Partai politik menurut perspektif klasik diartikan sebagai suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum tersebut, kemudian mampu menempatkan calon- calonnya untuk berkompetisi menduduki jabatan-jabatan publik. Namun persoalan kepartaian ini, sayangnya tidak hidup di ruang hampa karena adanya faktor-faktor lain seperti faktor ideologi dan kultural yang turut menentukan kualitas sistem kepartaian hingga mampu mendukung sistem politik demokrasi. Misalnya dalam konteks kultural, meninjau partai politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan pada praktik oligarki, pada satu sisi sistem multipartai memang memiliki keuntungan terakomodasinya suara-suara kelompok marginal, namun pada sisi lain sistem ini mendorong iklim kompetisi yang ketat tidak hanya caleg antar partai tapi juga caleg dalam satu partai. Implikasi dari ketatnya kompetisi semacam ini pada konteks kultur yang masih feodal, patrimonial, dan patriarki kemudian akan bermuara pada praktek oligarki, patronase dan bahkan klientelismeyang tentu terkait erat dengan praktek-praktek korupsi.
Menuntut Parlemen dan Partai Politik yang Responsif Pengaturan sistem kuota, zipper system, atau kebijakan afirmasi lain yang hendak diterapkan dalam peraturan perundang-undangan hanya bisa dilakukan ketika kita memiliki partai politik (dan juga parlemen) yang responsif terhadap hak-hak politik perempuan. Kebutuhan partai politik yang responsif dapat dimaknai bahwa sebagai institusi politik yang paling dekat dengan masyarakat, partai politik harus memahami bahwa perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang berbeda dengan kaum lakilaki. Sehingga keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai ditingkat daerah hingga pusat memang sangat diperlukan.
Pada banyak tulisan akademis yang menunjukkan keterlibatan positif perempuan dalam pemberantasan korupsi, nyatanya tidak serta merta efektif di Indonesia, karena persoalan politisi perempuan dan korupsi di Indonesia berkelindan dengan kultur oligarki yang sarat dengan patronase dan relasi klientelisme, sehingga perempuan yang mampu memenangkan kursi, umumnya tidak jauh-jauh dari lingkaran dinasti politik.
Selain oligarki politik, secara struktural sulitnya perempuan-perempuan di luar dinasti politik untuk masuk ke dalam parlemen juga disebabkan oleh sistem pemilu yang tidak mampu mengakomodir kelompok perempuan. Dianulirnya pasal 214 huruf a-e UU No.10 Tahun 2008, sesungguhnya merayakan praktek demokrasi liberal, yang sudah tentu menyulitkan minoritas untuk ikut berkompetisi.
Maka melalui pendekatan struktural pula, tulisan ini mencoba melakukan analisis dan memberikan solusi atas dampak sistem pemilu dan kepartaian bagi kelompok perempuan. Perekayasaan sistem pemilu dimulai dengan tuntutan agar parlemen mau mengkaji ulang sistem kuota dan praktek zipper system, namun perekayasaan tersebut tidak akan maksimal tanpa adanyadukungan responsifitas, inisiatif ataupun kepekaan partai politik. Karena partai politik adalahhilir dari segala kebijakan.
Partai politik bisa menjadi problem maker maupun problem solver dari perjuangan kesetaraan gender di Indonesia. Dikatakan problem maker karena elit- oligarki sebagai salah satu faktor yang membuat politisi perempuan terjerumus dalam perilaku korup berasal dari partai politik. Pada bagian pembahasan, telah dijelaskan bagaimana kebijakan yang bersifat formalisme biasanya terjadi pada institusi politik yang cenderung menutup diri dari publik. Sehingga dampaknya, partai akan mempertahankan traditional political culture seperti patron-klien.
Maka dari itu, partai politik harus dituntut untuk menjadi problem solver. Mereka harus mau menjadi institusi politik yang terbuka dari pengawasan publik, karena partai politik adalah institusi politik pertama dan paling dekat dengan publik. Kondisi tersebut mutlak harus dilakukan , selain untuk untuk memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia, mereka juga harus menghindarkan diri dari perilaku korup.
Pada akhirnya, rekomendasi artikel ini ditujukan secara langsung dan bersamaan kepada partai politik dan parlemen. Partai politik dan parlemen harus sadar bahwa peraturan perundangan yang ada sekarang, seperti Undang-undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dibuat dengan kesan formalitas belaka dan jelas tidak memiliki signifikansi yang jelas dalam menjamin keterlibatan perempuan. Maka dari itu, parlemen yang para anggotanya berasal dari partai politik, harus mau dan mampu membuat peraturan perundangan yang mengatur sistem kuota untuk menjamin keterlibatan perempuan di partai politik dan parlemen. Penulis meyakini bahwa semakin terjaminnya keikutsertaan dan keterlibatan perempuan di parlemen dan partai politik, akan membuat posisi tawar politisi perempuan menguat dan mereka bisa terurai keluar dari jerat elit-oligarki yang memiliki sifat dan perilaku korup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H