Ketika terjadi krisis moneter 17 tahun silam, tepatnya pada bulan Juli 1997, dapat dikatakan 99% usaha besar dan konglomerat bangkrut. Cuma 1% yang bertahan, itupun karena dasar bisnisnya mengandalkan kandungan bahan lokal dan bukan impor. Akibatnya sekitar 1600 perusahaan besar (konglomerat) yang memiliki total asset mencapai Rp. 600 triliun, harus ditangani oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) untuk memulihkan ekonomi nasional.
Sementara itu, dalam waktu yang sama, 60% dari sekitar 30 juta pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah), malah bertahan. Bahkan UMKM sektor pertanian, seperti petani coklat, merica, holtikultura dan komoditas perkebunan lainnya menikmati keuntungan yang berlibat-lipat akibat kurs rupiah yang tidak menentu. Sisanya, 40% UMKM yang terkena imbas krisis itu karena bahan baku produksinya yang masih di impor. Oleh karena UMKM terbukti kebal akan krisis moneter, maka terjadi lonjakan pertumbuhan UMKM saat itu, 10 juta usaha kecil baru bermunculan. Jumlah UMKM yang semula sekitar 30 juta, naik menjadi 40 juta pelaku usaha kecil baru di berbagai sektor.
Berangkat dari bukti inilah pemerintahan transisi saat itu Presiden BJ Habibie mengeluarkan kebijakan melalui ketetapan (Tap) MPR 1998, yang menekankan inti dari demokrasi ekonomi adalah memperkuat ekonomi kerakyatan dengan memberdayakan usaha-usaha masyarakat yang nota-bene adalah usaha kecil dan menengah. Saat pemerintahan BJ Habibie yang cuma setahun itu, berbagai regulasi dan undang-undang diluncurkan untuk mempercepat demokrtatisasi di bidang ekonomi dalam mewujudkan "ekonomi kerakyatan". Misalnya UU mengenai persaingan sehat, UU mengenai larangan monopoli dan sejumlah UU yang intinya bertujuan untuk meningkatkan harkat hidup UMKM dalam kerangka "ekonomi kerakyatan".
Kalau melihat perjalanan sejarah perekonomian Indonesia, mulai dari penjajahan Belanda yang diskriminatif dan menguras kekayaan Indonesia dengan memposisikan rakyat Indonesia (pribumi) sebagai pekerja dengan (kelas terendah). Sementara itu kelompok penduduk timur asing (Cina), dijadikan mitra oleh belanda dalam menguasai asset ekonomi nusantara. Sebelum Indonesia merdeka, Bung Hatta yang dikenal sebagai bapak Ekonomi Rakyat, saat itu gencar mengecam pemerintahan Kolonial Belanda yang beraviliasi dengan kapitalis dunia saat itu, dimana Belanda telah menghancurkan perekonomian rakyat melalui perdagangan dengan kekerasan militer. Perdagangan dan pelayaran Indonesia dimusnahkan, pertanian rakyat dipaksakan dengan komoditas yang disuka mereka. Belanda mengganggap bahwa mereka saja yang berhak berniaga di nusantara Indonesia. Bangsa Indonesia menjadi budak di negerinya sendiri.
Maka berangkat dari kondisi itulah gagasan-gagasannya tentang "Ekonomi Kerakyatan" yang telah dipublikasikan Bung Hatta saat penjajahan Belanda ( tahun 1933) dulu , agar diwujudkan dan di implementasikan saat Indonesia sudah merdeka. Menurut Bung Hatta, kemerdekaan bukan hanya bebas dari cengkraman bangsa penjajah. Kemerdekaan memiliki nilai filosofis substansial, yaitu menegakkan tatanan sosial masyarakat Indonesia yang adil, makmur, sejahtera lahir batin bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun pada awal kemerdekaan, Indonesia belum mampu menjalankan ekonomi rakyat, karena masih dalam suasana revolusi. Mulai dari Belanda yang ingin kembali menjajah, penghianatan PKI MUSO 1948 serta masa demokrasi liberal yang ditandai dengan jatuh-bangunnya kabinet saat itu. Sampai kepada dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dimana Soekarno menjadi "penguasa tunggal" dalam tatanan politik Indonesia. Ia membungkam setiap gerakan yang menyuarakan kritik atas kepemimpinannya. Seiring dengan itu, Bung Hatta sebagai wakil presiden saat itu yang sebelumnya gencar menyuarakan ekonomi kerakyatan, memilih mundur dari jabatannya pada 1957 karena tidak dapat berbuat banyak dan berseberangan dengan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) dari Presiden Soekarno. Orang-orang Komunis lebih menguasai tatanan politik, dan konsep "ekonomi kerakyatan" berubah orientasi menjadi "ekonomi terpimpin".
Bung Hatta mengemukakan, bahwa usia demokrasi terpimpin ala Bung Karno, tidak akan melebihi usia penggagasnya, maka Bung Karno pun jatuh seiring dengan kegagalan penghianatan PKI 30 September 1965. Setelah itu lahirlah orde baru yang membawa harapan baru bagi ekonomi rakyat. Namun ternyata harapan tersebut cuma mimpi, jargon pembangunan yang ditiupkan Presiden Soeharto, mengabaikan potensi pengembangan ekonomi rakyat. Orientasi ekonomi lebih di dasarkan kepada "ekonomi kapitalis" yang memunculkan banyak konglomerat sebagai penopang kekuasaannya. Pembangunan lebih terpusat kepada akses-akses dan wilayah yang berhubungan dengan kepentingan usaha konco-konco Penguasa yaitu konglomerat. Konsep "ekonomi kerakyatan", gagal diterjemahkan dalam realitas. Sehingga keadaan porak-poranda sekarang, adalah buah dari kegagalan orde baru yang tumbang seiring dengan krisis moneter.
Malah di saat krisis itulah terlihat potensi luar biasa dari "ekonomi kerakyatan" yang dahulunya tidak diperhatikan oleh penguasa setiap orde. Era peralihan yang dipimpin Presiden BJ Habibie, menata ulang konsep "ekonomi kerakyatan" seperti yang sudah dijelaskan di atas. Walaupun pemerintahan BJ Habibie hanya berlangsung lebih dari satu tahun, namun implikasi dari kebijakan "ekonomi kerakyatan" tersebut, sebenarnya sudah mulai dirasakan geliatnya sampai saat ini. Hal tersebut dapat ditandai dengan kosentrasi berbagai departemen terhadap "ekonomi kerakyatan" seperti Kementerian koperasi dan UKM, Kementerian Perindustrian dan Kementerian lainnya yang kebijakannya lebih menitikberatkan pemberdayaan UMKM untuk menyukseskan "ekonomi kerakyatan" ini. Namun dalam perjalanannya, secara kualitas belum sukses dan belum menyentuh sasaran.
Walupun kebijakan "ekonomi kerakyatan" melalui berbagai kegiatan pemberdayaan dari beberapa instansi telah digulirkan oleh pemerintahan SBY-JK dan SBY-Budiono, seperti pemberian KUT (Kredit Usaha Tani), KUR (kredit Usaha Rakyat) dan kegitan pameran/promosi serta pelatihan-pelatihan UMKM, namun terasa belum menyentuh kesasaran dan belum membawa dampak maksimal terhadap ekonomi rakyat. Hal ini sepertinya disebabkan oleh beberapa faktor, seperti masih maraknya KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme), koordinasi berbagai instansi yang belum maksimal dan pola-pola pemberdayaan yang belum bagus / maksimal, ditambah carut-marutnya kondisi politik yang lebih banyak mementingkan kepentingan kelompok dan pencitraan.
Begitu juga dengan pembenahan dan penyediaan infrastruktur, bahan baku serta akses pasar, terlihat belum terlalu diperhatikan oleh pemerintahan yang lalu (SBY-JK, dan SBY-Budiono). Pengaruh pasar bebas pun membawa dampak terhadap geliat ekonomi kerakyatan, banyak pelaku usaha atau pedagang yang mungkin beraviliasi dengan oknum pejabat atau penguasa yang lebih mengedepankan langkah impor terhadap produk-produk tertentu demi kemudahan sesaat dan keuntungan jangka pendek. Hal ini diperparah dengan masih rendahnya Kesadaran masyarakat untuk mencintai dan menggunakan produk dalam negeri. Sehingga barang-barang impor selalu mendapatkan tempat atau pasar yang mengiurkan yang berakibat, bangkrutnya perusahaan atau UMKM yang memproduksi produk sejenis karena belum bisa bersaing harga.
Nah, saat ini pasti kita semua sangat berharap kepada pemerintahan Kabinet Kerja Jokowi-JK untuk memperbaiki semua kelemahan dan kekurangan masa lalu, harapannya Jokowi_JK membuat gebrakan yang lebih kongkret agar implementasi sistem ekonomi kerakyatan itu benar-benar dijalankan dengan baik. Sehingga rakyat benar-benar merasakan manfaatnya dalam meningkatkan kesejahteraan hidup.