara tulisan yang meyakini keterlibatan positif perempuan adalah tulisan Dollar, Fisman, & Gatti (2001) (Olson, Sarna, & Swamy, 2000), (Bowman & Gilligan, 2008), ketiga tulisan ini secara umum menyimpulkan adanya relasi antara gender dengan perbedaan persepsi tentang korupsi, hasilnya perempuan cenderung tidak toleran terhadap perilaku korupsi dibandingkan laki-laki. (Rivas & Sutter, 2008) menyimpulkan bahwa penyebab mengapa perempuan cenderung tidak melakukan korupsi, adalah karena mereka menolak resiko korupsi.
Penolakan ini di latarbelakangi peran mereka dalam pengasuhan anak-anak serta orang tua di dalam keluarga. Selain keterlibatan perempuan, konteks sistem politik yang demokratis secara teoritis juga dianggap sebagai penghambat berkembangnya perilaku korupsi, asumsinya semakin demokratis suatu negara, maka akan semakin rendah perilaku korupsinya. Prinsip-prinsip seperti keterbukaan dan kesetaraan, tentu merupakan dua prinsip yang sejalan dengan upaya mencegah tindak pidana korupsi. Dua prinsip ini inheren, melekat pada sistem politik demokrasi. Keterbukaan dapat dimaknai bahwa dalam sistem demokrasi, lembaga-lembaga negara harus menjunjung tinggi prinsip transparansi serta akuntabilitas publik. Sedangkan dalam prinsip kesetaraan, dapat dimaknai bahwa setiap warga negara sama derajatnya, prinsip ini sudah barang tentu tidak cocok dengan kultur feodalisme, patrimonialisme, dan juga patriarki.
 Transparency International Indonesia (TII) (Febari, 2015), menyebutkan bahwa sejak 2004 hingga 2013, posisi lembaga legislatif dan partai politik telah masuk daftar lembaga berkategori paling korup di Indonesia, selain lembaga penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan lainnya), jika dipersentasekan, sekitar 30 persen (tertinggi kedua setelah birokrat lembaga pemerintahan) bahwa tersangka dan terpidana korupsi KPK berasal dari profesi politisi, anggota DPR/DPRD, ataupun kader partai politik.
Sistem Pemilu dan Perempuan Sistem Pemilu memiliki peran krusial terkait tatanan demokrasi yang hendak dicapai. Selain implikasi jangka pendek seperti tingkat partisipasi pemilih yang mempengaruhi legitimasi. Secara jangka panjang, pilihan keputusan terkait sistem pemilu dapat mempengaruhi stabilitas pemerintahan karena terkait erat dengan jumlah partai yang akan lolos parlemen, stabilitas internal parlemen, hubungan eksekutif-legislatif yang berdampak pada efektivitas presidensialisme, dan yang tak kalah penting secara substantif aturan pemilu akan mempengaruhi derajat demokrasi yang hendak dicapai.
 Derajat demokrasi atau derajat pluralisme dapat berarti, apakah sistem pemilu yang disusun dapat mengakomodir kepentingan dari kelompok rentan atau hanya mengakomodir kepentingan dari kelompok dominan di masyarakat. Dan salah satu kelompok rentan yang sepatutnya terwakili baik secara deskriptif maupun substantif adalah kelompok perempuan.
Menanti Inisiatif Partai Politik Mengkaji ulang sistem pemilu yang ada di Indonesia akhirnya menjadi hal wajib, sebagai langkah awal mencari solusi bagi dilema politik kesetaraan gender di Indonesia. Ketika sistem kuota dan zipper system telah diberlakukan, mengapa negara-negara lain mampu meningkatkan jumlah perempuan parlemen melampaui critical mass (30%) namun hal yang sama belum berlaku bagi Indonesia. Berikut ini adalah beberapa contoh negara yang mempraktekkan sistem kuota dan zipper system, dengan tingkat keterwakilan perempuan yang cukup tinggi di parlemen.
bahwa negara-negara dengan tingkat keterwakilan perempuan yang tinggi, selain menerapkan zipper system juga menerapkan kuota partai - dibandingkan kuota legal Hanya Belgia dan Argentina dari daftar tersebut yang menerapkan kuota legal (legislated quotas by constitution or electoral law), satu Jenis kuota yang berbeda dengan kuota partai (voluntary party quotas).
Selain menerapkan zipper system pada sistem pemilu untuk mendongkrak kuantitas dan kualitas keterwakilan politisi perempuan menjelaskan bahwa negara juga harus menjamin posisi perempuan sebagai pengurus partai politik baik ditataran nasional sampai dengan daerah. menurut (Susiana & Cahyaningrum, 2016b) di Provinsi Maluku Utara menyatakan, caleg perempuan yang menduduki jabatan sebagai seorang pengurus partai memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan dengan caleg yang tidak menjadi pengurus partai, meskipun caleg tersebut cukup populer.
Namun, ternyata didalam UU No.7 Tahun 2017 tentang pemilu hanya menjamin keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai politik di level pusat. Adalah pasal 173 ayat (2) huruf E yang mengatur tentang minimal 30% keterwakilan perempuan hanya pada level Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai politik. Namun tidak ada penjelasan pendukung pada pasal tersebut yang menjamin kuota minimal 30% keterwakilan perempuan di tingkat regional (provinsi) dan Daerah (kabupaten/Kota) kepengurusan partai politik. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan atau Affirmative Action di Indonesia belum dibuat secara serius dan maksimal oleh para anggota parlemen kita.
Partai politik menurut perspektif klasik diartikan sebagai suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum tersebut, kemudian mampu menempatkan calon- calonnya untuk berkompetisi menduduki jabatan-jabatan publik. Namun persoalan kepartaian ini, sayangnya tidak hidup di ruang hampa karena adanya faktor-faktor lain seperti faktor ideologi dan kultural yang turut menentukan kualitas sistem kepartaian hingga mampu mendukung sistem politik demokrasi. Misalnya dalam konteks kultural, meninjau partai politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan pada praktik oligarki, pada satu sisi sistem multipartai memang memiliki keuntungan terakomodasinya suara-suara kelompok marginal, namun pada sisi lain sistem ini mendorong iklim kompetisi yang ketat tidak hanya caleg antar partai tapi juga caleg dalam satu partai. Implikasi dari ketatnya kompetisi semacam ini pada konteks kultur yang masih feodal, patrimonial, dan patriarki kemudian akan bermuara pada praktek oligarki, patronase dan bahkan klientelismeyang tentu terkait erat dengan praktek-praktek korupsi.
Menuntut Parlemen dan Partai Politik yang Responsif Pengaturan sistem kuota, zipper system, atau kebijakan afirmasi lain yang hendak diterapkan dalam peraturan perundang-undangan hanya bisa dilakukan ketika kita memiliki partai politik (dan juga parlemen) yang responsif terhadap hak-hak politik perempuan. Kebutuhan partai politik yang responsif dapat dimaknai bahwa sebagai institusi politik yang paling dekat dengan masyarakat, partai politik harus memahami bahwa perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang berbeda dengan kaum lakilaki. Sehingga keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai ditingkat daerah hingga pusat memang sangat diperlukan.
Pada banyak tulisan akademis yang menunjukkan keterlibatan positif perempuan dalam pemberantasan korupsi, nyatanya tidak serta merta efektif di Indonesia, karena persoalan politisi perempuan dan korupsi di Indonesia berkelindan dengan kultur oligarki yang sarat dengan patronase dan relasi klientelisme, sehingga perempuan yang mampu memenangkan kursi, umumnya tidak jauh-jauh dari lingkaran dinasti politik.
Selain oligarki politik, secara struktural sulitnya perempuan-perempuan di luar dinasti politik untuk masuk ke dalam parlemen juga disebabkan oleh sistem pemilu yang tidak mampu mengakomodir kelompok perempuan. Dianulirnya pasal 214 huruf a-e UU No.10 Tahun 2008, sesungguhnya merayakan praktek demokrasi liberal, yang sudah tentu menyulitkan minoritas untuk ikut berkompetisi.
Maka melalui pendekatan struktural pula, tulisan ini mencoba melakukan analisis dan memberikan solusi atas dampak sistem pemilu dan kepartaian bagi kelompok perempuan. Perekayasaan sistem pemilu dimulai dengan tuntutan agar parlemen mau mengkaji ulang sistem kuota dan praktek zipper system, namun perekayasaan tersebut tidak akan maksimal tanpa adanyadukungan responsifitas, inisiatif ataupun kepekaan partai politik. Karena partai politik adalahhilir dari segala kebijakan.
Partai politik bisa menjadi problem maker maupun problem solver dari perjuangan kesetaraan gender di Indonesia. Dikatakan problem maker karena elit- oligarki sebagai salah satu faktor yang membuat politisi perempuan terjerumus dalam perilaku korup berasal dari partai politik. Pada bagian pembahasan, telah dijelaskan bagaimana kebijakan yang bersifat formalisme biasanya terjadi pada institusi politik yang cenderung menutup diri dari publik. Sehingga dampaknya, partai akan mempertahankan traditional political culture seperti patron-klien.
Maka dari itu, partai politik harus dituntut untuk menjadi problem solver. Mereka harus mau menjadi institusi politik yang terbuka dari pengawasan publik, karena partai politik adalah institusi politik pertama dan paling dekat dengan publik. Kondisi tersebut mutlak harus dilakukan , selain untuk untuk memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia, mereka juga harus menghindarkan diri dari perilaku korup.
Pada akhirnya, rekomendasi artikel ini ditujukan secara langsung dan bersamaan kepada partai politik dan parlemen. Partai politik dan parlemen harus sadar bahwa peraturan perundangan yang ada sekarang, seperti Undang-undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dibuat dengan kesan formalitas belaka dan jelas tidak memiliki signifikansi yang jelas dalam menjamin keterlibatan perempuan. Maka dari itu, parlemen yang para anggotanya berasal dari partai politik, harus mau dan mampu membuat peraturan perundangan yang mengatur sistem kuota untuk menjamin keterlibatan perempuan di partai politik dan parlemen. Penulis meyakini bahwa semakin terjaminnya keikutsertaan dan keterlibatan perempuan di parlemen dan partai politik, akan membuat posisi tawar politisi perempuan menguat dan mereka bisa terurai keluar dari jerat elit-oligarki yang memiliki sifat dan perilaku korup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H