Harapan tinggal harapan bagi guru honorer negeri. Eksodus guru Guru Tetap Yayasan (GTY) swasta tersertifikasi adalah fenomena penyingkiran guru honorer dari sekolah untuk menjadi penganggur.Â
Selanjutnya akan muncul guru eks Guru Tetap Yayasan (GTY) tersertifikasi yang kecewa karena yang mereka terima jauh dari yang selama ini mereka terima. Apakah fenomena ini tidak pernah dipertimbangkan sebelumnya? Kenapa wakil rakyat yang mulia di parlemen selalu meloloskan program yang kontroversi?
Sebelum menjadi permasalahan yang pelik, seyogianya program dievaluasi. Seiring dengan hal itu ketua umum PGRI menyampaikan bahwa program PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) harusnya untuk honorer negeri, mekanismenya bukan seperti uji kompetensi dan tidak melencengkan program menjadi program eksodus Guru Tetap Yayasan (GTY) dengan menjadikan guru honorer negeri jadi penganggur di saat ekonomi sedang tidak tumbuh.
Guru honorer negeri adalah guru-guru yang mau dan mampu bekerja dengan standar dan nasib tidak jelas. Diterima di sekolah juga melalui seleksi kepala sekolah, selalu menjadi obyek penderita untuk mengcover tugas mengajar guru PNS. Di mana guru PNS hanya mengambil tugas mengajar 24 jam pelajaran per minggu. Kinerja tidak optimal tetapi penghasilan sangat luar biasa.Â
Perlu kekompakan organisasi profesi guru untuk melindungi nasib guru honorer negeri dan guru honor swasta dengan standar perlindungan yang sama. Hentikan hegemoni hanya untuk meraih muka di depan penguasa republik. Gurulah yang harus dilindungi bukan berebut proyek pemerintah dan cari muka di hadapan rezim.
Ketegasan pemerintah atas standar gaji bagi yayasan yang mempekerjakan guru. Ingatlah yayasan memungut dana dan pemerintah juga memberikan dana bantuan operasional sekolah, agar eksodus GTY tidak terjadi yang mengakibatkan nasib guru honorer negeri semakin tidak menentu.
Kepala sekolah negeri hendaknya mengajukan kebutuhan guru di sekolah. Mengusahakan honorer untuk jadi PPPK dan memiliki nurani untuk nasib guru honorerÂ
Tanpa mereka sekolah akan lumpuh dilayanan. Pengawas sekolah, di mana sepak terjang mereka? Sementara mereka tahu riil di lapangan. Serasa pendidikan dikelola secara tidak serius.
Ketika Jepang kalah perang di perang dunia dan negaranya hancur, di saat itu guru yang jadi tulang punggung membangun negara dan bayar utang perang. Ironi di republik ini, bom diciptakan untuk menghancurkan tatanan dengan kebijakan gaduh.Â
Staf Khusus Menteri (SKM) yang lulusan asing, seenarnya tidak paham kondisi riil dan mau dibawa ke mana pendidikan indonesia? Hendaknya smart dan punya naruni untuk duduk bersama memperbaiki bukan menambah masalah.
Selama republik berdiri permasalahan guru tidak pernah tuntas. Parlemen juga tidak fokus berjuang mengawal itu. Sekolah swasta tumbuh tanpa standar kualitas karena banyak dimiliki anggota parlemen yang ironi menggaji guru dengan kata "ikhlas" padahal guru adalah profesional Tulisan ini serasa tidak berguna tetapi tidak berhenti mengingatkan adalah perjuangan.