Mohon tunggu...
Andi ZakyRachmadhan
Andi ZakyRachmadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi olahraga

Selanjutnya

Tutup

Politik

politisi perempuan dan korupsi : mencari solusi atas dilema politik kesetaraan gender di era reformasi

5 Januari 2025   08:30 Diperbarui: 5 Januari 2025   07:04 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Theoretically and empirically, the presence of women in politics is believed to reduce corruption behaviour. Unfortunately, in Indonesia, such essential categorization is not proven to reduce corrupt behavior considering that women can also be an executor, connoisseur, and even intermediaries of corrupt behavior. Women, as one category of sex, is not sufficient to analyze the role of women in corruption act, because woman is bounded by culture, religion, ethnicity and social class. Based on this background, this study attempts to find the root of the problem and the solution for woman politician in corruption act. By using electoral system theory and political party as theoretical analysis and literature study as the method, this study identifies that behavior of women corruptor cannot be separated from the power of elites in political parties and parliaments. The strong power of the oligarchic elite in political parties and parliaments itself is the result of an open proportional election system which has an impact on the high competitiveness of parties, so that led to high cost of political to be beared by women. Ultimately, to improve such conditions, the engineering of electoral and party systems is most likely to be a solution, as both are easy to intervene by state actors and civil society groups. In conclusion, this paper shows that political parties have to be responsible in promoting gender equality, and willing to review the quota and zipper system in relation to the proportional systems.

Secara teoritis, keterlibatan perempuan dalam politik diyakini sebagai satu strategi yang cukup ampuh dalam mencegah korupsi. Tulisan-tulisan akademis yang muncul sejak akhir 90-an, cenderung membangun keyakinan bahwa perempuan lebih bersih dari perilaku korupsi dibandingkan laki-laki. Keyakinan ini didasarkan salah satunya atas pertimbangan moral, yang menganggap perempuan memiliki sifat moral, standar perilaku etis serta tingkat kepedulian yang lebih baik dibandingkan dengan laki-laki.

Diantara tulisan yang meyakini keterlibatan positif perempuan adalah tulisan Dollar, Fisman, & Gatti (2001) (Olson, Sarna, & Swamy, 2000), (Bowman & Gilligan, 2008), ketiga tulisan ini secara umum menyimpulkan adanya relasi antara gender dengan perbedaan persepsi tentang korupsi, hasilnya perempuan cenderung tidak toleran terhadap perilaku korupsi dibandingkan laki-laki. (Rivas & Sutter, 2008) menyimpulkan bahwa penyebab mengapa perempuan cenderung tidak melakukan korupsi, adalah karena mereka menolak resiko korupsi.

Penolakan ini di latarbelakangi peran mereka dalam pengasuhan anak-anak serta orang tua di dalam keluarga. Selain keterlibatan perempuan, konteks sistem politik yang demokratis secara teoritis juga dianggap sebagai penghambat berkembangnya perilaku korupsi, asumsinya semakin demokratis suatu negara, maka akan semakin rendah perilaku korupsinya. Prinsip-prinsip seperti keterbukaan dan kesetaraan, tentu merupakan dua prinsip yang sejalan dengan upaya mencegah tindak pidana korupsi. Dua prinsip ini inheren, melekat pada sistem politik demokrasi. Keterbukaan dapat dimaknai bahwa dalam sistem demokrasi, lembaga-lembaga negara harus menjunjung tinggi prinsip transparansi serta akuntabilitas publik. Sedangkan dalam prinsip kesetaraan, dapat dimaknai bahwa setiap warga negara sama derajatnya, prinsip ini sudah barang tentu tidak cocok dengan kultur feodalisme, patrimonialisme, dan juga patriarki.

 Transparency International Indonesia (TII) (Febari, 2015), menyebutkan bahwa sejak 2004 hingga 2013, posisi lembaga legislatif dan partai politik telah masuk daftar lembaga berkategori paling korup di Indonesia, selain lembaga penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan lainnya), jika dipersentasekan, sekitar 30 persen (tertinggi kedua setelah birokrat lembaga pemerintahan) bahwa tersangka dan terpidana korupsi KPK berasal dari profesi politisi, anggota DPR/DPRD, ataupun kader partai politik.

Sistem Pemilu dan Perempuan Sistem Pemilu memiliki peran krusial terkait tatanan demokrasi yang hendak dicapai. Selain implikasi jangka pendek seperti tingkat partisipasi pemilih yang mempengaruhi legitimasi. Secara jangka panjang, pilihan keputusan terkait sistem pemilu dapat mempengaruhi stabilitas pemerintahan karena terkait erat dengan jumlah partai yang akan lolos parlemen, stabilitas internal parlemen, hubungan eksekutif-legislatif yang berdampak pada efektivitas presidensialisme, dan yang tak kalah penting secara substantif aturan pemilu akan mempengaruhi derajat demokrasi yang hendak dicapai.

 Derajat demokrasi atau derajat pluralisme dapat berarti, apakah sistem pemilu yang disusun dapat mengakomodir kepentingan dari kelompok rentan atau hanya mengakomodir kepentingan dari kelompok dominan di masyarakat. Dan salah satu kelompok rentan yang sepatutnya terwakili baik secara deskriptif maupun substantif adalah kelompok perempuan.

Menanti Inisiatif Partai Politik Mengkaji ulang sistem pemilu yang ada di Indonesia akhirnya menjadi hal wajib, sebagai langkah awal mencari solusi bagi dilema politik kesetaraan gender di Indonesia. Ketika sistem kuota dan zipper system telah diberlakukan, mengapa negara-negara lain mampu meningkatkan jumlah perempuan parlemen melampaui critical mass (30%) namun hal yang sama belum berlaku bagi Indonesia. Berikut ini adalah beberapa contoh negara yang mempraktekkan sistem kuota dan zipper system, dengan tingkat keterwakilan perempuan yang cukup tinggi di parlemen.

bahwa negara-negara dengan tingkat keterwakilan perempuan yang tinggi, selain menerapkan zipper system juga menerapkan kuota partai - dibandingkan kuota legal Hanya Belgia dan Argentina dari daftar tersebut yang menerapkan kuota legal (legislated quotas by constitution or electoral law), satu Jenis kuota yang berbeda dengan kuota partai (voluntary party quotas).

Selain menerapkan zipper system pada sistem pemilu untuk mendongkrak kuantitas dan kualitas keterwakilan politisi perempuan menjelaskan bahwa negara juga harus menjamin posisi perempuan sebagai pengurus partai politik baik ditataran nasional sampai dengan daerah. menurut (Susiana & Cahyaningrum, 2016b) di Provinsi Maluku Utara menyatakan, caleg perempuan yang menduduki jabatan sebagai seorang pengurus partai memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan dengan caleg yang tidak menjadi pengurus partai, meskipun caleg tersebut cukup populer.

Namun, ternyata didalam UU No.7 Tahun 2017 tentang pemilu hanya menjamin keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai politik di level pusat. Adalah pasal 173 ayat (2) huruf E yang mengatur tentang minimal 30% keterwakilan perempuan hanya pada level Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai politik. Namun tidak ada penjelasan pendukung pada pasal tersebut yang menjamin kuota minimal 30% keterwakilan perempuan di tingkat regional (provinsi) dan Daerah (kabupaten/Kota) kepengurusan partai politik. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan atau Affirmative Action di Indonesia belum dibuat secara serius dan maksimal oleh para anggota parlemen kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun